Saksi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di SPI Kota Batu Terintimidasi
Saksi dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu mengalami intimidasi. Akibatnya, demi keamanan, LPSK harus memindahkan lokasi domisili mereka.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sidang lanjutan dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia atau SPI di Kota Batu, Jawa Timur, terus bergulir. Saat ini pemeriksaan terhadap saksi-saksi masih dilakukan. Namun, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menemukan adanya upaya intimidasi terhadap para saksi yang dihadirkan di pengadilan.
Bentuk intimidasi tersebut adalah adanya orang bermobil datang di sekitar rumah saksi di Bali. Mereka diam mengamati rumah tersebut tanpa mematikan kendaraan. Hal itu membuat para saksi merasa takut dan tidak nyaman.
”Saya datang ke sini, selain ingin memastikan apakah penanganan kasus ini sesuai dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan atau tidak, kami berharap prosesnya sudah mengarah pada pemenuhan hak-hak saksi dan korban sebagaimana UU tersebut. Salah satu yang harus dicermati pada kasus SPI ini adalah hak keamanan saksi dan korban,” kata Livia Istania DF Iskandar, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu (13/4/2022), saat hadir mengawal persidangan di Pengadilan Negeri Malang.
Menurut Livia, tim LPSK menerima laporan dari saksi bahwa rumah mereka diamati oleh orang. ”Ada orang mengamati dari dalam mobil, kondisi mobil menyala, dan terus melihat ke rumah saksi. Memang tidak ada interaksi antara si pengamat dan saksi, namun ini cukup membuat tidak tenang,” katanya.
Oleh karena intimidasi itu, LPSK memindahkan lokasi domisili saksi. Mereka juga bekerja sama dengan kepolisian dari Kepolisian Daerah Bali untuk mengamankan saksi. Sebab, banyak saksi tinggal di Bali.
”Kami juga menyampaikan keberatan kepada majelis hakim agar alamat detail korban dan saksi tidak usah ditanyakan dan diminta mengungkapkan. Menjaga kerahasiaan alamat saksi dan korban ini adalah demi hak keamanan mereka, dan harus dilindungi seperti disebutkan dalam UU TPKS,” kata Livia. Pada beberapa sidang sebelumnya, saksi dan korban selama sidang, menurut dia, diminta menyebutkan detail alamat mereka.
Livia mengatakan, LPSK memberikan empat program perlindungan pada kasus SPI Kota Batu. ”Empat program perlindungan itu adalah perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural (misal diantar, didampingi, dan dijemput), perhitungan restitusi (ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga yang terkait pelaku), serta pendampingan psikologis pada korban.
”Pendampingan psikologis ini penting, karena untuk memberikan kesaksian di pengadilan, korban seakan membuka luka lama yang tentu bisa mengguncang (kondisi) psikologis korban,” katanya.
Dengan munculnya UU TPKS, LPSK berharap jaksa penuntut umum akan mencantumkan restitusi pada saat nanti membacakan tuntutan. ”Kami sudah memberikan masukan pada jaksa dan berharap persoalan restitusi ini akan dicantumkan dalam tuntutan,” ujar Livia.
Adapun Rabu (13/4/2022), sidang kasus dugaan kekerasan seksual di Sekolah SPI kembali berjalan dengan agenda pemeriksaan seorang saksi. Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kota Batu Yogi Sudarsono mengatakan bahwa hingga kini secara umum keterangan saksi mendukung materi dakwaan.
”Hari ini sebenarnya jadwalnya pemeriksaan dua saksi, namun seorang saksi tidak hadir. Jadi, hanya dilakukan pemeriksaan dua orang saksi. Sampai sekarang, keterangan para saksi mendukung surat dakwaan kami,” kata Yogi.
Sebaliknya, kuasa hukum terdakwa, mengaku bahwa keterangan saksi menguatkan keyakinan tim kuasa hukum bahwa klien mereka tidak melakukan perbuatan sesuai dakwaan. ”Dengan banyaknya saksi yang sudah diperiksa, kami semakin yakin bahwa klien kami tidak melakukan sebagaimana dakwaan. Itu sebagaimana diperkuat keterangan saksi-saksi,” kata Jeffry Simatupang, kuasa hukum terdakwa JE.
Ditho Sitompoel, kuasa hukum JE lainnya, kembali menekankan bahwa korban dalam kasus ini hanya satu orang. ”Tetap kami tekankan bahwa yang di dalam dakwaan, yang menjadi korban hanya satu orang. Saksi tadi tidak masuk dalam dakwaan dan juga tidak membuktikan dakwaan,” kata Dhito.
Kasus ini bermula saat JE, pendiri Sekolah SPI. Kota Batu, dilaporkan telah melecehkan belasan siswi di sana. Laporan ke Polda Jatim terkait kasus itu terjadi pada Mei 2021. Saat itu, belasan orang tersebut didampingi Komnas Perlindungan Anak melaporkan JE sebagai pelaku kekerasan seksual. Namun, pada surat dakwaan, akhirnya disebut hanya ada seorang korban, yaitu SDS. Sementara pelapor lain menjadi saksi.
Selama ini, Sekolah SPI dikenal sebagai sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu dan anak yatim yang berasal dari berbagai pelosok Tanah Air. Sekolah berkonsep alam tersebut sebelumnya diapresiasi karena mengedepankan keberagaman.
Adapun JE, dalam sidang ini didakwa dengan empat pasal alternatif, yaitu Pasal 81 Ayat (1) juncto Pasal 76d Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, Pasal 81 Ayat (2) UU Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 76e UU Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dan Pasal 294 Ayat (2) ke-2 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya berkisar 3-15 tahun penjara. JE didakwa melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya yang berinisial SDS.