Kerinduan pada masa kecil dan kampung halaman membuat masih banyak warga Kota Makassar yang mempertahankan rumah panggung. Di rumah yang sarat makna ini mereka merawat kenangan sekaligus melestarikan warisan budaya.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·5 menit baca
Derap metropolitan Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tak membuat semua warganya larut dalam kehendak zaman. Di antara bangunan-bangunan beton dan baja yang mendominasi kota terbesar di belahan timur Nusantara ini, sebagian orang masih setia pada rumah-rumah panggung tradisional yang sarat kenangan dan nilai budaya.
Senin (21/3/2022) siang itu, di sebuah gang di Jalan Yos Sudarso, Marjuni Amiruddin (53) bersantai di kolong rumah panggungnya. Seorang tetangganya menumpang duduk di situ sembari bercakap-cakap dengan istri Marjuni. Menikmati angin jadi alasan si tetangga tadi betah menghabiskan siang di situ.
Rumah panggung itu berusia lebih dari 20 tahun. Bahannya kayu ulin yang di Sulsel dikenal dengan sebutan kayu sappu’. Rumah berukuran 10 meter x 20 meter ini kokoh berdiri ditopang 12 alliri atau tiang setinggi sekitar 2 meter.
”Teman dan keluarga, terutama yang dari luar kota, senang berkunjung ke sini. Mereka menikmati duduk-duduk di kolong atau teras di atas. Tetangga pun sering menghabiskan waktu di kolong rumah pada siang atau sore hari,” kata Marjuni.
Di antara deretan rumah modern di gang tersebut, rumah panggung ini tampil mencolok. Kayunya berwarna hitam dan tampak teduh dengan berbagai tanaman di halaman yang tak seberapa luas.
Marjuni bercerita, awalnya mereka menempati rumah biasa. Saat akan merenovasi rumah, orangtua Marjuni memilih menggantinya dengan rumah panggung. Alasannya, meneruskan tradisi rumah panggung di kampung yang menjadi rumah masa kecil ibu Marjuni. Ada kerinduan menikmati rumah panggung setelah sejak tahun 1960-an ibunya meninggalkan kampung halaman di Kabupaten Soppeng, sekitar 160 kilometer arah timur laut Makassar.
Marjuni dan saudaranya pun memahami keinginan orangtuanya tersebut. Maka, rumah milik mereka pun dibongkar dan berganti rupa menjadi rumah kayu. Rumah ini dipesan di Kabupaten Barru, sekitar 100 kilometer arah utara Makassar. Marjuni dan ibunya yang memilih model rumah sekaligus kayu yang akan digunakan.
Di Barru, rumah itu dibuat oleh perajin ahli. Saat selesai, bagian-bagian rumah itu pun diboyong ke Makassar dan dipasang di lokasinya kini. Mereka memilih model rumah adat atau rumah panggung daerah Soppeng, mengikuti kampung halaman ibunya. Sejak berdiri lebih dari 20 tahun lalu, hampir tak ada yang berubah dari rumah ini. Marjuni pun enggan menggantinya. Dia bahkan menikmati rumah ini dengan segala kenangannya.
Di Jalan Sultan Alauddin, jalur padat nan ramai di jalan poros penghubung Makassar-Gowa, dua rumah panggung juga berdiri kokoh. Berada di satu lokasi dengan tanah yang cukup lapang dan beberapa pepohonan besar di halaman depan, rumah ini selalu mencuri perhatian orang-orang yang lalu lalang di depannya.
Salah satu rumah panggung memiliki tiang lebih pendek, sekitar 1 meter, dengan atap menyerupai rumah adat Jawa Tengah. Terdapat banyak ukiran Jepara di dinding rumah bagian luar maupun dalam. Namun, bentuk tangga dan terasnya masih khas rumah Bugis-Makassar.
Rumah ini sudah dihuni sedikitnya tiga generasi, dari generasi pertama bernama Andi Time Karaeng Ballajawaya. Penyematan Ballajawaya—yang berarti rumah Jawa—di belakang nama Andi Time, bisa jadi karena model rumah ini yang mengadopsi sebagian bentuk rumah Jawa.
