Malang, Titik Awal Penyebaran Kopi Robusta di Indonesia
Sebelum berkembang ke seluruh Indonesia, Malang merupakan daerah pertama yang digunakan untuk menanam bibit robusta asal Belgia pada awal 1900-an. Oleh sebab itu, Malang menjadi ”ibu” bagi kopi robusta di Tanah Air.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·6 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Suasana jelang bedah buku Absolute Coffee di Roewang Tamoe Caffee, Malang, Jawa Timur, Rabu (6/4/2022) petang. Tampak pengarang buku, Prawoto Indarto (memakai batik, berkacamata), dan Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto (kanan) hadir pada kegiatan itu.
Lebih dari 100 tahun lalu, setelah menggelar uji kelayakan tanaman, Direktur Proefstation Midden en Oost Java Malang—lembaga penelitian Pemerintah Hindia Belanda—Dr AJ Ultee menyatakan, kopi robusta aman serta layak untuk menggantikan arabika dan liberika di Jawa. Sejak saat itu, arah industri kopi Indonesia berubah dari produsen arabika menjadi produsen robusta di pasar dunia.
Posisi Indonesia akan komoditas kopi di kancah internasional itu pun berlangsung sampai sekarang. Indonesia masih menjadi negara produsen kopi terbesar keempat dunia di bawah Brasil, Vietnam, dan Kolombia dengan volume ekspor sebanyak 75-80 persen berupa jenis robusta.
Lokasi Ultee mengumumkan hasil uji cobanya itu masih ada sampai sekarang. Tempat bersejarah itu kini menjadi kantor Kebun Percobaan Sumber Asin-Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Lebih dari seabad lalu, tempat itu menjadi saksi bagaimana Ultee menguji bibit robusta (Coffea canephora var robusta) yang baru datang dari Belgia. Varietas ini memiliki karakteristik produksi tinggi dan tahan penyakit.
Bibit itu didatangkan oleh Rauws, Sekretaris Direksi Cultuur Mij Soember Agoeng—perusahaan perkebunan swasta di Malang. Dari 150 bibit tanaman yang tiba, tujuh batang di antaranya mati. Sisanya 147 batang disebar di tiga daerah, yakni Sumber Agung dan Kalibakar (Malang) serta Wringin Anom (Gresik).
”Mulai dari situ Indonesia kemudian menjadi agrirobusta. Robusta menggantikan arabika di Jawa yang mati akibat serangan Hemileia vastatrix penyebabkarat daun. Arabika diganti liberika, namun dianggap gagal. Liberika lalu diganti robusta,” ujar peneliti sekaligus penulis buku Absolute Coffee, Prawoto Indarto.
Indarto mengatakan hal itu dalam bedah buku tersebut di Roewang Tamoe Caffee, Malang, Rabu (6/4/2022) petang. Hadir pada kesempatan ini, antara lain, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto bersama dinas terkait dan para pegiat kopi di Malang Raya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Suasana bedah buku Absolute Coffee di Roewang Tamoe Caffee, Malang, Rabu (6/4/2022) petang. Tampak pengarang buku, Prawoto Indarto (berbicara), dan Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto (bertopi) hadir pada kegiatan itu.
Melihat pentingnya posisi Malang, menurut Indarto, tepat kiranya jika Malang dinobatkan menjadi ”ibu kandung” kopi robusta Indonesia karena dari tempat itu kopi tersebut mengalir dan berkembang ke wilayah lain. Meski dalam perkembangannya, beberapa tahun kemudian, ada juga dari Governements Proeftuins Bangelan (Bangelan) dan Besoekisch Proetuinfstation (Jember).
”Pergerakan dari arabika, liberika, dan robusta. Dalam konteks robusta, ternyata Malang mendominasi. Kita tidak akan bisa melakukan branding tanpa mengetahui titik awal di mana robusta ditanam. Saya sudah dorong ke beberapa teman di pusat, Malang semestinya memiliki suatu privilege karena dari Malang, Indonesia menjadi eksportir kopi dunia. Induknya dari Malang,” tuturnya.
Sumbermanjing Wetan hanya salah satu sentra kopi di kabupaten terluas kedua di Jawa Timur setelah Banyuwangi itu. Kecamatan lain yang juga penghasil kopi di Malang adalah Ampelgading, Tirtoyudho, dan Dampit (dikenal dengan istilah Amstirdam). Daerah-daerah itu terletak di sisi barat daya Gunung Semeru.
Belum ke Malang kalau belum minum kopi Malang. Kopi adalah destinasi wisata.
Selain itu, kopi juga ada di lereng Kawi, Arjuno, Anjasmoro, hingga Bromo. Robusta dan arabika paling dominan dibandingkan jenis lain. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang menyatakan, luas area kebun kopi robusta mencapai 19.000 hektar (ha) dan arabika 2.000 ha. Produktivitas robusta 1 ton per ha.
”Di wilayah kami ada robusta, ekselsa, liberika, dan arabika. Semua yang bisa dibudidayakan di Taji kami coba,” ujar Yusli Obing, salah satu penggiat kopi asal Desa Taji, Kecamatan Jabung, yang berada di lereng Bromo.
