Selain deretan pantai, nyala biru kawah Ijen, hingga obyek wisata budaya, Banyuwangi juga punya sejumlah kuliner menggoda lidah. Saatnya mencoba.
Oleh
DEFRI WERDIONO, AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·6 menit baca
Rasa penasaran langsung membuncah saat kami menapakkan kaki di halaman warung Bu Har Gapangan, yang berada di lingkungan Cuking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (24/5/2022) siang, yang terik. Hari itu saat yang tepat setelah seharian meliput persiapan Seri Ke-6 Championship Tour Liga Selancar Dunia yang diselenggarakan di Pantai Plengkung mulai Sabtu (28/5/2022).
Sejumlah menu tertulis jelas pada papan-papan kecil yang tertempel di batang pohon. Sebut saja rujak cingur, rujak buah, rujak lontong, rujak kecut, rujak sayur, rujak iris ramonan, dan yang tidak ketinggalan rujak soto yang kini menjadi kuliner khas kabupaten paling timur di Pulau Jawa itu.
Karena penasaran, kami mencoba menu rujak soto, rujak kecut, dan nasi cawuk. Sambil menunggu pesanan tiba, kami langsung menuju ke warung bernuansa tradisional yang ada di sisi kanan halaman rumah. Dinding warung terbuat dari anyaman bambu dilengkapi gazebo membuat betah suasana.
Sambil menunggu pesanan, kami mencoba melongok pembuatan rujak. Ternyata, chef-nya, Ageng (31), generasi kedua Warung Bu Har Gapangan. Meski masih muda, pria bernama lengkap Adinda Prio Ageng itu lihai mengolah menu demi menu yang datang. Bagaimana bumbu-bumbu dicampurkan lalu diulek di atas cobek batu berukuran besar.
Ada cabai, pisang batu muda, kacang yang sudah digoreng, garam, dan gula jawa. Tidak ketinggalan secolek petis kehitaman ditambahkan. Setelah dicampur, barulah sayuran dan jeroan atau daging ditaburkan.
Sejurus kemudian, semangkuk rujak soto sudah terhidang di depan mata. Tak menunggu lama, menu lainnya datang menyusul. Segelas es kencur langsung mengguyur dahaga. Rasa segar mengusir gerah yang sebelumnya menyergap.
”Sluruppp…hmm,” sesendok rujak yang telah bercampur dengan kuah soto masuk ke mulut dan bermain-main sejenak di lidah. Rasanya segar dan enak, perpaduan dari rujak petis dengan soto. Adapun untuk tingkat kepedasan bisa disesuaikan dengan jumlah cabai yang diinginkan.
Rujak soto beda dengan rujak lain. Rujak cingur, misalnya, selalu menggunakan cingur (daging cingur atau moncong sapi). Sementara rujak sopo lebih fleksibel. Selain itu, petis dan pisang batu pada rujak soto tak sebanyak rujak cingur.
”Rujak soto bisa menggunakan bagian daging sapi yang lain, termasuk ceker dan sayap ayam. Tergantung pesanan,” ujar Ageng.
Menurut dia, rujak soto tadinya bukan makanan asli Banyuwangi, tetapi muncul di Banyuwangi sebagai hasil percampuran dua menu. Hal ini beda dengan rujak cemplung, rujak gobet, dan rujak kecut yang memang merupakan makanan khas Banyuwangi. Sejumlah referensi menyebut perpaduan rujak dan soto ini muncul tahun 1970-an berawal dari coba-coba yang dilakukan penikmat rujak di daerah ini.
Warung rujak Gapangan sendiri ada sejak 2010. Namun, saat itu masih berlokasi di trotoar sekitar lampur merah Cuking. Baru pada 2015 warung tersebut pindah ke lokasi sekarang.
Bukan hanya rujak, menu lain yang kini banyak dijumpai di warung makan dan resto di Banyuwangi adalah pecel pitik atau pecel ayam. Salah satu resto yang menyajikan menu ini ada di Desa Kemiren di Kecamatan Glagah. Desa ini dikenal sebagai desa wisata budaya Osing di sisi tenggara Ijen.
Ialah Jukung Resto & Nidom Coffee namanya. Tempatnya menyenangkan, terutama saat malam. Sebagaimana warung lain, pecel pitik di tempat ini menjadi salah satu menu selain menu tradisional modern lainnya, seperti nasi goreng dan kopi spesial tentunya.
Pecel pitik adalah sajian ritual masyarakat Osing atau masyarkat adat di Banyuwangi. Pecel pitik terbuat dari daging ayam dipanggang, disuwir, lalu dicapur dengan parutan kelapa mentah dan sedikit air kelapa. Cabai dan jeruk ”sambal” yang ditambahkan memerkaya rasa pedas-kecut, tetapi terasa segar di lidah.
