Harga Sawit Merangkak Naik, Petani di Kalteng Masih Enggan Panen
Meski harga TBS sawit merangkak naik, petani masih merugi sehingga enggan memanen.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kenaikan harga sawit di Kalimantan Tengah masih jauh dari harapan petani. Dampaknya, petani masih enggan memanen buah sawit karena biaya panen dan perawatan yang tinggi.
Dampak kejatuhan harga tandan buah segar (TBS) sawit di Kalteng sangat dirasakan oleh petani mandiri yang tidak bermitra dengan perusahaan perkebunan. Mereka menggantungkan hidupnya dari harga tengkulak.
Stevanus Purwadi, petani sawit di Desa Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau, mengungkapkan, sejak kebijakan nontarif pajak TBS kelapa sawit berlaku, kenaikan hanya Rp 200 per kilogram (kg) saja. Sebelumnya, harga TBS di kalangan petani yang menjual kepada tengkulak di desa itu hanya Rp 350 per kg.
”Di sini, petani yang menggantungkan hidup hanya dari sawit itu terpuruk. Kami tidak bisa panen. Biaya panen dan perawatannya tinggi,” kata Stevanus saat dihubungi dari Palangkaraya, Rabu (27/7/2022).
Stevanus menjelaskan, warga di desanya menjual sawit kepada tengkulak yang kemudian menjualnya lagi ke perusahaan perkebunan sawit di Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, sekitar 250 kilometer dari desa itu. Perkebunan sawit terdekat di Kantan Atas hanya menerima TBS dari petani mitra dengan harga Rp 600 per kg untuk ukuran besar.
”Harga ke tengkulak memang rendah, tapi mau bagaimana lagi. Kalau kami bawa langsung ke perusahaan, ongkos kirimnya lebih besar. Memang sudah terjadi kenaikan, tapi masih jauh dari harapan kami,” kata Stevanus.
Stevanus mengungkapkan, dirinya baru mulai menanam sawit pada 2014. Sepanjang tahun itu, harga sawit pernah mencapai Rp 600 per kg, tapi di tahun-tahun berikutnya belum pernah kurang dari Rp 600 per kg. Stevanus menanam pohon sawit di lahan miliknya seluas 11 hektar.
Kini, ia tak bisa memanen sawitnya lantaran biaya yang cukup besar. Ia harus menyewa tenaga untuk memanen ratusan pohon sawit dan membayar Rp 250 per kilogram TBS yang dipanen, belum termasuk biaya makan atau rokok para pemanen.
Untuk biaya perawatan, kata Stevanus, dirinya harus mengeluarkan uang membeli pupuk Rp 310.000 per karung dan herbisida Rp 150.000 per liter. Dalam satu hektar, setidaknya ia membutuhkan 3-4 karung pupuk dan sekitar 5 liter herbisida.
”Harga 1 ton sawit hanya mampu untuk merawat lahan 1 hektar saja, sedangkan lahan kalau tidak dirawat hasil panennya bakal buruk,” ucap Stevanus.
Malam ini bisa berubah lagi, mungkin turun atau juga naik.
Di Kota Palangkaraya, Nababan, pengepul buah sawit, mengungkapkan, harga TBS pada Rabu malam Rp 1.400 per kg. Angka itu naik dari sebelumnya Rp 1.200 per kg. Pada awal Juli lalu, harganya mencapai Rp 2.200 per kg.
Nababan mengungkapkan, dirinya menjual sawit dari petani ke perusahaan sawit langganannya di Kabupaten Katingan, sekitar 85 kilometer dari Palangkaraya. Harga yang ia berikan kepada petani merupakan harga yang ditentukan dari perusahaan itu. ”Malam ini bisa berubah lagi, mungkin turun atau juga naik. Kami hanya ngikut saja. Biasanya (perusahaan) langsung ngabarin via SMS,” katanya.
Kenaikan harga sawit itu dipicu kebijakan pemerintah yang menghapus pungutan ekspor minyak sawit mentah atau CPO serta produk turunannya. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam revisi aturan disebutkan, tarif pungutan ekspor produk CPO dan turunannya menjadi nol berlaku 15 Juli sampai 31 Agustus 2022. Lalu, mulai 1 September 2022, berlaku kembali tarif maksimal 240 dollar AS per ton untuk harga CPO di atas 1.500 dollar AS per ton dengan perubahan tarif ad valorem yang progresif terhadap harga (Kompas, 17 Juli 2022).
Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng Gusto Adrianus mengungkapkan, kejatuhan harga sawit di kalangan petani juga disebabkan oleh banyaknya CPO perusahaan yang belum terjual. Stok minyak sawit mentah setelah kebijakan penutupan keran ekspor masih menumpuk hingga kini.
Pihaknya, lanjut Gusto, sudah berupaya untuk beraudiensi dengan pemerintah. Mereka meminta pemerintah menghapus aturan domestic price obligation (DPO) atau ketentuan harga untuk kewajiban penjualan di pasar domestik.
”Di tangki penyimpanan itu penuh dengan CPO sehingga TBS dari petani tidak bisa terserap semua. Pemerintah harus mempercepat proses ekspor CPO dengan memudahkannya melalui berbagai kebijakan,” ucap Gusto.
Menurut Gusto, momen ini harus bisa dimanfaatkan untuk evaluasi kebijakan pemerintah yang selama ini belum menguntungkan petani, khususnya petani mandiri yang tidak bermitra dengan perusahaan.