Bagi seniman dari Komunitas Lima Gunung di Magelang, Jawa Tengah, seni merupakan kebutuhan jiwa. Alasan ”spiritual” itulah yang membuat mereka terus berkarya tanpa pernah menjadikan seni sebagai komoditas.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·6 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pementasan fragmen Kidung Anjampiani oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung menyemarakkan pembukaan Festival Lima Gunung XXI di Studio Mendut, Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (8/8/2022). Pementasan itu dibuat berdasarkan novel berjudul Kidung Anjampiani karya penulis Bre Redana.
Bagi seniman dari Komunitas Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, seni merupakan kebutuhan jiwa. Seni merupakan penghiburan batin untuk membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Alasan ”spiritual” itulah yang membuat mereka terus berkarya tanpa pernah menjadikan kesenian sebagai sebagai komoditas untuk mendapat penghasilan.
Komunitas Lima Gunung terbentuk tahun 2002 atas prakarsa budayawan asal Magelang, Sutanto Mendut (68). Komunitas ini beranggotakan lebih dari 10 kelompok kesenian yang tersebar di desa-desa di lereng lima gunung dan perbukitan sekitar Magelang, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Tiap kelompok itu beranggotakan lebih dari 50 seniman yang kebanyakan juga merupakan petani dan peternak. Kebanyakan kelompok tersebut menekuni seni pertunjukan, tetapi ada juga seniman anggota Komunitas Lima Gunung yang merupakan pelukis, pematung, dan dalang wayang kulit.
Selama ini, para seniman tersebut menghidupi kesenian dengan berbagai cara, termasuk melalui iuran. Model iuran itu, di antaranya, dijalankan oleh Padepokan Wargo Budoyo di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pegiat seni berlatih tari Topeng Ireng di Padepokan Wargo Budoyo, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (18/7/2022). Padepokan itu merupakan bagian dari Komunitas Lima Gunung yang terus aktif menggunakan seni sebagai sarana berekspresi.
Ketua Padepokan Wargo Budoyo, Singgih Arif Kusnadi (34), menuturkan, sejak masa kakek buyutnya, sekitar era tahun 1960, para seniman di dusunnya sudah terbiasa mengumpulkan iuran untuk kebutuhan pentas ketoprak. ”Dulu, iuran dilakukan dengan mengumpulkan uang dari hasil penjualan sayuran hingga iuran pupuk kandang,” ujarnya.
Yang dimaksud iuran pupuk kandang adalah para seniman yang memiliki hewan ternak bersama-sama mengumpulkan kotoran sapi dan kambing dari kandang masing-masing, lalu mengolahnya menjadi pupuk kandang. Pupuk itu kemudian dijual dan uang hasil penjualannya dikumpulkan untuk kebutuhan pentas.
Semangat kemandirian para seniman Komunitas Lima Gunung juga tampak dari kebiasaan membuat sendiri kostum untuk pentas. Mereka memanfaatkan bahan-bahan sederhana yang ada di lingkungan sekitar, termasuk bahan-bahan alam, seperti daun pisang kering dan jerami. Praktik inilah yang dijalankan Sanggar Saujana di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Magelang.
Ketua Sanggar Saujana, Sujono (52), menuturkan, anggota sanggar itu terbiasa membuat sendiri kostum untuk pentas tari. Biasanya, Sujono selaku ketua yang terlebih dulu membuat kostum sebagai contoh. Setelah itu, teman-temannya akan membuat kostum masing-masing dengan meniru contoh tersebut.
Pembuatan kostum oleh para anggota sanggar itu pun tidak harus sama persis. Sujono mencontohkan, saat membuat hiasan kepala untuk sebuah kostum tari, para seniman bisa menggunakan kain perca dengan motif apa saja. ”Semua bebas. Silakan memakai sisa kain seadanya saja,” ujarnya. Saat pentas, keberagaman kain yang dipakai justru membuat hiasan kepala terlihat berwarna-warni.
