Geliat Kain Pelangi dari Palembang
Warna dari kain jumputan Palembang yang berjuluk "kain pelangi" itu kian kaya dengan inovasi dari sejumlah pelaku usahanya. Mereka berusaha merambah pasar lebih luas dengan meningkatkan kualitas karya.
Jumputan, kain tradisional khas Palembang, memang belum segemerlap songket. Namun, beragam inovasi terus diciptakan agar jumputan yang kerap dijuluki "kain pelangi" itu bisa merambah ke pasar global dan sebisa mungkin menjangkau generasi muda masa kini.
Angeline Eva Christine pemilik galeri Jejak Aisyah di Palembang, Sumatera Selatan, menunjukkan ratusan koleksi kain di galerinya yang berada di Jalan Demang Lebar Daun Palembang, Sumsel. Kain itu dimodifikasi menjadi kaftan, gelang, ikat rambut, hijab, dan beragam produk lainnya.
Aneka produk ini dibuat agar menjangkau kalangan anak muda yang cenderung tidak suka menggunakan kain. "Mereka berpikir kalau kain biasanya digunakan untuk orang tua. Anggapan inilah yang ingin saya kikis," ujar Angeline, Selasa (8/3/2022).
Produk-produk itu merupakan kreasi para perajin yang selama ini kesulitan menemukan pasar karena terpaku dengan pola lama yakni hanya menciptakan kain belaka.
Berbekal pengalamannya di bidang hiburan, Angeline yang pernah menjadi penyiar dan manager artis ini pun berusaha memperkenalkan jumputan sebagai salah satu karya budaya yang patut diperhitungkan dalam bisnis fesyen. "Selama ini, masyarakat hanya mengenal songket. Padahal Palembang juga punya kain yang tak kalah bagus yakni jumputan," katanya.
Baca juga : Kain Berharga Yang Diwariskan Turun-Temurun
Proses pembuatannya pun tergolong rumit yakni dengan sistem ikat jelujur dan pencelupan. Butuh waktu sampai satu minggu untuk menyelesaikannya. "Kan sayang kalau produk secantik ini hanya menumpuk di pengrajin karena tidak banyak yang kenal jumputan," katanya.
Jenis kain ini tergolong unik karena kaya akan warna dan lebih sederhana dibanding songket. Jika disandingkan khain ini mirip dengan kain khas Kalimantan Selatan yakni sasirangan. Bedanya, jumputan diikat dengan tali rafia, sedangkan sasirangan dijahit.
Inovasi kain jumputan mulai Angeline geluti sejak 2020, tepatnya dua bulan sebelum pandemi melanda Sumatera Selatan. Saat itu, dia berinovasi dengan memperkenalkan masker jumputan. Antusiasme masyarakat cukup tinggi. Masker yang dijual dengan harga sekitar Rp 23.000 per masker itupun ludes setiap kali diproduksi.
Selanjutnya, dia membuat gelang dan ikat rambut dari jumputan dengan harga sekitar Rp 10.000 per unit. Inovasi ternyata digemari oleh anak muda. Kemudian, dia juga menjual produk lain seperti jilbab, mukena, gamis, dan kaftan yang juga disambut baik oleh pasar. "Ke depan saya ingin membuat pakaian anak-anak juga dari jumputan," kata Angeline.
Angeline juga menggandeng Duta Festival Film Indonesia, Tissa Biani Azzahra sebagai mitra mengenalkan jumputan. Video peragaan Tissa pun disematkan dalam Instagramnya. Harapannya, semakin banyak anak muda yang cinta pada jumputan dan bangga untuk memakainya.
Baca juga : Seni Kain Dengan Bahan Alami
Inovasi kain jumputan juga dibuat oleh Anggi Fitrilia Pemilik Galeri Wong Kito. Dia berinovasi dengan menggunakan bahan pewarna alam dalam membuat kain jumputan. Harapannya tidak lain agar kain yang ia buat layak ekspor. "Produk berbahan ramah lingkungan pasti akan lebih disukai oleh pasar global," katanya.
