Korupsi Dua Perkara, Bekas Gubernur Sumsel Dituntut 20 Tahun Penjara
Bekas Gubernur Sumsel Alex Noerdin dituntut 20 tahun penjara dan mengganti uang yang dikorupsi sekitar Rp 51 miliar. Dia dianggap melakukan korupsi dalam kasus PDPDE dan pembangunan Masjid Sriwijaya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·7 menit baca
RHAMA PURNA JATI
Bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Palembang, Sumsel, Rabu (25/5/2022).
PALEMBANG, KOMPAS — Bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dituntut 20 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar serta mengganti uang yang dikorupsi sekitar Rp 51 miliar. Dia dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi atas dua perkara berbeda, yakni kasus Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi serta pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Tuntutan dibacakan secara bergantian oleh jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang yang diketuai Yoserizal, Rabu (25/5/2022), di Palembang. Adapun Alex Noerdin mengikuti persidangan secara daring dari Lapas Kelas 1 Palembang bersama tiga terdakwa lain, yakni Muddai Madang, Caca Isa Saleh, dan Ahmad Yaniarsyah Hasan.
JPU memaparkan kasus korupsi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) bermula dari adanya permintaan Alex selaku Gubernur Sumatera Selatan kala itu kepada Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) terkait alokasi pembelian gas bumi bagian negara dari JOB PT Pertamina, Talisman Ltd, Pasific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan energi sejumlah industri di Sumatera Selatan.
Setelah alokasi itu diberikan, PDPDE Sumsel ditunjuk sebagai pengelola gas bumi tersebut. Penunjukan ini dilakukan karena menilai penjualan gas bumi kepada konsumen akan lebih mudah melalui BUMD. Di sisi lain, hal ini diharapkan dapat menggerakkan perekonomian daerah serta mendongkrak pendapatan asli daerah Sumsel.
Namun, dengan dalil tidak punya pengalaman teknis tentang pengelolaan gas dan dana, PDPDE Sumsel menggandeng investor swasta, yakni PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) milik Muddai. Perjanjian kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Caca selaku Direktur Utama PDPDE Sumsel dengan Muddai selaku pemilik dari PT DKLN pada 2 Desember 2009.
Akan tetapi, penandatanganan ini dianggap tidak sah karena tanpa disertai izin prinsip dari Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Persetujuan izin prinsip tentang pembentukan PDPDE Gas baru dikeluarkan pada 16 Desember 2009 dengan komposisi kepemilikan saham 15 persen untuk PDPDE Sumsel dan 85 persen untuk PT DKLN.
Hanya saja, penentuan komposisi tersebut tanpa melalui studi kelayakan, analisis, dan pertimbangan dari Badan Pengawas Perusahaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Keesokan harinya, penandatanganan perjanjian kerja sama antara PDPDE dan PT DKLN untuk membentuk PDPDE Gas pun digelar kembali, kali ini dengan disertai izin prinsip.
Namun, izin prinsip yang dikeluarkan berbeda dengan nota kesepahaman yang sudah disepakati sebelumnya. Perubahan itu terlihat pada pemberian setoran modal. Semula, pembentukan PDPDE Gas akan dibiayai sepenuhnya oleh PT DKLN. Kenyataannya, setoran modal akan disesuaikan dengan kepemilikan saham. Kondisi ini tentu merugikan PDPDE Gas.
RHAMA PURNA JATI
Tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan membacakan tuntutan untuk empat terdakwa kasus korupsi PDPDE dan Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya, Rabu (25/5/2022), di Pangadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang.
Dalam penunjukan direksi, Caca juga merangkap jabatan. Selain menjabat sebagai direktur utama PDPDE Sumsel, ia juga merangkap jabatan sebagai direktur utama PDPDE Gas. Dalam kondisi ini rentan terjadi konflik kepentingan. Setali tiga uang, Yaniarsyah juga merangkap jabatan, yakni sebagai Direktur PDPDE Sumsel sekaligus Komisaris PDPDE Gas.
Dengan jabatan ganda tersebut, ungkap JPU, Caca juga mengalihkan hak pengelolaan dan pemanfaatan gas bumi bagian negara dari JOB Jambi-Merang dari PDPDE Sumsel ke Muddai melalui PDPDE Gas. Pengalihan ini dinilai tidak sah karena tanpa menyematkan persetujuan dari JOB Jambi-Merang.
Muddai Madang juga tidak pernah melakukan penyetoran modal awal pada PDPDE Gas sebesar Rp 7,5 miliar. Namun, ia dengan sengaja meminta Yaniarsyah untuk tetap mencatatkan nominal penyetoran modal awal itu dalam laporan keuangan PDPDE Gas.
