Asa Kemandirian dari Sebuah Rumah Kopi
Dalam rumah kopi itu mewujud tekad para petani suku Amungme dari Pegunungan Barisan Sudirman untuk hidup mandiri tanpa bantuan perusahaan tambang. Namun, beragam tantangan menghadang.
Sebuah rumah kopi anyar dibuka di pusat kota Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Amungme Gold namanya. Dalam rumah kopi itu mewujud tekad para petani suku Amungme dari Pegunungan Barisan Sudirman untuk hidup mandiri tanpa bantuan perusahaan tambang.
Ishak Jawame (26), seorang pemuda Amungme dari Distrik Hoya, begitu bangga dengan rumah kopi baru itu. Konsistensi para petani, termasuk orangtuanya, sejak 1998 dalam merawat pohon kopi arabika di perkampungan dataran tinggi akhirnya memasuki babak baru.
Selama 24 tahun, PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang logam yang sudah setengah abad beroperasi di Mimika, senantiasa mendampingi mereka dalam wadah Koperasi Serba Usaha (KSU) Amungme Gold. Para petani diberi bibit kopi arabika Lini-S dan perkakas pertanian, kemudian dilatih merawatnya secara organik hingga memanennya.
Perlahan, suku Amungme beralih dari peramu yang hanya menanam kelapa gunung (Pandanussp) untuk konsumsi sehari-hari menjadi petani produsen kopi yang bernilai ekonomi. Mereka pun menjadi bagian dari rantai pasok perekonomian modern.
”Bapa saya mulai menjadi petani di bawah pendampingan Ibu Carolyn Cook (pencetus program kopi arabika Freeport) waktu saya masih umur dua tahun. Sekarang, Amungme Gold sudah bisa punya aset seperti kantor (rumah kopi) dan alat operasional lainnya,” kata Ishak, Jumat (18/3/2022), di halaman rumah kopi itu.
Pembukaan rumah kopi di tengah kota Timika pada 14 Maret 2022 diharapkan membantu koperasi memperluas cakupan pasarnya, yaitu masyarakat umum. Sebab, sebelumnya kopi Amungme Gold hanya dipasarkan di kios yang terletak di basecamp PTFI sehingga target pasarnya terbatas pada para karyawan.
Namun, karena masih sangat baru, Rumah Kopi Amungme Gold belum memiliki tim pengelola, mulai dari manajer, pengatur keuangan, hingga barista. Ishak pun berangan menjadi salah satu pembesut pertamanya. Apalagi, kualifikasinya sebagai lulusan Program Studi Agribisnis Universitas Sam Ratulangi, Manado, sudah sangat cocok.
”Kalau ada pendaftaran ke depan, pasti saya ikut, supaya kami punya organisasi yang jelas. Soalnya, program ini tidak bisa lepas dari generasi penerus. Apa yang orangtua kami perjuangkan akan kami teruskan,” katanya.
Sementara Ishak merencanakan masa depan, Oktovianus Jawame (55), ayahnya, sibuk memisahkan biji kopi mentah (green bean) yang baik dari yang pecah-pecah di ruang penyortiran, di belakang rumah kopi. Biji-biji itu didatangkan dari beberapa kampung di dataran tinggi, antara lain Hoya, Tsinga, Aroanop, Jila, Banti, dan Opitawak.
Di kampung, para petani memisahkan biji dari buah ceri kopi, memfermentasikannya selama tiga malam, lalu mencuci dan menjemurnya. Biji kopi berlapis kulit tanduk (parchment) yang dihasilkan kemudian dijual kepada koperasi seharga Rp 85.000 per kilogram.
Oktovianus mengatakan, keluarganya bisa mendapatkan sekitar Rp 2,4 juta dari sekali penjualan 20-25 kilogram biji kopi parchment. Sebuah helikopter milik PTFI kemudian dikerahkan untuk mengangkut biji-biji kopi setengah jadi itu sebab transportasi darat dari pegunungan ke Timika terlalu berbahaya.
Di Rumah Kopi Amungme Gold, proses pengolahan berlanjut dengan penyortiran, pemisahan kulit tanduk dari biji dengan mesin huller, hingga pemanggangan (roasting) pada suhu 220 derajat celsius dengan mesin buatan Brasil. Biji kopi yang telah dipanggang kemudian digiling dan dikemas dalam bungkusan lembar aluminium.
Saya senang jadi petani kopi, bisa kerja di rumah kopi juga.
Para petani seperti Oktovianus pula yang terlibat di dalamnya karena mereka juga anggota koperasi. Dari pekerjaan itu, mereka mendapatkan tambahan pemasukan yang bisa mencapai Rp 3,6 juta sebulan. Oktovianus pun menemukan kebahagiaan dari rumah kopi itu. ”Saya senang jadi petani kopi, bisa kerja di rumah kopi juga,” katanya.
Kini, KSU Amungme Gold menaungi 154 petani di kampung-kampung dataran tinggi yang tersebar di kampung-kampung yang terletak sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Mereka merawat lebih kurang 45.700 pohon di lahan perkebunan rakyat seluas 34,7 hektar.
Investasi sosial
Koperasi itu adalah bagian dari program investasi sosial Pengembangan Agrikultur Dataran Tinggi (Highland Agriculture Development/HAD) Community Affairs PTFI. Pada 2019, perusahaan mengucurkan Rp 94,77 miliar (6,7 juta dollar AS) untuk biaya operasional HAD dan beberapa program pengembangan ekonomi lain, seperti perikanan dan peternakan.
