Tradisi ”meugang” di Aceh turut terdampak penyakit mulut dan kuku. Warga masih ragu membeli daging untuk keperluan ”meugang”.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Suasana meugang di Pasar Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Sabtu (9/7/2022). Ternak yang dipotong untuk meugang telah melalui pemeriksaan kesehatan agar terhindar dari penyakit mulut dan kuku.
BANDA ACEH, KOMPAS — Wabah penyakit mulut dan kuku menyebabkan penjualan hewan ternak untuk meugang dan kurban di Provinsi Aceh menurun. Hingga kini, penyakit mulut dan kuku di Aceh belum bisa teratasi.
Tradisi meugang dirayakan sehari sebelum Lebaran. Dalam tradisi meugang, warga menyantap masakan berbahan daging sapi, kambing, atau kerbau. Tradisi ini diwariskan secara turun-termurun sejak zaman Sultan Iskandar Muda.
Adam (56), seorang peternak asal Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, mengaku, pada Lebaran Idul Adha tahun ini dia hanya dapat menjual dua ekor sapi jantan. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, dia bisa menjual hingga enam ekor.
Adam mengatakan, sebanyak 50 ekor sapi miliknya terpapar PMK, dua di antaranya mati. Dia harus bekerja keras merawat dan mengobati ternak yang terpapar PMK. Dia juga harus mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk membeli vitamin dan obat-obatan. Meski telah sembuh, sapi-sapi yang pernah terpapar PMK sukar dijual. Konsumen cenderung menghindari membeli ternak yang pernah terpapar PMK.
”Penurunan penjualan sangat drastis. PMK membuat peternak berada dalam kesulitan,” kata Adam saat dihubungi, Senin (11/7/2022).
Selain peternak, pedagang daging di Pasar Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Muhammad (50), mengatakan, meugang kali terasa lebih sepi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, meski dalam suasana pandemi Covid-19, warga cukup antusias berbelanja daging.
Muhammad mengatakan, biasanya sehari sebelum Lebaran atau disebut meugang puncak, pembeli membeludak. Namun, kali ini pasar terasa lebih sepi. ”Isu PMK membuat orang takut makan daging (sapi), sebagian orang memilih daging ayam,” kata Muhammad.
Di pasar Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, hingga sore beberapa pedagang daging masih menunggui dagangannya. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pada siang hari daging sudah habis terjual.
Adapun harga jual daging meugang tahun ini Rp 170.000 per kilogram. Tidak ada perbedaan dengan tahun sebelumnya.
Seorang ibu rumah tangga di Aceh Besar, Fadlina (30), mengatakan, dia tidak membeli daging meugang lantaran khawatir terhadap virus PMK. Dia tidak yakin sapi yang disembelih untuk meugang semuanya benar-benar telah diperiksa kesehatan dan bebas PMK.
Akhirnya, dia menunda merayakan meugang dan memilih menunggu pembagian daging kurban di tempat dia bekerja. Dia meyakini daging kurban adalah sapi sehat karena salah satu syarat sah kurban adalah ternak yang sehat.
Penanganan PMK
Hingga kini, penyebaran virus PMK di Aceh belum mampu dikendalikan. Jumlah ternak yang terpapar pun terus bertambah. Pemerintah menghimbau agar pelaksanaan kurban menerapkan protokol kesehatan sehingga wabah PMK tidak semakin menyebar.
Kepala Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Zalsufran menuturkan, secara umum semua ternak yang disembelih untuk meugang dan kurban telah melalui pemeriksaan tim pusat kesehatan hewan.
Sebagian besar ternak untuk meugang dipotong di rumah potong hewan milik pemerintah. Di sana, sebelum masuk ke ruang pemotongan, ternak terlebih dahulu diobservasi oleh petugas. Sementara untuk pemotongan hewan kurban di kampung atau permukiman, warga diminta menerapkan protokol kesehatan, seperti penyemprotan disinfektan dan pengelolaan limbah.
Di Desa Meunasah Papeun, Kecamatan Krung Barona Jaya, Aceh Besar, limbah dari ternak kurban ditanam di satu tempat yang jauh dari permukiman warga.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Suasana pembagian daging kurban di Desa Meunasah Papeun, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Senin (11/7/2022). Ternak yang dipotong untuk kurban telah melalui pemeriksaan kesehatan agar terhindar dari PMK.
Kepala Desa Meunasah Papeun, Hasan Basri, mengatakan, limbah itu dikuburkan untuk menghindari bakteri dari daging sisa. Selain itu, darah sapi yang terjatuh pada tanah disiram dengan air. Lokasi pemotongan dan pembersihan dilakukan di lapangan yang berjarak sekitar 300 meter dari permukiman.
”Sengaja tidak kami bersihkan di masjid agar limbah tidak mengotori pekarangan masjid,” kata Hasan.