Merawat Kain Tradisional Palembang
Keindahan kain tradisional khas Palembang tidak lepas dari kemahiran para petenunnya. Susunan serat-serat benang disatukan menjadi karya seni sandang yang megah telah berlangsung ratusan tahun.
Keindahan kain tradisional khas Palembang tidak lepas dari kemahiran para petenunnya. Susunan serat-serat benang disatukan menjadi karya seni sandang yang megah. Di sejumlah kampung tenun, mereka merajut asa dan membina regenerasi agar karya budaya itu tak pupus.
Tak...tek...tak...tek..., terdengar suara tumbukan kayu di sebuah rumah panggung di Desa Muara Penimbung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (10/3/2022). Suara itu muncul saat Sulasti (29) menenun songket di bawah rumah panggungnya.
Dengan cekatan, jari-jemari ibu dua anak ini menenun benang dengan perlahan. Alat tenun tradisional itu berukuran 2 meter x 1,5 meter yang terdiri dari gulungan atau boom untuk menggulung benang dasar tenunan, penyicing untuk merentangkan benang, beliro untuk membuat motif songket, cahcah untuk memasukkan benang lain ke benang dasar, dan gun untuk mengangkat benang. Punggungnya bersandar di sepotong kayu yang bernama pur.
Sesekali fokusnya teralihkan dengan gerak-gerik dua anaknya yang masih balita. ”Eh, jangan lari-lari, nanti jatuh,” katanya mengingatkan anaknya yang terkecil dengan tangan yang masih menenun benang.
Sesekali pula ia harus memisahkan benang yang putus agar tidak merusak motif yang sudah dibuat. ”Menenun songket harus benar-benar fokus. Kalau tidak, bakal banyak benang yang putus,” katanya.
Sulasti adalah satu dari ratusan warga Desa Muara Penimbung yang memang mahir menenun songket. Aktivitas menenun sudah menjadi kebiasaan sejak turun-temurun.
Kemampuan membuat songket ia dapatkan sejak 10 tahun lalu dari bibinya yang tinggal di kawasan Kecamatan Pamulutan, Ogan Ilir. Di sana juga terdapat kampung songket tempat berkumpul para petenun.
Baca juga : Jejak Asal Songket Sumsel
Putus sekolah setelah lulus jenjang sekolah menengah pertama akibat perekonomian keluarga yang terpuruk membuatnya belajar menenun. ”Dengan menenun songket, saya bisa membantu perekonomian keluarga saat itu,” kata Sulasti.
Keahlian itu dia teruskan hingga kini. Menenun songket menjadi salah satu cara untuk membantu menghidupi keluarga. Apalagi suaminya sedang bekerja di Lampung. ”Lumayan untuk uang makan,” ucapnya.
Dari setiap kain yang dihasilkan, Sulasti mendapatkan upah beragam, mulai dari Rp 450.000 sampai Rp 900.000, tergantung dari tingkat kesulitan songket yang ia buat. Dalam satu bulan, maksimal Sulasti bisa membuat dua kain. ”Namun, setelah memiliki anak, biasanya saya hanya bisa membuat satu kain per bulan,” katanya.
Pesanan untuk membuat songket datang dari pedagang songket. Mereka meminta beberapa petenun membuat songket sesuai pesanan yang datang dari sekitar Palembang maupun luar kota.
Titi (40), mantan petenun yang menjadi pedagang, mengatakan ia biasa memesan songket kepada para petenun sesuai keinginan konsumen dari beragam kota, seperti Palembang, Aceh, Jakarta, Bandung, Jambi, dan kota-kota lainnya Indonesia. Pesanan paling banyak memang datang dari Palembang karena hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari kampung itu. Saking tenarnya kampung itu sebagai kampung tenun, banyak orang yang langsung datang dan memesan padanya.
Songket-songket itu biasanya diambil sendiri oleh pemesan atau dikirimkan. ”Songket yang mereka pesan biasanya untuk pribadi atau untuk dijual kembali,” ujar Titi.
Motif songket yang dibuat pun beragam, seperti songket lepus bintang bekait, songket lepus sutra alam-kenanga dimakan ulat, dan songket lepus benang berlian.
