Jemunak, makanan khas Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jateng, selalu diburu di bulan Ramadhan. Penganan ini dianggap cocok dan dicari untuk hidangan berbuka puasa.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Dikenal dan sering disajikan sejak puluhan tahun lalu, jemunak menjadi hidangan tradisional yang lekat di setiap Ramadhan. Penganan berbahan singkong dan ketan yang ditumbuk, dibungkus daun pisang, lalu dikukus ini juga selalu tersedia dan dicari sebagai kuliner berbuka puasa.
Jemunak menjadi kudapan gurih yang cocok dikonsumsi saat berbuka puasa, karena tak menimbulkan efek kenyang berlebihan. Gula merah cair disiapkan untuk dicampur jemunak yang sudah matang.
Hidangan ini khas dari Desa Gunugpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di desa ini, para pembuatnya tersebar di sejumlah dusun. Kebanyakan dari mereka meneruskan resep leluhur yang telah diwariskan hingga berganti generasi. ”Di sela-sela sakitnya, ibu sering berpesan, mengingatkan saya agar jangan pernah lupa membuat jemunak di bulan Ramadhan,” ujar Kasmirah (52), pembuat jemunak asal Dusun Karaharjan RT 002 RW 003 Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan.
Kasmirah adalah anak Mujilah, pembuat jumenak yang meninggal akhir tahun lalu di usia 90 tahun. Mujilah yang membuat jemunak sejak usia remaja, juga meneruskan usaha yang dirintis nenek dan ibunya. Adapun Kasmirah belasan tahun terakhir membantu ibunya membuat jemunak.
Saking tingginya dedikasi Mujilah pada konsumen jumenak, di saat fisik sudah sangat lemah bulan puasa 2022, ia tetap menyiapkan jemunak. ”Kata ibu saya dulu, kasihan kalau ada orang yang mencari-cari, tetapi kemudian jemunak tidak tersedia,” ujarnya.
Wasiat ibunya itu pula yang mendorong Kasmirah terus membuat jemunak, juga karena di setiap Ramadhan banyak orang berdatangan mencari jemunak. Selain dari pedagang-pedagang di lingkup Desa Gunungpring, sering kali datang pelanggan dari jauh, seperti Kota Magelang, Semarang, Kabupaten Wonosobo, hingga sejumlah kota dari Kalimantan.
”Entah tahu alamat rumah kami dari mana, para pelanggan dari kota-kota yang jauh itu, berdatangan. Sebelum menemukan lokasi kami, banyak dari mereka kebingungan mencari-cari alamat dan sering kali tersasar ke kampung-kampung lain,” ujarnya tertawa.
Kata ibu saya dulu, kasihan kalau ada orang yang mencari-cari, tapi kemudian jemunak tidak tersedia.
Semangat untuk terus membuat jemunak juga dilakukan Susanti (45), warga Dusun Bintaro, Desa Gunungpring. Dia menjalankan usaha bersama adiknya Ely (40), sedangkan satu adiknya yang lain membuat jemunak bersama ibunya.
Susanti yang sehari-hari juga menjual aneka makanan ringan mengatakan, jemunak biasa dibuatnya berdasarkan pesanan. Namun, sebagian juga dijualnya sendiri di rumahnya.
Saat ditemui di rumahnya pertengahan April lalu, ia sedang sibuk membungkus adonan sembari membalas percakapannya terkait pesanan konsumen. Tidak hanya dari sekitar kampung, permintaan terkadang diterimanya dari Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seperti ibu dan neneknya, Kasmirah membuat jemunak sejak hari pertama puasa hingga hari terakhir Ramadhan. Karena ingin fokus membuat jemunak, ia menghentikan sementara membuat dan menjual aneka jenang atau bubur bercita rasa manis.
Aktivitas ini pun terus dijalani, dilakoninya sekalipun dua tahun terakhir diguncang pandemi. Di saat pandemi, permintaan jemunak justru terus meningkat sehingga dari awal hingga akhir puasa, dia mengolah 20-25 kilogram singkong.
”Mungkin, karena pandemi banyak orang menghabiskan waktu di rumah dan lebih sering ngemil,” ujarnya. Sebanyak 20 kg singkong bisa diolah menjadi 750 bungkus, sedangkan dari 25 kg singkong bisa diolah menjadi 1.000 bungkus jemunak.
Aktivitas membuat jemunak dimulai sejak pukul 07.00 dengan mengupas singkong yang kemudian diparut. Sembari itu, ia mengukus beras ketan hingga kondisi setengah matang. Dua bahan baku ini kemudian dicampur dan ditumbuk hingga halus. Setelah itu, campuran itu kembali dikukus hingga matang. Pukul 12.00, setelah adonan siap, biasanya Kasmirah mulai membungkus adonan itu bersama tambahan kelapa parut dan cairan gula merah yang dikemas dalam plastik.
Metode berbeda dilakukan Susanti. Demi ketan lebih empuk, sehari sebelumnya ia merendam beras ketan yang akan dipakai. Setelah itu, sekitar pukul 09.00, ia baru memulai mengolah semua bahan yang diperlukan.
Nenek dan ibu Susanti juga terbiasa membuat jemunak di bulan Ramadhan. Namun, di luar itu, mereka tetap menerima pesanan. ”Saya pernah membuat jemunak di luar Ramadhan karena kebetulan ada yang menginginkan penganan ini dihidangkan sebagai makanan ringan di acara resepsi pernikahan,” ujarnya.
Susanti tidak mengetahui asal muasal kata jemunak. Ia hanya menduga nama itu muncul untuk sekedar mengungkapkan karakteristik penganan yang cenderung lunak itu. ”Mungkin juga itu kependekan dari lunak dan enak,” ujarnya.
Sementara itu, Heru Wiyanta (35), cucu Mujilah, menuturkan, kakeknya pernah menyebut jemunak memiliki makna tertentu, yaitu ungkapan dari seseorang karena menemukan makanan yang enak. ”Karena masih sedikitnya ragam makanan ringan di masa lalu, maka ketika menemukan olahan singkong semacam ini, maka otomatis mereka menyebutnya jemunak,” ujarnya.
Ide membuat jemunak tidak muncul karena Desa Gunungpring ataupun Kecamatan Muntilan adalah sentra singkong. Kreativitas membuat jemunak muncul hanya semata-mata karena bahan baku singkong dan beras ketan relatif dikenal dan mudah ditemui di pasar.
Entah sejak kapan pastinya jemunak menjadi hidangan berbuka puasa. Yang pasti, jemunak tidak membuat kenyang sebagaimana makan nasi saat berbuka puasa. ”Orang khawatir kekenyangan dan ngantuk saat shalat Tarawih,” ujar Heru.
Bulan Ramadhan masih beberapa hari lagi. Nikmat jemunak masih menemani saat berbuka puasa. Tak terlupakan di bulan Ramadhan.