Bercocok Tanam Sebisanya, Penopang Ketahanan Pangan Warga Surabaya
Hasil dari bercocok tanam, meski di lahan sempit, bisa menggerakkan ekonomi sebagian warga Surabaya.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Para santri di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (13/6/2022), sedang merawat berbagai macam sayur-mayur yang dikembangkan dengan sistem hidroponik.
”Dua bulan terakhir, tanaman cabai rawit mati pelan-pelan karena daun membusuk, kemungkinan karena terlalu tinggi intensitas hujan,” kata Reni Susilawati (40), salah satu sukarelawan Kampung Hidroponik Surabaya yang berlokasi di Medoanayu Utara, ditemui pada Senin (13/6/2022).
Membusuknya daun sehingga secara perlahan mematikan batang cabai rawit, menurut Reni, salah satu alasan bagi warga setempat yang selama ini bergabung pada kelompok Kampung Hidroponik untuk sementara fokus mengembangkan sayur-mayur, antara lain sawi, terong, dan kangkung.
Tanaman busuk dan menurunkan produksi diakui Ketua Kelompok Tani Sendang Biru, Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya, Karnoto (55). Penurunan hasil panen cabai, menurut dia, belakangan sangat drastis.
Dalam situasi normal dari lahan seluas 1 hektar, setiap panen bisa menghasilkan sekitar 200 kilogram. ”Lha sekarang cuma dapat 20 kg dari areal yang luas dan jumlah batang cabai sama,” katanya.
Daripada kerugian kian besar, kami memilih tak merawat tanaman cabai yang rata-rata daunnya busuk atau gugur menyebabkan batang secara perlahan-lahan mati. Padahal, warga di Kelurahan Made rata-rata mengembangkan pertanian perkotaan dengan memanfaatkan lahan milik pengembang atau aset Pemerintah Kota Surabaya yang belum dipakai.
Pasa santri di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (13/6/2022), sedang meninggalkan swalayan selepas mengikuti pelajaran secara tatap muka.
Mengembangkan pertanian perkotaan dengan sistem hidroponik juga sudah lama dikembangkan di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo, Jatim.
Menurut Direktur Pendidikan Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo Shohibul Burhan, pondok pesantren ini sudah lama mengembangkan pertanian perkotaan dengan berbagai sistem dan melibatkan santri.
Hasil produksi rayur-mayur dan buah-buahan dari kebun yang berada di sekitar kawasan pondok pesantren tersebut sudah memiliki konsumen tetap, yakni wali dari para santri.
Membagikan bibit
Pemerintah Kota Surabaya sampai kini masih rutin membagikan bibit berbagai jenis tanaman, termasuk bibit cabai rawit dan cabai besar, kepada kelompok tani di tingkat rukun warga atau bahkan di kelurahan.
Seperti saat ini, menurutKepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya Antiek Sugiharti, instansi ini telah membagikan sekiat 7.000 bibit cabai rawit untuk ditanam warga. Bibit juga diberikan kepada warga yang mengajukan permintaan ke DKPP secara berkelompok atau RT/RW.
”Kami tidak hanya membagikan bibitan tanaman, tetapi juga memberikan pupuk alami, seperti kompos, serta terlibat dalam pembinaan terkait perawatan tanaman,” katanya.
Pembagian bibit cabai rawit dilakukan selepas hari raya Idulu Fitri lalu. ”Selain bagi bibit, Pemkot Surabaya juga mulai gencar menggelar operasi pasar, terutama komoditas pertanian, seperti cabai yang mahal,” kata Antiek.
Cabai yang dipasarkan melalui operasi pasar agar harga tidak selangit kini di pasaran Surabaya Rp 115.000 kg untuk cabai rawit, dari hasil kebun warga dan juga dipasok dari daerah sentra produksi, antara lain Blitar dan Kediri.
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Panen cabai di lahan pertanian perkotaan di Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, Rabu (20/2/2019).
Mahalnya harga cabai diduga penyebabnya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) terdapat empat serangan, yakni hama lalat buah seluas, trips, dan kutu kebul. Sementara penambahan serangan penyakit virus kuning, antraknose, bercak daun, dan layu fusarium. Selain itu, cuaca ekstrem juga menjadi penyebab fluktuasi angka produksi cabai rawit.
Petani cabai di Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, mengakui adanya penurunan hasil panen cabai tahun ini. Bahkan, penurunannya sangat drastis. Kendati demikian, bukan berarti petani yang memanfaatkan lahan kosong di sekitarnya tak patah arang untuk terus bercocok tanam.
”Hasil dari bercocok tanam, meski di lahan sempit, bisa menggerakkan ekonomi kami,” kata Karnoto.