Wajah Kaum Miskin NTT dalam Balutan Kusta
Warga miskin di NTT rentan tertular kusta. Hal ini terkait juga dengan pola hidup yang kurang sehat, di samping imunitas tubuh yang lemah.
Wajah-wajah kelelahan tampak dari keluarga dan pasien penderita kusta yang duduk berjajar di tenda pelataran Rumah Sakit Santo Damian Lewoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur, Jumat (29/7/2022). Mereka tengah menunggu giliran untuk menjalani pemeriksaan kesehatan yang dilakukan tim dokter dari Universitas Indonesia dan RS St Damian.
Sebagian penderita kusta ini datang dari gunung, sebagian lagi mesti menyeberang pulau untuk mendapatkan pengobatan hari itu. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang menggunakan kursi roda. Penderita kusta yang datang didominasi warga miskin.
Di deretan kursi paling belakang, duduk Ny Siti Aminah (57) yang datang dari Pulau Solor. Ia mengantar Muhammad Samsudin (20), putra tunggalnya. Solor merupakan sebuah pulau kecil diapiti Pulau Adonara, Lembata, dan Pulau Flores.
Siti Aminah dengan jiwa keibuannya terus memandang anaknya yang tengah duduk mendaftar berhadapan dengan tim dokter dari UI. Ada beberapa penderita yang duduk sederet dengan Samsudin untuk mendaftar sekaligus mengambil nomor antrean.
Samsudin berada pada nomor urut ke-16. Pria yang tidak pernah duduk di bangku sekolah ini datang lebih awal.
Baca juga : NTT 10 Besar Penyakit Kusta di Indonesia
Bagi Siti Aminah, Samsudin merupakan satu-satunya tulang punggung keluarga sejak kematian suaminya, Amir Samsudin, 2017 silam. Anak sulungnya itu sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Siti masih tidak habis pikir mengapa anaknya itu bisa menderita kusta.
”Mengapa harus dia. Sejak ayahnya meninggal, dia jadi andalan saya,” kata perempuan berhijab ini.
Saat menjejaki usia 17 tahun, Samsudin mengalami gejala mirip kusta, yakni wajah hitam, kebas, tebal, dan tangan tak bisa memegang alat pancing dan pukat lempar.
Kedatangannya ke Lewoleba atas informasi mantri kesehatan di Menanga. Mantri ini pula telah memberi 20 biji obat kusta kepada Samsudin. Keluhannya sempat berkurang, tetapi ia lupa minum obat karena terus melaut sehingga rasa sakit itu kambuh lagi.
Dua hari sebelum pengobatan berlangsung, Samsudin sudah mendaftar. Tercatat sedikitnya 265 penderita kusta menjalani pemeriksaan kesehatan hari itu.
Baca juga : Penderita Kusta di NTT Kesulitan Obat
Dengan kondisi ekonomi yang berkekurangan, bukan perkara mudah bagi Siti Aminah dan Muhammad Samsudin berangkat dari Solor menuju Lewoleba. Seorang warga Menanga turut membantu memberi uang Rp 100.000 untuk ongkos selama di perjalanan.
Untuk menyeberang dari Solor, ongkos kapal Rp 25.000 per orang. Tiba dua hari sebelum pemeriksaan, demi menghemat biaya, mereka menumpang di rumah seorang pedagang di sekitar Pelabuhan Lewoleba. Adapun untuk menjangkau RS St Damian dari rumah yang ditumpangi, mereka berjalan kaki sejauh 4 kilometer.
Lain lagi kisah Leo Enga (59) dari Pulau Palue, Sikka. Ia menderita bengkak di tangan dan jari-jarinya bengkok. Kulit wajahnya menebal. Lututnya nyaris bengkok. Kondisi ini dialami sejak enam tahun silam. Pekerjaan sebagai nelayan pun ditinggalkan karena tubuhnya semakin sulit digerakkan.
Istrinya mengurus rumah tangga. Ia memiliki lima anak, empat di antaranya di Malaysia, tanpa ada kabar sama sekali. Karena tiada penghasilan, ia dan istrinya mendapat bantuan makan minum ala kadarnya dari tetangga.
Untuk menuju Lewoleba, Enga berlayar selama dua jam menggunakan perahu motor dari Pulua Palue menuju Maumere. Ia ditemani anak kedua, Agus Enga (30), yang ada di Palue. Keduanya melanjutkan perjalanan darat dengan bus umum menuju Larantuka sejauh 140 km dilanjutkan menyeberang ke Lembata menggunakan kapal motor selama empat jam menuju Lewoleba.
