Pengawasan dan Literasi Digital untuk Membendung Kasus Pornografi Anak
Polda DIY mengungkap kasus pornografi anak yang melibatkan pelaku di enam provinsi. Kasus ini menunjukkan, anak-anak memiliki kerentanan besar saat mengakses internet.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Polisi menggiring tersangka kasus kejahatan terhadap anak dalam konferensi pers, Senin (11/7/2022), di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Sleman, DIY. Tersangka berinisial FAS itu menunjukkan alat kelaminnya kepada sejumlah anak melalui panggilan video. Dari kasus ini, polisi menemukan sejumlah grup media sosial dan aplikasi percakapan yang menjadi tempat penyebaran materi pornografi anak.
Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta mengungkap kasus pornografi anak yang melibatkan pelaku di enam provinsi. Kasus ini menunjukkan, anak-anak memiliki kerentanan besar saat mengakses internet. Perlu upaya preventif, misalnya meningkatkan pengawasan dan pembelajaran literasi digital, untuk mencegah berulangnya kasus semacam itu.
Pengungkapan kasus pornografi anak itu berawal dari laporan warga di Desa Argosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 21 Juni 2022. Laporan itu menyebut, ada tiga anak perempuan berusia 10 tahun yang dihubungi seseorang tak dikenal melalui video call (panggilan video).
Namun, dalam panggilan video tersebut, orang tak dikenal itu justru menunjukkan alat kelaminnya. Peristiwa itu membuat para korban ketakutan sehingga mereka langsung mengadu ke orangtuanya. Orangtua dan guru anak-anak itu lalu melapor kepada petugas Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Kepolisian Sektor Sedayu yang bertugas di Desa Argosari.
Laporan kemudian diteruskan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda DIY. Polisi lalu melakukan penyelidikan dan berhasil mendapatkan data pelaku. Pada 22 Juni, petugas Ditreskrimsus Polda DIY menangkap pelaku berinisial FAS (27) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Penangkapan FAS menjadi pintu masuk untuk mengungkap kasus lebih besar, yakni penyebaran konten pornografi anak melalui media sosial (medsos). Berdasar pemeriksaan polisi, FAS ternyata mendapat nomor para korban dari grup aplikasi percakapan Whatsapp. Di dalam grup itu, dibagikan nomor-nomor Whatsapp milik anak-anak dengan tujuan menjadi sasaran panggilan video.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Komisaris Besar Roberto Gomgom Manorang Pasaribu memberi penjelasan terkait kasus kejahatan terhadap anak dalam konferensi pers, Senin (11/7/2022), di Markas Polda DIY, Kabupaten Sleman, DIY.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Komisaris Besar Roberto Gomgom Manorang Pasaribu menyatakan, dari hasil penyidikan terhadap FAS, polisi menemukan 10 grup Whatsapp yang menjadi tempat penyebaran materi pornografi anak serta nomor kontak anak-anak. Setiap grup itu rata-rata memiliki 250 anggota.
”Di grup-grup itu, isinya sharing (berbagi) video, foto, dan nomor telepon target yang semua rata-rata usia anak,” kata Roberto dalam konferensi pers, Senin (11/7/2022).
Polisi juga menemukan sebuah grup Facebook dengan 91.000 anggota yang berisi nomor-nomor anak sebagai target. Grup tersebut bersifat tertutup sehingga hanya anggota grup itu yang bisa melihat isi percakapan di sana.
Dari sejumlah grup Whatsapp dan Facebook itu, polisi menemukan 3.800 video dan foto. Berdasarkan hasil analisis, ada sekitar 60 gambar yang diduga merupakan produksi baru dan belum pernah beredar sebelumnya.
Ditreskrimsus Polda DIY lalu memburu orang-orang yang terlibat dalam distribusi materi pornografi anak itu. Hasilnya, polisi menangkap tujuh orang di enam provinsi berbeda, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Sejumlah tersangka kasus penyebaran konten pornografi anak dihadirkan dalam konferensi pers di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Sleman, Rabu (13/7/2022). Para tersangka merupakan admin dan anggota dua grup aplikasi Whatsapp yang menjadi sarana penyebaran konten pornografi anak.
Mereka merupakan pendiri, admin, dan anggota dua grup Whatsapp yang menjadi sarana penyebaran konten pornografi anak. ”Kami mengerucut dulu terhadap dua grup Whatsapp yang sangat aktif menyebarkan video dan gambar dengan obyek anak-anak,” ungkap Roberto.
Roberto menyatakan, penyidik masih mendalami dari mana para tersangka mendapatkan konten pornografi anak. Selain itu, dugaan motif ekonomi dalam penyebaran konten pornografi juga masih diselidiki.
