Sumbar Tidak Berikan Kompensasi Ternak yang Dipotong Paksa
Pemprov Sumbar tidak menerapkan kebijakan kompensasi Rp 10 juta untuk sapi/kerbau yang dipotong paksa karena terinfeksi penyakit mulut dan kuku.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Peternak memantau kondisi sapinya yang sudah sembuh dari penyakit mulut dan kuku (PMK) di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, Kamis (21/7/2022).
PADANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tidak menerapkan kebijakan kompensasi Rp 10 juta untuk sapi/kerbau yang dipotong paksa karena terinfeksi penyakit mulut dan kuku atau PMK. Sumbar lebih mengutamakan pengobatan dan vaksinasi terhadap hewan ternak.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Sumbar Erinaldi, Kamis (21/7/2022), mengatakan, kebijakan itu tidak berlaku di Sumbar karena tidak ada ternak yang diminta untuk dimusnahkan. ”Yang ada yang kami obati. Diobati ternyata sembuh, mengapa dimusnahkan?” katanya.
Erinaldi menyebutkan, ternak yang dipotong bersyarat atau potong paksa tidak masuk kategori ternak yang dikompensasi karena daging ternak masih bisa dijual. Lagi pula, tidak semua peternak bersedia sapinya dipotong dengan kompensasi Rp 10 juta, terutama sapi simmental yang harganya mahal.
Menurut Erinaldi, kebijakan kompensasi itu bergantung pada daerah, sesuai kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sumbar memilih tidak menerapkan kompensasi itu karena dananya pun tidak ada. ”Sampai sekarang kami tidak dapat informasi bahwa disediakan anggaran. Jadi, kami cenderung ke pengobatan dan vaksinasi,” ujarnya.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Kondisi sapi yang terinfeksi PMK di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, Kamis (21/7/2022).
Selain itu, kata Erinaldi, pemusnahan ternak dengan kompensasi itu tidak efektif di Sumbar karena kasus sudah merebak di 17 dari total 19 kabupaten/kota di Sumbar. Kebijakan itu lebih tepat dilakukan jika masih sedikit kasus, lalu ternak dimusnahkan untuk menghambat penyebaran virus.
Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Sumbar per 20 Juli 2022 dini hari, tinggal dua daerah dari 19 kabupaten/kota di Sumbar yang belum ada laporan kasus PMK. Selain Kepulauan Mentawai, daerah yang juga belum ada laporan kasus adalah Bukittinggi.
”Update situasi PMK Sumbar hingga 20 Juli pukul 00.00, yaitu 17 kabupaten/kota tertular, 123 kecamatan tertular, 396 desa/kelurahan tertular, 9.583 ternak sakit, 5 mati, 53 potong bersyarat, dan 2.810 sembuh,” kata M Kamil, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas PKH Sumbar, Rabu (20/7/2022).
Adapun tiga daerah di Sumbar dengan jumlah ternak yang terinfeksi PMK paling banyak adalah Pesisir Selatan (1.612 ekor), Padang Pariaman (1.372 ekor), dan Agam (1.155 ekor).
Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas PKH Padang Pariaman Devi Yanti mengatakan hal senada. Kebijakan pemberian kompensasi adalah untuk provinsi yang masih bebas PMK. Adapun Sumbar, termasuk Padang Pariaman, PMK sudah mewabah.
”Untuk provinsi yang tidak ditetapkan Menteri Pertanian sebagai daerah wabah, itu yang dapat kompensasi. Stamping out (pemusnahan) itu yang diberi penggantian. Sumbar, kan, sudah ditetapkan daerah wabah oleh menteri, jadi tidak ada kebijakan untuk penggantian,” kata Devi.
Devi melanjutkan, petugas dinas PKH terus melakukan pelacakan dan penelusuran kasus PMK sehingga angkanya terus bertambah. Hingga 20 Juli 2022, jumlah ternak terinfeksi PMK mencapai 1.966 ekor, terdiri dari 1.650 sapi, 314 kerbau, dan 2 kambing.
Jangan gembalakan dulu ternak di padang penggembalaan.
Adapun pengobatan ternak terpapar PMK, kata Devi, dilakukan secara swadaya oleh masyarakat karena dinas tidak lagi memiliki obat-obatan. Sementara dana tambahan Rp 200 juta untuk obat-obatan dan biaya operasional yang diusulkan dinas pada anggaran perubahan belum cair.
”Usulan anggaran tambahan sudah masuk di tim anggaran pemerintah daerah (TAPD). Sudah dibahas, tapi pengesahan belum. Kami mengusulkan Rp 200 juta untuk obat-obatan dan operasional komunikasi informasi dan edukasi (KIE) di lapangan,” ujar Devi.
Devi pun mengimbau agar peternak tidak mendatangi lokasi yang ada wabah PMK karena bisa jadi media pembawa virus. Walakin, peternak tidak perlu panik karena PMK bisa disembuhkan. ”Jika ada kasus, laporkan. Jaga kebersihan kandang. Jangan gembalakan dulu ternak di padang penggembalaan,” ujarnya.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Kondisi sapi yang sembuh dari PMK di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, Kamis (21/7/2022).
Rasidin (56), peternak di Nagari Ketaping, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, mengatakan, lima sapi yang ia pelihara untuk penggemukan sebulan lalu terpapar PMK. Satu sapi terpaksa dipotong sepekan lalu, sedangkan empat lainnya sudah sembuh.
”Biasanya penuh kandang saya, 11 ekor, sekarang cuma empat. Baru separuh sapi dibeli, saya patah hati, tidak mau tambah lagi. Susah mengobatinya, itu ditanggung sendiri. Kemarin itu disuntik dokter dan beli obat lainnya, habis Rp 4 juta untuk lima sapi,” kata Rasidin.
Kondisi Rasidin pun makin terpuruk karena untuk pembelian lima sapi simmental jantan dengan total harga Rp 127 juta itu ia masih berutang Rp 30 juta. ”Saya pasrah saja. Dapat bantuan pemerintah syukur, kalau tidak, biarlah,” ujarnya.
Amril (52), peternak lainnya di Nagari Ketaping, mengatakan, ia juga mengobati sapinya secara swadaya. Namun, alih-alih pengobatan secara medis, peternak yang sekaligus tauke itu memilih pengobatan alternatif dengan ramuan tradisional, seperti daun sungkai, kunyit, dan gula enau.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Peternak memantau kondisi sapinya yang sudah sembuh dari PMK di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar, Kamis (21/7/2022).
”Pakai obat tradisional bisa sembuh, tetapi ada pula yang penyakitnya kambuh. Diobati oleh mantri hewan sembuh, tetapi biayanya besar. Obat tradisional ini lebih irit,” kata Amril.
Dia juga mengaku trauma membeli sapi. Sekarang sapi di kandang samping rumahnya tinggal 13 ekor, empat sapi di antaranya masih sakit. Biasanya, kandang tersebut bisa berisi 27 sapi. Sejak adanya wabah PMK, sudah 12 sapinya yang dipotong paksa.
”Kalau kondisinya seperti ini terus, mati usaha peternak. Dua hari saja kena (PMK), kurus sapi. Yang dipotong paksa rugi lebih dari separuh harga. Kemarin itu rugi Rp 5 juta per ekor, dikali 12 ekor, totalnya Rp 60 juta,” ujarnya.