Baca juga : Sentuhan Kasih "Katamataku" Universitas Indonesia bagi Pasien Kusta di Lewoleba
”Uang biaya perjalanan Rp 700.000 kami pinjam dari sesama nelayan di Palue. Saya harap sakit ini bisa diobati,” kata Enga yang mendengar informasi soal kegiatan pengobatan di RS St Damian ini dari salah seorang teman yang ada di Lewoleba. RS St Damian memang cukup familier bagi penderita kusta di NTT karena 59 tahun melayani pengobatan bagi pasien kusta.
Kondisi yang cukup parah dialami penderita lain, Maria Jeane (62), yang datang menggunakan kursi roda. Kaki kanannya sudah diamputasi dan kaki kirinya tampak mengecil dan kulitnya keriput. Jari-jari kaki kirinyanya menyatu membentuk satu tumpukan dan tumitnya mengecil. Warga Ende ini terlambat berobat.
”Sangat terbantu dengan (pengobatan) hari ini,” katanya.
Aksi kemanusiaan
Hari itu, tim Katamataku dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tengah bekerja sama dengan RS ST Damian menggelar aksi kemanusiaan berupa pemeriksaan kesehatan bagi penderita kusta. Sejumlah tim hari itu berjumlah 38 orang, beranggotakan sejumlah dokter spesialis dan mahasiswa tingkat akhir.
Tak kurang dari 265 pasien kusta dari sejumlah daerah dilayani dalam pemeriksaan yang berlangsung pukul 07.00-19.00 Wita. Ketua Tim Katamataku Luh Karunia Wahyuni mengatakan, tim dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang hadir, yakni dokter spesialis kulit kelamin; spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi; spesialis telinga, hidung, tenggorakan, kepala, dan leher; serta spesialis mikrobiologi klinis.
”Hari ini kami melakukan diagnosis dengan melihat beberapa bagian tubuh, yakni kulit, mata, telinga, hidung, tenggorakan, kepala, dan leher. Kemudian fungsi tangan, kaki, dan cara berjalan. Jika kena saraf yang bertindak adalah spesialis fisik dan rehabilitasi. Lalu, melakukan evaluasi, seberapa besar pasien kusta mendapatkan stigma,” kata Luh.
Baca juga : Indonesia Negara Ketiga Terbesar Penderita Kusta
Tim dokter dari FK UI, psikolog UI dan fakultas lain sedang melakukan wawancara pasien kusta di RS St Damian Lewoleba, NTT, Jumat (29/7/2022).
Tidak hanya tim dokter, aksi kemanusiaan ini juga melibatkan psikolog, ahli pertanian, dan ahli peternakan terkait pemberdayaan kemandirian pasien kusta. Hal ini karena keberadaan kusta diduga juga terkait dengan dengan kondisi kemiskinan dan pola hidup yang kurang sehat.
Melani Marissa, dokter spesialis penyakit kulit, menambahkan, kusta bukan penyakit turunan atau kutukan, tetapi merupakaninfeksi yang disebabkan bakteri. Siapa saja bisa terpapar kusta.
Bakteri itu masuk tubuh, mencari sel saraf tepi, terutama kulit. Masa inkubasi bakteri cukup lama, sekitar 3-5 tahun. Namun, ada juga yang inkubasinya 10 tahun.
Penyakit ini berjangkit karena kontak erat dengan pasien kusta serta kemungkinan orang itu sedang dalam kondisi fisik lemah. ”Jadi, tergantung dari imun seseorang juga,” kata Marissa.
Baca juga : Jumlah Kasus Kusta di Indonesia Menurut Jenis Penyakit
Secara umum, penderita kustamengalami bercak di kulit yang menyebabkan mati rasa serta benjolan-benjolan di wajah, tungkai, lengan, telinga, dan kaki. Semuanya terasa nyeri.
Direktur RS St Damian Lewoleba Suster Felicitas Budiawati CIJ dan Kepala Dinas Kesehatan Lembata Gabriel Warat mengapresiasi aksi kemanusiaan dari tim Katamataku UI bagi penderita kusta.
”Saya harap bantuan seperti ini terus dilanjutkan pada masa yang akan datang,” kata Felicitas.
Harapan serupa disampaikan Warat. ”Semoga kerja sama ini berlanjut di masa depan,” ujarnya.
Baca juga : Pejuang Kusta NTT Itu Telah Tiada
Direktris RS St Damian Lewoleba Suster Felicitas Budiawati CIJ saat menyapa para pasien dan tim dari Universitas Indonesia, Jumat (29/7/2022), sebelum melakukan pengobatan massal. Biarawati ini sebagai penerus tokoh kusta di Lembata, yakni Mama Itam dan Mama Putih, yang telah meninggal.