Sebelum pandemi, rata-rata penjualan mencapai 80 kain per bulan. Namun, setelah pandemi menurun menjadi 10 kain per bulan. Banyak petenun yang istirahat karena pesanan berkurang. ”Namun, kondisi saat ini sudah kembali pulih. Mudah-mudahan aktivitas petenun kembali bergairah,” harap Titi.
Kampung songket juga ada di Palembang, tepatnya di kawasan Tangga Buntung Kelurahan 30–32 Ilir Palembang. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai sentra industri kerajinan songket itu eksis sejak 20 tahun terakhir dengan ratusan petenun.
Zainal Arifin, perancang busana songket, adalah satu dari puluhan perajin songket yang menempatkan galerinya di kawasan tersebut. Dia mengatakan, kawasan Tangga Buntu sejak dulu sudah menjadi tempat pembuatan songket. ”Sejak ratusan tahun silam, di kawasan ini sudah banyak perajin songket,” katanya. Cerita ini ia dapat dari neneknya yang juga bertempat tinggal di sana.
Dulu, petenun songket haruslah perempuan dan mereka bekerja di bagian bawah rumah panggung yang tertutup agar tidak dilihat oleh orang luar. Sebelum memulai tenunan, mereka biasanya menjalani ritual seperti berdoa dan berpuasa. Tujuannya agar songket yang dibuat memberikan kebaikan bagi penggunanya kelak. ”Sebab, bagi kami, songket adalah kain yang sangat sakral,” ucap Zainal.
Baca juga : Kekurangan Tim Ahli, Perlindungan Tinggalan Sejarah dan Budaya di Sumsel Tak Optimal
Butuh waktu berbulan-bulan untuk membuat songket, mulai dari pewarnaan hingga penenunan selesai. Setelah songket selesai, ia harus diperlakukan seperti ratu. Disimpan di tempat yang teduh dan tidak terlihat oleh orang banyak.
Ketika ada yang hendak membeli, baru dikeluarkan dari lemari. Itulah alasan songket dijuluki ”ratu kain”. Cara ini sudah dilakukan dari generasi ke generasi. Bahkan, Zainal yang merupakan keturunan bangsawan adalah generasi ketujuh dari keluarganya yang meneruskan tradisi songket.
Ketika ada yang hendak membeli, baru dikeluarkan dari lemari. Itulah alasan songket dijuluki ”ratu kain”.
Kini, tradisi itu berkembang lebih dinamis. Petenun songket tidak hanya perempuan, tetapi juga bisa laki-laki dan hasil karya tenunan pun sudah dipamerkan di pinggir jalan dengan beragam bentuk dan inovasinya.
Zainal mendapatkan ilmu menenun dari sang nenek sejak usia 11 tahun. Kemampuan itu terus dia asah hingga kini. ”Kini saya juga telah menghasilkan beberapa motif buah pemikiran saya selama ini,” katanya.
Tidak hanya keterampilan menenun, keluarganya juga masih mewariskan kain songket dari satu generasi ke generasi. Bahkan, Zainal menyimpan kain songket yang berusia hampir 300 tahun di museum songketnya yang berlokasi di Jalan Ki Gede Ing Suro, Lorong Kuala Batu, 32 Ilir, Ilir Barat II, Palembang.
Kain songket yang ia simpan di museumnya itu berjenis limar mentok, limar tetes mider, dan limar sumping. ”Semua songket ini diturunkan dari keluarga saya dan akan terus saya lestarikan agar bisa disaksikan oleh generasi selanjutnya,” kata Zainal.
Untuk memopulerkan songket, Zainal bahkan melakukan promosi sekaligus melakukan pergelaran busana ke 30 negara selama 40 tahun terakhir dengan biaya pribadi. Kebanyakan warga negara yang ia kunjungi menyukai songket karena memiliki karakteristik yang kuat. Bahkan, ketika berada di Meksiko, banyak warga Meksiko mengeluh saat songketnya habis terjual, kenapa tidak membawa kain lebih banyak.
Ia juga menemukan kesamaan kain songket dengan kain di sejumlah negara. ”Bahkan, saya menemukan ada kesamaan dari kain songket yang ada di sejumlah daerah atau bahkan negara se-Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam,” ujar Zainal.
Ia menduga kekuasaan Kedatuan Sriwijaya jualah yang membuat budaya kain songket menyebar tidak hanya di Palembang, tetapi juga ke sejumlah daerah atau bahkan negara yang pernah dikuasainya.
