Nelayan Pulau Rupat Terancam ”Gantung Jala” akibat Tambang Pasir Laut
Komunitas nelayan di Indonesia terus menurun akibat ekspansi industri ekstraktif ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal itu salah satunya terjadi di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
DOKUMENTASI KKP
Petugas di Kapal Pengawas Perikanan Hiu 01 saat menyetop operasi kapal petambang pasir laut di perairan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Minggu (13/2/2022).
BATAM, KOMPAS — Kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut mengancam kehidupan nelayan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau. Pemerintah diminta konsisten dan tegas menindak perusahaan yang melakukan pertambangan tanpa izin di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.
Ketua Aliansi Tokoh Masyarakat Riau Peduli Pulau Rupat, Said Amir Hamzah, Kamis (7/4/2022), mengatakan, tambang pasir laut mengakibatkan padang lamun dan terumbu karang rusak parah. Akibatnya, ratusan nelayan lokal sulit mendapat ikan dan terancam ”gantung jala”.
”Dahulu, mudah bagi nelayan untuk mendapat Rp 500.000 dalam sehari, karena ikan dan udang sangat banyak. Sekarang, sehari dapat Rp 200.000 pun sudah sangat beruntung,” kata Said, dihubungi dari Batam.
PANDU WIYOGA
Seorang nelayan memantau aktivitas kapal isap di perairan Pantai Matras, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Rabu (7/4/2021). Nelayan setempat memprotes aktivitas pertambangan timah di perariran tersebut.
Penambangan pasir laut tersebut dilakukan PT Logomas Utama di perairan utara Pulau Rupat. Aktivitas tambang juga mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir di Pulau Babi dan Pulau Beting Aceh. Kerusakan itu berupa abrasi, laut keruh, hancurnya terumbu karang, dan kerusakan padang lamun.
”Sejak ada aktivitas tambang, penyu dan dugong menghilang. Padahal hewan laut itu salah satu potensi untuk mengembangkan pariwisata di Rupat,” ujar Said.
Pada 13 Februari lalu, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan, menghentikan operasi kapal petambang pasir milik PT Logamas Utama. Selain itu, KKP juga memanggil Direktur PT Logomas Utama, Indrawan Sukmana, untuk diperiksa.
KESATUAN NELAYAN TRADISIONAL MATRAS-PESAREN UNTUK KOMPAS
Aktivitas kapal isap produksi timah di perairan yang berjarak 0-4 mil (0-7 kilometer) dari garis Pantai Matras, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Rabu (7/4/2021).
Lewat pernyataan tertulis, Direktur Jenderal PSDKP Laksamana Muda Adin Nurawaluddin menyatakan, PT Logomas Utama tidak memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Dia menambahkan, hasil penelitian oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara, juga membuktikan kerusakan pesisir di perairan utara Pulau Rupat akibat aktivitas tambang.
Terkait hal itu, Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Eko Yunanda mengatakan, nelayan masih khawatir penghentian aktivitas tambang hanya bersifat sementara. Hingga kini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Logomas Utama.
”Kementerian ESDM seharusnya meniru langkah tegas KKP. Itu bisa dimulai dengan segera mencabut IUP PT Logomas Utama. Kerugian nelayan, kerusakan ekosistem, dan proses malaadministrasi dalam penerbitan izin seharusnya cukup dijadikan alasan,” kata Eko.
Seorang nelayan menunjukkan hasil tangkapan udang di Teluk Kelabat Dalam, Bangka Belitung, Kamis (8/4/2021). Jumlah tangkapan nelayan setempat terus menurun akibat aktivitas tambang timah ilegal.
Pada 6 April lalu, dalam rangka memperingati Hari Nelayan 2022, Walhi merangkum sejumlah masalah yang memicu nelayan di sejumlah daerah ”gantung jala”. Salah satunya penurunan jumlah nelayan sangat erat kaitannya dengan ekspansi industri ekstraktif ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Rupat.
Walhi mencatat, ekspansi pertambangan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengakibatkan 35.000 keluarga nelayan kehilangan ruang hidup. Selain itu, ada 6.081 desa di pesisir yang kawasan perairannya tercemari limbah pertambangan. Adapun hingga tahun 2040, pemerintah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12,98 juta hektar.