Kerentanan
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, kasus yang diungkap Polda DIY itu harus menjadi perhatian semua pihak. Apalagi, saat ini, anak-anak telah akrab dengan internet dan dunia digital sejak dini.
Kondisi itu tampak jelas dari hasil survei KPAI pada Juni 2020 yang diikuti 25.164 anak dan 14.169 orangtua di 34 provinsi. Berdasar survei itu, 71,3 persen anak telah memiliki gawai sendiri dan 79 persen anak diizinkan orangtua untuk menggunakan gawai di luar keperluan belajar.
Selain untuk belajar, penggunaan gawai yang terbanyak adalah untuk chatting atau mengobrol dengan teman (52 persen), menonton Youtube 52 persen, mencari informasi (50 persen), dan mengakses medsos (42 persen).
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto memberi keterangan terkait kasus penyebaran konten pornografi anak dalam konferensi pers di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Rabu (13/7/2022).
Survei itu juga mengungkap, banyak anak menghabiskan waktu berjam-jam menggunakan gawai selain untuk kepentingan belajar. Sekitar 36,5 persen anak menghabiskan waktu 1-2 jam per hari menggunakan gawai di luar kepentingan belajar, 34,8 persen menghabiskan waktu 2-5 jam, dan 25,4 persen menghabiskan waktu lebih dari 5 jam.
Dengan kondisi itu, Susanto menyatakan, orangtua harus mengawasi secara ketat anak-anaknya saat menggunakan gawai. Selain itu, guru juga harus menyisipkan pembelajaran literasi digital dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
”Era digital tidak bisa dihindari. Banyak sumber belajar di media digital. Namun, penting integrasi literasi oleh guru di dalam ruang-ruang pembelajaran agar anak tidak mudah terpapar konten-konten negatif,” kata Susanto dalam konferensi pers bersama Polda DIY, Rabu (13/7/2022).
Pengawasan dan pembelajaran literasi digital itu penting karena anak-anak yang mengakses internet memang rentan mengalami pengalaman tak menyenangkan. Hal ini terlihat dari hasil survei lembaga Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesia.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Petugas kepolisian menggiring sejumlah tersangka dalam kasus penyebaran konten pornografi anak seusai konferensi pers di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Sleman, Rabu (13/7/2022).
Pada April 2020, ECPAT Indonesia melakukan survei kepada 1.203 responden anak usia 6-17 tahun di sejumlah kota. Hasilnya, sekitar 25 persen responden atau 287 anak mengalami pengalaman buruk saat menggunakan internet pada masa pandemi Covid-19.
Berdasarkan survei tersebut, 112 anak menerima tulisan atau pesan yang tidak sopan dan tidak senonoh, 66 anak dikirimi gambar atau video yang membuat tak nyaman, dan 27 anak dikirimi gambar atau video pornografi.
Koordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT Indonesia Rio Hendra mengatakan, anak-anak yang sehari-hari terhubung dengan internet rentan terpapar oleh konten pornografi. Sebab, selama ini, peredaran materi pornografi di internet sangat banyak dan tidak bisa dibendung.
”Anak-anak yang terhubung dengan internet itu kerentanannya meningkat besar. Apalagi, kalau anak-anak itu punya komunitas-komunitas atau teman-teman di grup media sosial atau aplikasi perpesanan. Jadi, mereka itu sangat rentan terpapar oleh pornografi yang tersebar di internet,” ujar Rio saat dihubungi, Jumat (15/7/2022).
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Petugas kepolisian menunjukkan barang bukti kasus penyebaran konten pornografi anak dalam konferensi pers di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Sleman, Rabu (13/7/2022).
Selain rentan terpapar pornografi, anak-anak yang terhubung dengan internet juga rentan mengalami eksploitasi seksual dan menjadi korban pornografi anak. Rio memaparkan, anak-anak yang sudah memiliki akun Whatsapp biasanya bergabung dengan grup-grup Whatsapp. Padahal, grup-grup tersebut terkadang beranggotakan orang asing yang tak dikenal anak.
”Di grup itu kan kita tidak tahu ada siapa saja. Apakah ada pelaku-pelaku yang sengaja masuk-masuk grup-grup tertentu, lalu mengambil nomor-nomor anak dan dibagikan ke komunitasnya,” ungkap Rio.
Rio menyatakan, untuk mencegah anak-anak menjadi korban eksploitasi anak atau pornografi anak, orangtua harus melakukan pengawasan secara ketat. Dia menyebut, orangtua harus mengawasi aktivitas anak di Whatsapp dan media sosial.
”Orangtua harus mengetahui semua akun media sosial anak dan password-nya. Jadi, orangtua bisa mengecek aktivitas anak di media sosial itu seperti apa,” tuturnya.