Zainal Arifin menunjukkan salah satu karya kain songket miliknya di galerinya di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (18/2/2022). Songket merupakan hasil budaya turun-temurun dan menjadi ciri khas Kota Palembang.
Meskipun begitu, ungkap Zainal, songket Palembang lebih kaya dibandingkan dengan songket lain. Motifnya lebih banyak. Kekayaan motif itu muncul lantaran adanya kebiasaan warga Palembang zaman dulu untuk menuangkan pemikirannya dalam bentuk ukiran dan tenunan.
Kain pelangi Di Palembang juga terdapat sentra kampung kain tradisional berupa jumputan (kain pelangi), tajung (sarung), dan kain blongket (blongsong limar songket). Sentra kain itu dikenal dengan nama Tuan Kentang di Kecamatan Seberang Ulu I.
Di sana terdapat ratusan perajin kain tradisional Palembang. Wati (55), misalnya, sudah 20 tahun mulai berbisnis kain jumputan. Dulu dia adalah warga Serang, Banten, yang datang ke Palembang untuk mengadu nasib. Tradisi membuat jumputan dia dapat ketika berada di Palembang, belajar dengan warga di Tuan Kentang.
Pembuatan kain pelangi atau jumputan hampir sama seperti membatik. Bedanya, cara pembuatannya dilakukan dengan skema jelujur ikat. Dimulai dengan menentukan pola dan mengikat kain menggunakan tali rafia untuk menutupi bagian tertentu agar tidak terkena pewarna saat dicelupkan.
Beberapa menit kemudian, kain tersebut dicelupkan ke pewarna sesuai keinginan pembuatnya. ”Kami menggunakan pewarna tekstil,” katanya. Proses pewarnaan dilakukan menggunakan kuas atau semprot. Adapun motif yang digunakan beragam, seperti motif titik tujuh, motif lereng, kembang tabur, dan titik sembilan. Semua kain jumputan ini kemudian dikirim ke sejumlah sentra kain di Palembang. Terbentur masalah Meski terus berkembang, perajin masih menemui sejumlah kendala, seperti pemasaran, kemampuan sumber daya manusia, dan permodalan. Wati menyebut, hingga saat ini dirinya masih sulit mendapatkan modal guna mengembangkan usaha. ”Perbankan hanya masang plang, tetapi untuk permodalan sulit sekali,” katanya. Belum lagi, akses pemasarannya pun terbatas. Dia hanya menjual secara mandiri, yakni dengan mengirimkan kain ke sejumlah sentra penjualan kain tradisional di Palembang.
Baca juga : Kekurangan Dana, Benda Diduga Cagar Budaya di Sumsel Banyak yang Telantar
Zainal pun mengungkap, dalam mempromosikan kain songket dia dibiarkan sendiri. Padahal, promosi penting sebagai salah satu upaya pelestarian, termasuk mencegah agar tidak diklaim oleh bangsa lain.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Cahyo Sulistyaningsih menyebut, kampung kain, baik songket maupun jumputan, terdapat di beberapa wilayah, seperti Palembang, Kabupaten Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ilir. Kampung itu berkembang melalui proses pertukaran budaya. Mereka pindah dari satu daerah ke daerah lain dengan membawa serta budayanya.
Bahkan, pertukaran budaya itu juga terjadi pada songket. Songket tidak hanya ada di Palembang, tetapi juga di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bali, serta negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. ”Jadi, jangan pernah menilai sebuah budaya hanya dari wilayah administratif saja,” katanya.
Adapun terkait kendala modal, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Amiruddin mengakui, dari 2,2 juta pelaku UMKM di Sumsel, baru sekitar 40 persen yang memiliki akses bank. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan UMKM dalam proses pengelolaan keuangan usahanya.
Kondisi ini tentu terus diantisipasi dengan melakukan pendampingan dan pelatihan agar mereka bisa mengelola keuangan dengan baik sehingga pihak perbankan pun mau bermitra dengan para perajin.
Terkait pemasaran, Kepala Dinas Perindustrian Sumatera Selatan Ernila Rizar mengatakan, pihaknya berupaya untuk terus merawat petenun dan perajin yang ada di kampung kain dengan rutin melakukan bimbingan teknis setidaknya satu tahun sekali. Hal itu dilakukan agar petenun dan perajin terus berinovasi sehingga kain khas Palembang tidak hilang tergilas zaman.