Dari dua subsuku Melayu dan 16 subsuku Dayak di Kalimantan Timur, baru dua yang diakui pemerintah dengan dua hutan adat. Masyarakat adat di lokasi IKN Nusantara ini masih rentan dengan perampasan lahan.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Meski Kalimantan Timur akan menjadi pusat pemerintahan di Indonesia, masih ada sejumlah masyarakat adat yang hingga kini keberadaannya belum diakui pemerintah. Ketiadaan pengakuan ini membuat mereka tak bisa mengelola secara penuh hutan adat mereka.
Bahkan, kondisi ini membuat hutan mereka mudah dan rentan dirampas untuk berbagai kebutuhan yang mengatasnamakan investasi dan proyek strategis. Karena itu, tak mengherankan dalam momen pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ini, masyarakat adat berharap pemerintah segera membuat perlindungan bagi mereka. Mereka berharap status pengakuan dan perlindungan itu diberikan sebelum IKN Nusantara benar-benar dibangun.
Saat ini, baru dua hutan adat yang sudah diakui pemerintah di Kalimantan Timur. Pertama, hutan adat yang terletak di Kampung Juaq Asa, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat. Hutan adat seluas 48,85 hektar itu diakui pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017.
Terbaru, Hutan Adat Mului mendapat pengakuan pada 2020. Hutan adat seluas 7.722 hektar itu terletak di Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Koman, Kabupaten Paser. Wilayah hutan adat itu beririsan dengan kawasan hutan lindung serta hak pengusahaan hutan atau izin konsesi kehutanan.
Dua hutan adat itu diakui bersamaan dengan pengakuan masyarakat adatnya. Padahal, terdapat dua subsuku Melayu dan 16 subsuku Dayak di Kalimantan Timur. Artinya, masih banyak masyarakat adat yang belum diakui, begitu juga dengan hutan adat tempat tinggal dan hidup mereka.
Suratnya hanya segel. Mau mengurus untuk dijadikan sertifikat, prosesnya sampai sekarang ndak bisa. (Dahlia)
Di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, misalnya. Selain dihuni oleh transmigran asal Pulau Jawa, tinggal pula masyarakat Suku Paser dan Suku Balik di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan inti pusat pemerintahan IKN Nusantara tersebut.
”Kami hidup berpindah-pindah. Ada yang diminta pindah karena lahannya dipakai untuk perkebunan, ada juga tempat tinggal kami yang sekarang jadi hutan tanaman industri,” ujar Medan (84), pemangku adat Suku Balik Kecamatan Sepaku, beberapa waktu lalu.
Mereka tak bisa melawan dan memilih mengalah. Mereka pergi dari kampung lama karena sudah ramai. Medan masih ingat betul, sekitar 1960-an, ia dan keluarganya melihat kebun dan hutan di kampung lama itu dibabat untuk dijadikan jalan alat berat.
Suku Balik tak biasa dengan keramaian sehingga memilih pindah masuk ke dalam hutan. Mereka terpaksa menjauhi kampung, kebun, dan hutan yang sudah mereka tinggali turun-temurun.
Tak sampai di situ, selagi memulai hidup di tempat baru, pemerintah bertahap membuat program transmigrasi. Oleh karena Suku Balik tak memiliki dokumen mengenai lahan dan hutan, pemerintah mematok sejumlah lahan yang mereka garap untuk ditempati oleh transmigran. Itu terjadi sejak tahun 1970-an.
Alhasil, kini Suku Paser hanya memiliki tanah beberapa petak saja. Mereka tak memiliki hutan adat yang diakui pemerintah. Adapun surat tanah yang mereka miliki baru sebatas segel.
”Saya punya tanah sekitar 1 hektar di kawasan yang katanya mau dijadikan KIPP IKN. Suratnya hanya segel. Mau mengurus untuk dijadikan sertifikat, prosesnya sampai sekarang ndak bisa,” ujar Dahlia (31), putri Medan.
Dahlia melanjutkan, saat ini Suku Balik di Sepaku nyaris tercerabut dari akarnya. Mereka sulit mencari rotan yang dahulu sangat mudah ditemui. Sebab, hutan di sekitar mereka sudah berubah menjadi permukiman dan perkebunan. Adapun hutan yang masih alami jaraknya lebih dari lima kilometer.
”Kami masih butuh rotan untuk lanjong atau kirai, semacam tas rajut untuk bawa hasil ladang. Di hutan, kami juga masih nyari sembung untuk obat anak kecil demam. Tapi jaraknya jauh sekarang,” kata Dahlia lirih.
Ditanam patok
Berjarak sekitar 10 kilometer dari rumah Dahlia, seorang perempuan duduk di warungnya dengan cemas ketika ditanya tanggapannya soal IKN Nusantara. Ia adalah Raniah (57) yang tinggal di RT 010 Desa Bumi Harapan. Kebun, rumah, dan warung di lahan tak sampai satu hektar miliknya dipatok sebagai KIPP IKN Nusantara.
Patok itu dipasang tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Sebagai keturunan Suku Pasir, Raniah khawatir bakal tergusur dari tanah kelahirannya. Sebab, masih banyak tanda tanya di kepalanya mengenai patok tersebut.
”Kalau lahan hutan industri mau diambil (untuk IKN) silakan, tetapi lahan kami yang sedikit ini jangan sampai. Ini perjuangan kami. Di sini saya buka warung untuk cucu-cucu sekolah karena yatim,” ujar Raniah dengan suara bergetar.
Raniah khawatir haknya atas tanah tak diakui karena hanya memiliki alas hak berupa segel. Sudah 15 tahun belakangan ia mengurus untuk pembuatan sertifikat tanah, tetapi tak kunjung selesai prosesnya. Apalagi saat ini pengurusan tanah dibatasi setelah UU IKN disahkan.
”Misalnya nanti tanah saya dibayar untuk IKN, tetapi saya khawatir ndak bisa dapat tanah yang murah. Belum tentu bisa dapat di pinggir jalan seperti sekarang yang bagus untuk buka warung kecil-kecilan,” lanjut Raniah.
Di sela-sela obrolan itu, Raniah menyampaikan harapannya. Ia hanya ingin hidup tenang dan bisa menikmati hidup seperti saat ini. Ia ingin melihat cucunya bisa menempuh pendidikan terbaik dengan upayanya berkebun dan berjualan.
”Saya yakin pemerintah niatnya bagus untuk bangun IKN. Tapi, saya harap informasi ke rakyat kecil seperti kami sampai dengan baik. Beri kami kepastian atas lahan kami,” katanya.