Di Makassar, rumah-rumah panggung memang masih jamak ditemukan.
”Kalau bentuk atapnya memang sejak dulu begitu. Kalau tiangnya yang pendek, itu pernah dipotong. Dahulu rumah ini menghadap utara karena mengikuti jalan di depan rumah. Lalu kemudian jalan di belakang rumah dibangun dan jadi jalan poros. Saat itu, rumah diputar arah dan kakinya dipotong. Saya juga tidak tahu persis alasannya,” kata Andi Patahuddin Mallombassang, generasi ketiga yang menghuni rumah tersebut.
Tak sekali pun rumah ini diubah bentuknya. Saat keluarga ingin membangun rumah baru di samping rumah ini, diputuskan membuat rumah yang bentuknya mengikuti model rumah panggung Bugis-Makassar pada umumnya.
Patahuddin dan keluarganya sangat betah di rumah ini. Setiap saat dia akan mengingat bagaimana dahulu keluarga memanfaatkan kolong rumah atau teras atas untuk bercengkerama. Acap kali kerabat yang datang dengan urusan yang tidak begitu penting atau sekadar singgah menyapa lebih memilih duduk bersantai di kolong rumah atau teras.
Di Makassar, rumah-rumah panggung memang masih jamak ditemukan. Di permukiman di sepanjang sisi kiri dan kanan Jalan Tol Ir Sutami masih banyak warga yang mendiami rumah panggung. Di sekitar pelabuhan pendaratan ikan Paotere, rumah panggung pun masih mudah ditemui. Banyak pula rumah panggung di sekitar Benteng Somba Opu di selatan kota.
Bahkan, rumah panggung dengan beragam bentuk yang mewakili seluruh kabupaten di Sulsel dan Sulawesi Barat, ada di area Benteng Somba Opu. Rumah-rumah ini sengaja dibangun pemerintah sekitar 20 tahun lalu sebagai wujud Sulsel mini. Kawasan ini pun menjadi tempat wisata dengan rumah-rumah adat di dalamnya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan.
Rumah-rumah panggung yang masih tersisa di Makassar ada yang bentuknya masih asli, tapi sebagian telah dimodifikasi dengan menambah bangunan permanen di bagian kolong rumah. Sebagian lainnya menggunakan dinding seng untuk menggantikan kayu yang kian sulit ditemukan dan mahal.
”Mau pakai kayu semua sebenarnya, tapi sekarang cari kayu yang bagus susah dan mahal. Makanya, lantainya saja yang kayu. Dindingnya saya pakai seng sebagian. Yang penting masih berbentuk rumah panggung,” kata Daeng Baji (50), warga Salodong.
Pada rumah panggung yang masih menyisakan kolong rumah, aktivitas terutama silaturahmi banyak dilakukan di area ini. Itulah mengapa di kolong-kolong rumah panggung biasanya ada bale-bale atau perangkat kursi kayu. Biasanya di kolong rumah pula anak-anak bayi diayun. Tali ayunan diikat pada balok-balok penyangga lantai yang kokoh.
Di desa-desa di Sulawesi Selatan, biasanya menjelang hari raya, kolong rumah menjadi tempat memotong daun pandan dan membuat rumah ketupat, memotong daun pisang untuk membungkus burasa (sejenis lontong berbentuk pipih)dan berbagai panganan lainnya, hingga memarut kelapa atau mengupas bawang dan aneka bumbu. Hal sama dilakukan jika ada hajatan.
Ketupat, burasa, tumbu’, atau legese (semacam lontong terbuat dari beras atau ketan) dimasak dalam kuali tanah berukuran besar menggunakan kayu bakar di halaman belakang atau depan rumah panggung.
Kenangan-kenangan ini begitu lekat di hati banyak orang yang pernah merasakan tinggal di rumah panggung. Itu sebabnya, sebagian orang masih melestarikan rumah ini. Mereka tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga merawat kenangan yang menyejukkan hati.