Muddai dan Yaniarsyah juga melakukan rekayasa laporan keuangan PDPDE Gas pada akun utang pemegang saham yang dikonversi menjadi modal PT DKLN di PDPDE Gas sebesar 4,9 juta dollar AS. Padahal, utang PDPDE hanya Rp 2,6 miliar dan 1,05 juta dollar AS dengan beberapa di antaranya sudah dibayarkan. Rekayasa ini membuat komposisi modal PT DKLN di PDPDE Gas bertambah.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Alex Noerdin
Setelah nilai saham di PDPDE Gas dimainkan, Mudai dan Yaniarsyah kemudian menjualnya kepada sejumlah perusahaan. Rangkaian perbuatan yang dilakukan Alex dan tiga terdakwa lain, yakni Muddai, Caca, dan Yaniarsyah, dianggap melanggar Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Alex juga dianggap melanggar sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Atas perbuatannya ini, Alex juga dianggap telah memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat jumlah kerugian keuangan negara akibat korupsi PDPDE mencapai Rp 2,13 miliar dan 30,2 juta dollar AS. ”Kerugian ini harus ditanggung oleh keempat terdakwa menurut peran masing-masing,” ucap JPU.
Masjid raya
Sementara untuk perkara pembangunan Masjid Raya Sriwijaya, Alex Noerdin dianggap telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Terdakwa selaku Gubernur Sumsel menyetujui penyaluran dana hibah dengan melanggar sejumlah prosedur, seperti penyaluran dana hibah dilakukan pada Yayasan Masjid Raya Sriwijaya yang berdomisili bukan di Sumatera Selatan.
Perbuatannya juga telah mencederai kepercayaan masyarakat.
Pada pemberian dana hibah tahun 2015 sebesar Rp 50 miliar tidak didahului dengan pengajuan proposal dari yayasan dan tidak disertai dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah. Pada 2017, hibah kembali dikucurkan, kali ini sebesar Rp 80 miliar. Namun, ini tidak didahului dengan laporan pertanggungjawaban dari yayasan tentang penggunaan dana hibah tahun 2015.
Selain itu, Alex juga seakan membiarkan masjid dibangun di atas lahan yang bermasalah sehingga risiko kegagalan pembangunan sangat besar terjadi. Alex pun diduga menerima suap sebesar Rp 4,8 miliar yang dibuktikan dari adanya catatan secarik kertas dan uang yang ditujukan kepada Alex.
Di kedua kasus ini, Alex dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUH Pidana. Serta subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kerangka pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang, Selasa (16/6/2020).
Menurut JPU, hal yang memberatkan Alex adalah tidak mendukung program pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai penyelenggara negara, seharusnya Alex memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Perbuatannya juga telah mencederai kepercayaan masyarakat.
Jaksa menganggap Alex telah menikmati hasil tindak pidana korupsi, tidak memiliki etika mengembalikan kerugian negara, dan tidak merasa bersalah atas perbuatannya. Karena itu, jaksa menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Selain itu, jaksa juga menuntut agar majelis hakim memberikan pidana tambahan pada Alex dengan membayar uang pengganti 3,29 juta dollar AS atau sekitar Rp 46,8 miliar (kurs Rp 14.630) untuk perkara PDPDE dan Rp 4,84 miliar untuk perkara pembangunan Masjid Sriwijaya.
Jika Alex tidak membayar paling lambat satu bulan setelah keputusan yang berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang. Apabila uang pengganti tidak mencukupi, akan diganti dengan pidana penjara 10 tahun.
Alex tidak menyangka jaksa memberikan tuntutan sebesar ini. ”Begitu kejamnya Bapak dan Ibu Jaksa memberikan tuntutan maksimal seperti ini. Terima kasih,” ujar Alex. Dia pun meminta waktu pada Ketua Majelis Hakim untuk menyusun pembelaan. ”(Tuntutan) ini di luar dugaan saya. Berikan saya waktu untuk menyusun pembelaan,” ucapnya.
Unggul Cahyaka, kuasa hukum Alex, sangat sedih dan tidak pernah mengira tuntutan yang dipaparkan jaksa setinggi ini. Padahal, kliennya sudah memberikan keterangan. Namun, keterangan tersebut dikesampingkan. Pemberian hukuman ini juga dinilainya sangat kejam mengingat usia Alex yang sudah 70 tahun, tentu hukuman 20 tahun dan pembayaran aset hingga Rp 55 miliar akan sangat membebankan. ”Apakah harus 100 tahun menjalani hukuman?” ucapnya.
Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Azwar Hamid, mengatakan, tuntutan yang dipaparkan sudah didasari pada fakta persidangan, analisis yuridis, dan alat bukti yang dikumpulkan. ”Dari hasil analisis itulah, kami memberikan tuntutan ini,” ucapnya.
Selain Alex, Muddai juga dituntut 20 tahun penjara. Sementara Caca dan Yaniarsyah dituntut 18 tahun penjara. Pada tuntutan kali ini, Caca dan Muddai juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang. Keempat terdakwa akan memaparkan pembelaan pada Kamis (2/6/2022).