”Pecel pitik biasanya bisa ditemui di acara ritual, seperti saat masyarakat hendak menanam padi, mau panen, mendirikan rumah, syukuran kelahiran, dan selamatan kampung. Itu menjadi menu wajib,” kata Nidom (51), sang pemilik.
Pecel pitik mulai disuguhkan ke konsumen luas setelah dunia pariwisata di Banyuwangi berkembang sejak 10 tahun lalu dan terus berkembang sampai sekarang. Menu ini disajikan di warung dan resto karena dinilai layak.
Pecel pitik biasanya bisa ditemui di acara ritual, seperti saat masyarakat hendak menanam padi, mau panen, mendirikan rumah, syukuran kelahiran, dan selamatan kampung. Itu menjadi menu wajib,
Menu ritual masyarakat Osing lainnya adalah tumpeng serakat dan sego golong. Ada juga aneka sayur (kuluban) yang memberikan manfaat dari sisi kesehatan, tetapi menu ini belum banyak disuguhkan ke konsumen.
Menu lain khas Osing—tetapi bukan makanan wajib dalam ritual—yang kini banyak disajikan di warung adalah ayam kesrut dan nasi tempong. Sementara kudapannya, antara lain, cucur dan clorot.
Banyuwangi bukan hanya kaya akan makanan berat, yang membuat kenyang perut. Salah satu kudapan ringan adalah tahu walik. Salah satu warung tahu walik yang banyak dikunjungi ada di daerah Kabat, Kecamatan Pakistaji, Kecamatan Kabat.
Warung Mas Shofi namanya. Selain tahu walik, juga ada tahu goreng biasanya yang bisa dicolekkan dengan saus tomat dan petis plus cabai. Harganya murah, Rp 1.000 per biji. Dalam sehari, sang empunya bisa menghabiskan empat kotak (boks) tahu.
Mujiati (57) menuturkan, setiap hari selalu ada saja pembeli yang berburu tahu walik buatannya. Warung Mas Shofi berdiri sejak 2013 persis di tepi jalan utama Banyuwangi-Jember.
Penikmat kuliner Rachmawati membedakan ada menu khas Osing dan makanan Banyuwangi. Makanan khas Osing diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat Osing, seperti pecel pitik yang awalnya untuk ritual, tetapi sekarang banyak dijual di warung. Ada juga sambal semanggi serai, sego golong, dan lainnya.
“Awalnya hanya ada saat ritual, tetapi saat ini banyak wisatawan yang ingin mencicipi sehingga banyak yang menjual. Tidak hanya di warung sederhana, tetapi juga sampai ke kafe,” ucapnya. Ada juga kesrut (mirip sup kuah asam-pedas). Kesrut bermacam variasi, ada yang dari daging ayam, sayuran, hingga sarang tawon.
Sementara menu-menu Banyuwangi adalah makanan yang banyak terkenal, seperti saat ini. Sebut saja rujak soto, rujak bakso, dan rawon bakso. ”Ini saya pikir bentuk akulturasi karena Banyuwangi tidak hanya terdiri dari masyarakat Osing, tetapi juga ada suku lain. Mungkin tumbuhnya di sini (Banyuwangi) setelah banyak orang datang,” ucapnya.
Akademisi Universitas PGRI Banyuwangi Wiwin Indiarti mengatakan masyarakat Banyuwangi memang terbuka. Sedangkan sifat dari budaya itu sendiri dinamis, mudah berubah. Seiring banyaknya orang datang akibat aktivitas pariwisata yang kian terbuka, akhirnya menu-menu tradisional (termasuk yang untuk ritual) mulai diproduksi sehari-hari.
Menurut Wiwin hal seperti ini sudah terjadi dan sangat mungkin ke depan akan semakin marak makanan yang tadinya bersifat eksklusif menjadi inklusif. Hal ini tidak hanya terjadi di Banyuwangi tetapi juga daerah lain. Bahkan, menu yang biasanya hanya dinikmati orang di dalam keraton kini pun disuguhkan di restoran.
”Pecel pitik yang sebelumnya jadi ritual, mungkin belasan tahun ke depan enggak akan seperti itu lagi karena budaya dinamis. Sekarang saja sudah mulai berbeda. Aslinya ayam disuwir bareng parutan kelapa mentah, dikasih sedikit air kelapa. Mentah semuanya. Kalau yang rada kota, saat ini mereka (warung) memanaskan itu biar lebih awet,” ujarnya.
Tertarik mencicip kuliner lokal Banyuwangi? Segera saja jadwalkan jalan ke kota ini.