Kopi dari Malang tidak hanya beredar dan memenuhi hasrat pencinta kopi Tanah Air, tetapi juga melenggang ke luar negeri. Setiap tahun 50.000 ton biji kopi (green bean) diekspor PT Asal Jaya Dampit ke 45 negara. Angka itu disebut-sebut masih belum bisa memenuhi kebutuhan. Asal Jaya masih mendatangkan kopi dari daerah lain untuk menutup kekurangannya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Kopi robusta milik petani di Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, siap dipanen. Hujan yang masih sering turun berpengaruh terhadap perkembangan buah kopi menjadi tidak selebat saat cuaca kondusif. Foto diambil pada Rabu (26/7/2017).
Memang, meski sudah berumur lebih dari 120 tahun sejak pertama kali ditanam, keberadaan robusta di Malang masih perlu terus mendapat sentuhan. Sejumlah persoalan perlu dipecahkan untuk kemajuan kopi Malang ke depan, baik dari sisi masyarakat, penikmat dan pegiat kopi, maupun pemangku kepentingan.
Penikmat kopi rendah
Pegiat kopi Nusantara, Riskha Gunawan, menilai Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor kopi terbesar, tetapi jumlah penikmat kopinya masih terendah. Ketika datang ke kedai, mereka tidak minum kopi murni, melainkan minuman kopi dengan banyak variasi serta kreasi. Padahal, jika memilih kopi murni, dampak yang dirasakan petani lebih besar karena proses pengolahan kopi membutuhkan biaya tinggi.
Riska menyinggung bagaimana petani bisa mendapatkan pendampingan dari lembaga donor, seperti di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Keberadaan donor membuat pengelolaan kopi dari hulu hingga hilir bisa berjalan lebih baik.
Pemilik Amstirdam Coffee, Sivaraja, menuturkan, 10 tahun terakhir industri kopi di Malang tumbuh luar biasa. Sekarang waktu yang tepat untuk mengampanyekan kopi Malang kepada khalayak. ”Misalnya, belum ke Malang kalau belum minum kopi Malang. Kopi adalah destinasi wisata,” ucapnya.
Menurut Sivaraja, dalam obrolan bersama teman-teman pegiat kopi, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengangkat kopi Malang, antara lain merilis buku tentang kopi, seperti Bondowoso Republik Kopi. Di situ ada edukasi dari hulu sampai hulir dengan kurikulum tepat, termasuk mengajarkan kepada petani soal branding dan marketing dengan dukungan pihak swasta serta pemerintah.
”Kenapa kita tidak mencoba lakukan itu? Kita cukup beruntung karena industri kopi didukung anak muda energik, kreatif, dan bisa melakukan itu. Yang menarik, Asosiasi Kopi Indonesia (SCAI) diketui anak muda juga. SCAI sedang mencari kesempatan ke daerah, bagaimana mereka bisa menjangkau daerah-daerah dan mendukungnya melalui edukasi dan lomba di tingkat nasional maupun internasional,” katanya.
Didik Gatot Subroto mengakui, dari sekian sentra kopi di wilayahnya, baru kopi dari Dampit yang telah mengemuka. Daerah penghasil lain tengah mencoba menapak ke permukaan. Didik pun membenarkan bahwa kopi Malang telah diekspor sehingga berkontribusi pada devisa dan meningkatkan perekonomian petani.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Karyawan salah satu perusahaan kopi di Kabupaten Malang tengah memilah biji kopi. Malang merupakan salah satu daerah penghasil kopi di Jawa Timur.
Selain perkebunan, menurut Didik, masyarakat juga meneguk penghasilan dari bisnis kopi. Kafe dan kedai-kedai menggeliat, baik itu yang ada di lingkungan kampus, di Malang kota, maupun di daerah yang relatif jauh dari kota.
”Para pelakunya adalah anak muda kreatif. Saya yakin 50-100 persen kopi di kafe-kafe itu merupakan kopi lokal,” ujar Didik yang menawarkan peluang kepada anak-anak muda untuk bisa mengelola kopi tidak hanya di tingkat hilir, tetapi juga sampai ke hulu.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Perhutani, lanjutnya, membuka peluang kerja sama pemanfaatan lahan hutan yang bisa dikelola anak muda. Dengan kreativitas, mereka diharapkan tak hanya mengolah kopi yang sudah jadi, tetapi turun langsung ke lahan, mulai dari pembibitan, panen, hingga pascapanen.
Pemerintah Kabupaten Malang telah berhasil menyertifikasi kopi dengan nama Kanjuruhan yang akan segera diluncurkan dalam waktu dekat. Selain itu, ada rencana penyelenggaraan event-event untuk mengangkat pamor kopi Malang dengan melibatkan komunitas masyarakat.
Bagaimanapun, Malang punya posisi penting dalam perkembangan kopi. Malang menjadi ujung tombak Indonesia dalam hal perkopian. Prawoto Indarto menyebut, kini berembus kabar bahwa kopi arabika di Kolombia tengah mengalami penurunan produktivitas akibat perubahan iklim. Kondisi ini merupakan angin segar bagi robusta yang hidup di ketinggian 400-700 meter di atas permukaan laut.
”Kita lihat dari pasar-pasar industri kopi dunia, pergerakan robusta, permintaannya justru naik, sedangkan arabika cenderung turun. Seperti kata Wakil Bupati, kebutuhan robusta baru akan tumbuh. Maka, Malang adalah masa depan untuk kopi Indonesia sebenarnya,” pungkasnya.