KSU Amungme Gold dapat menghasilkan sekitar 800 kilogram biji kopi panggang (roasted bean) dalam setahun. Penanggung jawab program HAD PTFI, Arnoldus Sanadi, mengatakan, pemasukan dari penjualan kopi bisa mencapai Rp 80 juta per bulan atau sekitar Rp 1 miliar setahun.
Rumah Kopi Amungme Gold pun diharapkan menjadi landasan bagi para petani Amungme untuk mencapai kemandirian. Para petani diharapkan mampu mengelola aktivitasnya sendiri tanpa bantuan PTFI, mulai dari pengolahan biji kopi sampai penjualannya, termasuk menjalankan rumah kopi itu layaknya kafe-kafe pada umumnya.
Baca juga: ”Toki-toki” Angkat Cerita Kopi Papua
”Para petani kopi awalnya hanya ada di tingkat pengolahan buah ceri kopi, tetapi kami mengarahkan mereka sampai berada di sini, di Timika. Kami berharap mereka bisa lebih maju dalam dunia kopi, dan (kopi Amungme Gold) semakin terkenal,” kata Arnoldus.
Kendati begitu, tujuan itu menghadapi berbagai tantangan besar mulai dari hulu hingga hilir. Hasil panen para petani masih terlalu sedikit. Buktinya, roastery Rumah Kopi Amungme Gold hanya mengolah 120-150 kilogram green bean setiap minggu sekalipun kapasitasnya mencapai 300 kilogram per hari.
Hasilnya, 800 kg roasted bean per tahun, masih jauh dari kebutuhan pasar penikmat kopi yang di Timika saja mencapai 4,5-5 ton setiap tahun. ”Kami terus mendorong para petani untuk merevitalisasi kebun kopi mereka di kampung. Mereka juga harus lebih giat menanam agar bisa memenuhi permintaan pasar,” kata Arnoldus.
Dalam bidang logistik, para petani kopi masih bergantung pada PTFI untuk pengangkutan biji kopi ke Timika. Perusahaan harus menggelontorkan setidaknya Rp 33 juta untuk biaya helikopter. Ini pun sering terganggu ulah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di pegunungan.
Jika pada 2020 subsidi perusahaan mencapai 100 persen, diharapkan pada 2025 subsidi itu semakin berkurang.
Di samping itu, PTFI juga masih menggaji 10 dari 154 petani anggota KSU Amungme Gold Rp 3,6 juta setiap bulan. Jumlah ini adalah hasil pengurangan status ”karyawan” secara bertahap. Arnoldus mengatakan, mereka akan dipensiunkan jika sudah memasuki usia 56 tahun, tetapi dapat terus menjadi anggota koperasi dan menikmati manfaatnya.
Di hilir, tim HAD juga kesulitan membangun kelembagaan pengelola rumah kopi. Belum ada anggota koperasi yang memiliki keahlian manajerial, administrasi, pembukuan keuangan, hingga tenaga lapangan dan pengolahan biji. Konsep uang pun merupakan hal baru bagi beberapa anggota.
Segala tantangan ini menunjukkan kebergantungan koperasi yang masih begitu besar pada PTFI. Karena itu, kata Arnoldus, PTFI telah merancang rencana strategis (renstra) jangka panjang sampai 2025. Di dalamnya dimuat tahapan-tahapan untuk membantu koperasi mencapai kemandirian.
”Jika pada 2020 subsidi perusahaan mencapai 100 persen, diharapkan pada 2025 subsidi itu semakin berkurang. Kami sudah membuat semacam kontrak dengan koperasi sehingga pada akhir renstra, koperasi dapat membiayai seluruh kebutuhan operasionalnya sendiri dari hasil penjualan kopi. Itu goal jangka panjang kita,” ujarnya.
Baca juga : ”Manis Pahit” Kopi Pegunungan Tengah Papua
Di lain pihak, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Mimika Bernard Ansaka mengatakan, pemerintah siap mendampingi para petani. Peran pemerintah ia sebut penting karena pada 2041 izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI akan kedaluwarsa. Jika tak diperbarui, perusahaan mungkin akan hengkang.
Pemkab Mimika dan PTFI telah menandatangani kesepakatan kerja sama untuk memperluas kebun kopi arabika hingga 100 hektar selama 2022-2024. Kebijakan itu akan diiringi pelatihan perawatan, pengolahan pascapanen, sampai pelatihan barista dan pengelolaan rumah kopi.
Bernard mengatakan, upaya itu akan dibiayai sebagian dari dana otonomi khusus (otsus) sekitar Rp 500 juta. ”Kopi sekarang makin dicari masyarakat (petani) karena mudah dibawa dan tahan lama,” katanya.
Transportasi biji kopi dari pegunungan ke Timika pun bisa diatasi dengan pesawat perintis yang juga dibiayai dana otsus. Bernard menyebutkan, pesawat itu akan menghubungkan Timika dengan Distrik Tembagapura, Jila, Hoya, dan Alama yang merupakan penghasil kopi arabika.
Baca juga : Pantang Surut Anak Papua Merajut Cita
Namun, tantangannya adalah ancaman dari KKB. Jalur darat dari Tembagapura ke Timika yang melewati gunung dan hutan terlalu berisiko untuk dilewati. ”Yang paling memungkinkan adalah pesawat perintis. Kapan pun ada panen, kami bisa nebeng di situ,” ucapnya.
Kolaborasi PTFI dan Pemkab Mimika kini telah terjalin. Namun, bagi Ishak Jawame yang berangan mengelola Rumah Kopi Amungme, keberhasilannya tergantung pada para petani. ”Masyarakat harus punya kesadaran dan motivasi untuk menanam kopi lebih banyak lagi. Kalau sudah begitu, sangat mungkin kita bisa memenuhi 4-5 ton yang diminta pasar,” ujarnya.