Dulu, iuran dilakukan dengan mengumpulkan uang dari hasil penjualan sayuran hingga iuran pupuk kandang.
”Sambatan”
Para seniman Komunitas Lima Gunung juga tak pernah memikirkan apakah akan mendapat honor atau tidak saat pentas. Menurut Sujono, jika mereka mendapat honor cukup besar dari sebuah pentas, uang itu akan dibagikan kepada para seniman yang terlibat dan sebagian dimasukkan ke kas sanggar. Namun, jika honor yang diberikan tak terlalu besar, uang itu akan diberikan semuanya untuk kas.
Bagi para seniman itu, besaran honor yang diterima sama sekali tidak berpengaruh terhadap semangat dan niat mereka untuk tampil memenuhi permintaan pentas. Bahkan, mereka juga kerap pentas tanpa mendapat honor. ”Kami sering melakukan pentas sambatan (tanpa dibayar),” ujar Sujono.
Menurut Sujono, honor pentas justru tabu dibicarakan saat mereka diminta pentas di hajatan kampung sendiri atau kampung lain yang menjadi tempat tinggal seniman teman mereka. ”Uang tidak perlu dibahas. Ketika giliran kami mengundang pentas, mereka (seniman lain) juga sering kali tidak kami bayar,” ujarnya sambil terbahak.
Anak-anak berlatih tari Nawung Sekar di Padepokan Wargo Budoyo, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (12/7/2022).
Hal serupa juga diakui Supadi Haryanto (51), Ketua Kelompok Bekso Turonggo Mudo di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Meski kadang tak dibayar, Supadi dan teman-temannya tetap merasakan kegembiraan saat pentas karena bisa menghibur warga yang datang menonton.
Bahkan, Supadi beserta kelompoknya kerap memenuhi undangan pentas sambatan di luar kota, misalnya di Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Karena tanpa bayaran, transportasi untuk pentas tersebut biasanya memakai mobil milik para seniman sendiri. Ongkos untuk membeli bahan bakar juga sering mereka tanggung sendiri.
”Saya biasanya cukup berkoordinasi untuk memastikan berapa mobil yang siap dipakai untuk transportasi. Kalau si pemilik mobil mampu, dia biasanya otomatis menanggung ongkos bahan bakar. Kalau kebetulan pemilik mobil sedang enggak punya uang, ongkosnya bisa ditalangi seniman lain. Sesederhana itu saja,” kata Supadi.
Supadi menambahkan, saat kelompoknya mendapat honor dari pentas, uang itu biasanya dikumpulkan untuk membeli kostum dan alat musik. Demi tampil maksimal dalam pentas, Kelompok Bekso Turonggo Mudo tak segan membeli kostum dengan harga mahal. Bahkan, kelompok seni yang berdiri sekitar tahun 1993 itu pernah mengeluarkan Rp 48 juta untuk membeli kostum bagi delapan penari.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pementasan fragmen Kidung Anjampiani oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung menyemarakkan pembukaan Festival Lima Gunung XXI di Studio Mendut, Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (8/8/2022).
Meski begitu, Kelompok Bekso Turonggo Mudo tak mau menggantungkan diri kepada pihak lain untuk berkesenian. Itulah kenapa, para seniman anggota kelompok tersebut juga kerap mengeluarkan uang untuk membiayai aktivitas kesenian mereka.
Bahkan, Supadi menyebut, bayangan tentang besarnya biaya produksi sebuah pentas justru menjadi pemacu semangat para seniman untuk semakin giat mengumpulkan uang dengan bertani dan menjual sayuran. ”Kebutuhan pentas itu menjadi pendorong semangat kami untuk bekerja dan menabung,” ujarnya.
Bagi para seniman itu, besaran honor yang diterima sama sekali tidak berpengaruh terhadap semangat dan niat mereka untuk tampil memenuhi permintaan pentas.
