Rumah panggung bagi orang Bugis-Makassar bukan sekadar bangunan. Filosofi hidup, strata sosial, dan pandangan kosmogoni orang Bugis-Makassar mewujud dalam rumah panggung.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·5 menit baca
Rumah panggung bagi masyarakat suku Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan, tak sekadar bangunan tempat tinggal. Selain multifungsi, salah satu warisan budaya ini juga sarat makna. Di rumah panggung ada falsafah hidup sekaligus pandangan orang Bugis-Makassar tentang kosmogoni atau struktur alam semesta.
Prof Dr Nurhayati Rahman, ahli filologi sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, menjelaskan, nenek moyang suku Bugis-Makassar melihat alam semesta dalam tiga tingkatan. Ketiganya adalah dunia atas atau langit yang dihuni dewa langit. Ada pula dunia bawah laut yang dihuni dewa laut dan dunia tengah, yakni bumi yang dihuni manusia. Dunia tengah memiliki peran penting untuk menjaga keseimbangan dunia atas dan bawah.
”Dalam rumah panggung, ada tiga bagian penting, yakni rakkiang, alebola, dan wasaobola. Rakkiang diibaratkan dunia atas, alebola adalah bumi, dan wasaobola adalah dunia bawah. Rumah ini ditopang oleh tiang yang disebut alliri yang dimaknai sebagai penopang,” kata Nurhayati.
Rakkiang dalam rumah pada umumnya adalah plafon. Namun, pada rumah panggung, rakkiang dibuat lebih kokoh dan difungsikan sebagai tempat menyimpan gabah, beras, atau kebutuhan pokok lainnya. Alebola adalah bagian tengah rumah di mana berbagai aktivitas, termasuk istirahat, dilakukan. Adapun wasaobola adalah bagian bawah atau kolong rumah. Kolong bukanlah ruang hampa karena di situlah biasanya ternak dan peralatan pertanian ditempatkan.
Rumah panggung lazimnya memiliki dua tangga, di depan dan belakang. Ada pula teras yang disebut lego-lego. Atap umumnya berbentuk pelana dengan bagian ujung berbentuk segitiga. Pada ujung atap yang berbentuk segitiga, ada penutup yang disebut timpalaja. Biasanya bagian ini bersusun dua hingga tujuh. Banyaknya susunan menunjukkan simbol strata sosial pemilik rumah. Makin banyak susunan, makin tinggi strata sosial seseorang.
”Selain itu, rumah panggung juga sarat makna, terutama soal kesetaraan. Di rumah panggung, tangga belakang adalah wilayah perempuan dan tangga depan wilayah laki-laki. Dahulu, jika seorang laki-laki ada keperluan di area belakang, mereka hanya boleh sampai di ujung tangga dan tidak boleh naik. Namun, perempuan boleh naik dan turun lewat tangga depan maupun belakang,“ jelas Nurhayati.
Dia mengatakan, area bawah adalah wilayah perempuan, sedangkan area teras adalah wilayah laki-laki. Teras atau lego-lego ini juga berfungsi sebagai tempat musyawarah. ”Di sini pula pemilik rumah biasanya menerima kunjungan tamu dengan pembahasan yang tak begitu penting,” ujar Nurhayati.
Jadi, rumah panggung tak sekadar bangunan untuk tinggal, tapi sarat makna dan mempertimbangkan berbagai fungsi, terutama terkait kondisi alam.
Di Sulawesi Selatan, walau rumah panggung pada umumnya memiliki kesamaan, ada sejumlah perbedaan yang menjadi ciri khas tiap daerah. Misalnya, di beberapa rumah, tangga depan searah pintu masuk rumah. Namun, di beberapa daerah, tangga diletakkan pada posisi melintang.
Pada masyarakat suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, lego-lego tak berbentuk area luas, tetapi berbentuk segi empat dengan ukuran lebih kecil dan berada di sisi kiri-kanan tangga. Rumah panggung suku Kajang juga menempatkan dapur di dekat pintu masuk, sebagai simbol memuliakan kehidupan karena dapur dinilai sebagai sumber kehidupan.
Hiasan pada ujung atap juga beragam. Ada yang berbentuk ukiran menyerupai ayam, badik, hingga menyerupai tanda silang yang dipotong di bagian tengah. Ada pula rumah yang memiliki lego-lego dari depan ke samping. Meski beragam bentuk, umumnya memiliki fungsi dan makna yang sama.
Di luar penjelasan soal kosmogoni dan pemaknaan serta simbol strata sosial, rumah panggung sejak dahulu menjadi rumah tahan gempa dan bebas banjir. Kolong-kolong rumah panggung sejak dahulu adalah tempat air bisa mengalir. Di pesisir, rumah panggung aman dari empasan ombak.
Di sekitar sungai, luapan air hanya lewat di kolong-kolong rumah dan tak mengempas badan rumah. Saat gempa, rumah bisa ambruk, tapi dampak yang ditimbulkan, terutama korban jiwa, bisa diminimalisasi. Dengan tiang-tiang penopang rumah yang tinggi, penghuni juga aman dari ancaman binatang buas.
”Jadi, rumah panggung tak sekadar bangunan untuk tinggal, tapi sarat makna dan mempertimbangkan berbagai fungsi, terutama terkait kondisi alam,” ucap Nurhayati.
Namun, ia mengakui, saat ini persoalannya adalah kayu makin sulit sehingga tak banyak lagi rumah panggung yang dibuat dengan bahan kayu bagus seperti dulu. ”Padahal, untuk mitigasi bencana seperti gempa dan banjir, rumah panggung lebih tepat,” ujarnya.
Untuk urusan mitigasi ini, selama bertahun-tahun, warga di sejumlah kecamatan dan desa di tepian Danau Tempe, Kabupaten Wajo, beradaptasi dengan banjir rutin tahunan yang melanda wilayah mereka. Di rumah panggung, warga dapat bertahan walau ketinggian air acap kali mencapai 3 meter, bahkan lebih.
Banjir juga menjadi salah satu alasan orangtua Sayyid Alwi Fauzi memboyong rumah panggung dari Kabupaten Sidrap ke Makassar, 30 tahun lalu. ”Saya masih kecil waktu itu dan masih jelas mengingat bahwa wilayah tempat kami tinggal sering banjir. Daerah sekitar rumah memang banyak rawa. Makanya, orangtua saya membawa rumah panggung dari sidrap untuk jadi rumah tinggal di Makassar,” kata Alwi.
Rumah panggung tersebut sampai sekarang masih dipertahankan keluarga Alwi meski rawa yang dulu sering banjir itu kini menjelma menjadi salah satu kawasan bisnis tersibuk di Makassar. Di antara jejeran ruko berlantai tiga, berjarak kurang dari 300 meter dari Mal Panakkukang, rumah panggung ini selalu mencuri perhatian. Tak jarang orang-orang yang lewat menyempatkan mengambil gambar dan mengunggahnya di media sosial.
Saat ini, terutama di Makassar, rumah panggung memang tak lagi mendominasi permukiman. Namun, kerinduan dan keinginan mengabadikan ciri khas dan warisan budaya ini mewujud dalam bentuk bangunan permanen dengan atap menyerupai rumah panggung. Ini mudah dijumpai di banyak bangunan di Makassar, mulai rumah hingga perkantoran.