Bahan pewarna alami itu diperoleh dari sejumlah tanaman seperti gambir, secang,mahoni, jengkol. Dengan begitu, proses pembuatan jumputan tidak merusak lingkungan dan usaha pun bisa berkelanjutan.
Agar menarik, dia mengkombinasikan jumputan dengan serat kain alami yakni menggunakan kulit domba, kulit kayu terap, dan gaharu. "Dengan cara ini kain akan jauh lebih kuat dan memiliki corak yang lebih menarik," kata Anggi.
Inovasi tersebut Anggi peroleh dari pengalamannya kala menjadi tenaga penyuluh industri di Musi Banyuasin dan Palembang. "Dengan pengalaman itulah, saya terus mengembangkan inovasi terutama untuk menciptakan warna baru," ujarnya.
Saat pandemi melanda, dia juga membuat sejumlah produk lain berbahan kain jumputan dan eco-print seperti dompet topi, tas, tas tangan, map, dan jenis souvenir lainnya. Inovasi ini berbuah manis karena banyak instansi pemerintahan dan swasta yang memesan produknya sebagai souvenir di sejumlah acara.
Tak ayal, walaupun pandemi, omset penjualannya sekitar Rp 30 juta per bulan. Hal ini juga disebabkan oleh gencarnya pemasaran melalui media sosial . "Sebanyak 70 persen pemesanan memang lebih banyak dari media sosial," kata dia.
Pewarnaan alami
Penggunaan bahan pewarna alami pada kain khas Palembang terus dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumatera Selatan. Sejak tahun 2020, setidaknya sudah tiga tanaman yang bisa digunakan sebagai bahan pewarna alami. Ketiganya adalah daun begonia, daun kopi liberika, dan daun senduduk.
Pelaksana Tugas Kepala Balitbangda Sumsel, Alamsyah menuturkan, ketiga tanaman ini diuji karena merupakan tanaman yang banyak tumbuh di wilayah Sumatera Selatan. "Daripada terbuang lebih baik kita manfaatkan," katanya.
Cara pemakaiannya dengan merebus daun ke dalam air sampai warna air berubah dan sedikit susut. Biasanya dibutuhkan waktu perebusan sekitar 30 sampai 40 menit hingga warna dari daun itu keluar. Kemudian, kain dicelupkan beberapa kali ke dalam larutan yang sudah berwarna itu.
Setelah didapat warna yang diinginkan, kain kemudian dicelupkan ke dalam larutan pengikat yakni kapur atau tujung. Jika kain dimasukan ke dalam tujung warna akan lebih pekat, sedangkan jika dimasukan ke dalam larutan kapur, warna akan lebih muda.
Kelebihan menggunakan pewarna alami antara lain dapat mengurangi risiko pencemaran. Selama ini, di sentra kain khas tradisional Palembang, banyak terjadi pencemaran karena perajin lebih suka menggunakan pewarna tekstil. Hal ini tentu sangat berbahaya jika terus dibiarkan.
Untuk tubuh sendiri, kain yang menggunakan pewarna alami akan lebih nyaman dan aman dipakai karena tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Produk yang menggunakan pewarna alami juga lebih diterima oleh pasar global. Hasil dari penelitian ini, ujar Alamsyah akan disampaikan kepada pelaku UMKM di sektor kain khas Palembang agar bisa meningkatkan kualitas produk mereka ke depan.
Kepala Dinas Perindustrian Sumatera Selatan Ernila Rizar mengatakan pengembangan produk harus terus digalakkan di tengah pelaku usaha yang bergelut di bidang kain khas Sumatera Selatan. Hal ini penting agar mereka tidak hanya berkutat pada zona nyaman tetapi berani untuk melaju ke pasar yang lebih luas termasuk peluang ekspor.
Untuk kain khas Sumsel sendiri hanya beberapa saja yang sudah merambah ke pasar ekspor. Kendalanya antara lain banyak kain yang belum mengikuti uji kelayakan termasuk sejumlah izin untuk ekspor. Di sinilah pemerintah berupaya mendampingi mereka agar bisa masuk ke pasar global. "Karena dari segi kualitas kain khas Sumsel tidak kalah dengan kain dari daerah maupun negara lain," katanya.