Festival tanpa donatur
Sejak tahun 2002, Komunitas Lima Gunung rutin menggelar perhelatan kesenian bernama Festival Lima Gunung. Festival itu digelar secara bergantian di desa-desa di lereng lima gunung dan perbukitan di sekitar Magelang. Hingga tahun keempat, festival tersebut masih mendapat bantuan dana dari berbagai pihak, termasuk para pengusaha di Magelang.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sumbangan dari para donatur itu justru dinilai memusingkan. Salah satu penyebabnya, panitia Festival Lima Gunung merasa kesulitan memberikan honor yang adil untuk setiap seniman yang terlibat.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anggota kelompok seni Bekso Turonggo Mudo beraksi di ladang yang dijadikan panggung pentas seni di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021). Pentas kolaborasi sejumlah seniman dari sejumlah wilayah yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung itu merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Lima Gunung yang ke-20.
”Sulit untuk memutuskan besaran uang yang tepat karena hal itu melibatkan rasa. Ada pertimbangan rasa kedekatan, rasa sungkan terhadap seniman senior, dan kadang-kadang juga ada rasa tidak enak, serba salah, untuk menentukan siapa seniman yang paling capek dan repot dalam mengurus pelaksanaan festival,” ungkap Supadi.
Kebingungan serupa juga terjadi saat panitia hendak memberikan uang sumbangan sebagai ucapan terima kasih untuk desa yang menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung. Karena sejumlah persoalan itu, mulai tahun kelima penyelenggaraan, para seniman sepakat Festival Lima Gunung harus dilaksanakan mandiri, tanpa ada sumbangan dari mana pun.
”Festival Lima Gunung adalah pergelaran seni yang dibiayai dari hasil keringat para petani jagung, cabai, kubis, dan buncis,” kata salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung, Riyadi, saat memberi sambutan dalam pembukaan Festival Lima Gunung VII tahun 2008.
Komitmen kemandirian itu juga dipertegas dalam bentuk ”sumpah tanah” oleh para anggota Komunitas Lima Gunung pada 2010. Saat itu, mereka mengikrarkan kemandirian dalam berkesenian dengan ramai-ramai membubuhkan tanda tangan di atas permukaan tanah di Studio Mendut milik Sutanto Mendut.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sejumlah penari tampil dalam acara Festival Lima Gunung XX di mata air Tlompak di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Pakis, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (21/5/2021).
Selain mandiri secara finansial, para anggota Komunitas Lima Gunung juga sangat merdeka dalam berkreasi dan berkesenian. Bahkan, mereka tak keberatan menggelar pentas meski tak ada yang menonton. Kondisi itu pernah terjadi saat sejumlah seniman mementaskan tari Jaran Kepang Papat di Dusun Mantran Wetan beberapa tahun lalu.
Saat itu, sesudah para penari tampil, mendadak turun hujan lebat sehingga para penonton pun berhamburan pulang. Empat penari yang sedang tampil lalu pindah ke dalam rumah untuk melanjutkan menari. ”Tidak ada penonton pun tidak masalah. Kami tetap bahagia menari,” ungkap Supadi.
Aktivitas kesenian juga mendekatkan hubungan antarwarga. Kedekatan itulah yang akhirnya membuat Cahyo Purnomo (38), salah seorang warga Dusun Keron, Desa Krogowanan, memutuskan pulang kembali ke kampung setelah 10 tahun merantau di Jakarta.
Keinginan Cahyo untuk pulang muncul karena dirinya sering menonton video pentas Komunitas Lima Gunung melalui media sosial. Pada tahun 2010, dia pun pulang. Jika sebelumnya bekerja di toko ritel, Cahyo beralih berdagang dan mengajari anak-anak serta remaja di dusunnya untuk berkesenian.
”Berkelompok dan berkesenian membuat saya selalu merasa dikelilingi teman dan tidak pernah kesepian,” ujar Cahyo.