Dengan luas 2,3 juta hektar, Taman Nasional Lorentz merupakan kawasan dengan ekosistem terlengkap di Indonesia. Mulai dari Laut Arafura hingga puncak Carstensz Pyramid setinggi 4.884 meter di atas permukaan laut.
Oleh
STEFANUS ATO, SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Di ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut, deretan tanaman purba seakan menjadi penanda bahwa kami sudah tiba di kawasan ini. Tanaman ini hidup berdampingan dengan satwa endemik yang tak kalah memesona. Eksotika ini hanya satu permata kecil dari lanskap 2,3 juta hektar kawasan Taman Nasional Lorentz.
Dari sebuah bukit di tepi Danau Habema, Kabupaten Jayawijaya, Papua, tampak pakis purba (Cyathea atrox) berjajar tumbuh rimbun. Tanaman ini hidup di tepi, juga di dekat kali kecil di sekitaran danau. Dari jauh, tanaman ini serupa pohon kelapa, tetapi dengan pelepah yang lebih kecil dan dahan yang lebih pendek.
Pelepah yang tumbuh ke atas menjadi kanopi. Saat kami berada di bawah tanaman purba ini pada Sabtu (13/11/2021) menjelang siang, serasa terbawa ke dimensi waktu yang berbeda. Tingginya rerata lebih dari 3 meter.
Tanaman ini bertebaran di sekitar kawasan danau yang berawa, utamanya mengikuti alur sungai kecil. ”Mereka hidup di tempat yang lembab dan selalu berkelompok. Bisa dilihat di sekeliling danau, atau aliran sungai kecil di sekeliling danau,” kata Amandus Syabes (36), Kepala Unit Polisi Hutan Balai Taman Nasional (TN) Lorentz.
Selain di area Pegunungan Tengah Papua, ucap Amandus, tanaman ini juga ada di Papua Barat, Papua Niugini, dan Australia. Tanaman ini rerata hidup hingga berpuluh tahun dengan ketinggian 3.000-an meter di atas permukaan laut.
Pakis purba ini bukan satu-satunya tanaman jenis purba yang ada di Lorentz. Amandus menunjukkan sebuah pohon rimbun dengan dahan yang bercabang-cabang di lereng bukit. Pohon setinggi 5 meter ini memiliki nama Phyllocladus atau disebut juga kayu china. Daun pohon ini memiliki aroma serupa buah kedondong. Harum dan menyegarkan udara.
KVMS : Lorentz, taman nasional ...
”Satu lagi tanaman purba yang ada di Lorentz adalah Nothofagus, atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai pohon sage. Ketiganya tumbuh di ketinggian di kisaran 2.000-3.500 meter di atas permukaan laut,” kata Amandus.
Ketiga pohon ini tergolong jenis purba karena telah ditemukan sejak era Paleozoic, sekitar 438 juta tahun lalu. Tanaman-tanaman purba ini hanya satu bagian kecil dari keanekaragaman hayati yang mudah ditemui di sekitar Danau Habema.
Berkemah di Habema
Amandus bersama dua rekannya sesama pegawai Balai TN Lorentz, yakni Dasilvira dan Zakarias, menemani kami ke Danau Habema, yang masuk dalam kawasan TN Lorentz. Mereka bahkan ikut kami menginap selama dua malam di Danau Habema untuk melihat langsung kekayaan hayati di kawasan ini.
Kami mendirikan tiga tenda di tepi Danau Habema, yang masing-masing berkapasitas 3-4 orang. Setelah selesai memasak dan makan malam, kami berbincang dengan Amandus, Dasilvira, dan Zakarias sembari menghangatkan badan di sekitar api unggun.
”Beberapa suku di sekitar Jayawijaya menyebut danau ini Yuginopa, atau danau yang seperti perempuan dan laki-laki,” kata Dasilvira (38), Sabtu malam, sembari merapatkan badannya ke dekat api unggun.
Hawa dingin menusuk saat menghabiskan malam di Habema. Pengukur suhu menunjukkan kisaran 10 derajat celsius, tetapi rasanya lebih dingin dari apa yang tertera. Dua lapis jaket belum mampu menghalau dingin di ketinggian ini.
Danau Habema yang terletak di zona Sub-Alpine adalah salah satu daya tarik utama TN Lorentz. Danau seluas 224 hektar ini memegang predikat sebagai danau tertinggi di Indonesia yang terkenal akan cuaca dinginnya.
Karena hawa dingin yang makin menjadi-jadi dan kantuk tak tertahankan, satu per satu dari kami bergegas meringkuk ke kantong tidur (sleeping bag) yang ada di dalam setiap tenda. Amandus dan dua rekannya turut menyusul. Ketika pagi tiba, kabut masih menetap di sekitar Danau Habema yang berbaring anggun di kaki Pegunungan Trikora. Tenda basah oleh embun. Aroma tanah basah dan embusan angin pegunungan mengisi udara.
Di sisi timur, matahari masih sembunyi di tebalnya awan. Seiring matahari mulai tinggi, pohon yang hijau dan kecoklatan mulai terlihat jelas di tepi danau. Air yang tenang terlihat serupa cermin raksasa, dengan kabut yang masih tebal di atasnya. Danau Habema perlahan menunjukkan lekuk keindahannya.
Sekumpulan itik noso (Anas waigiuensis), salah satu hewan endemik di kawasan ini, riang bermain di danau. Sesekali mereka terbang sejauh puluhan meter sebelum kembali mendarat di permukaan danau.
Ini hanya salah satu bagian dari kekayaan TN Lorentz. Dengan luas 2,3 juta hektar, dengan ekosistem paling lengkap, dari laut hingga gunung tertinggi di Indonesia.
Selain tanaman purba, Danau Habema juga menjadi habitat itik noso yang rutin berenang tenang di danau. Burung berbagai rupa juga meriuhkan suasana. Decit dan nyanyian mereka bersahutan, membuat suasana danau semakin semarak. Satu yang menjadi andalan di ketinggian ini adalah burung isap madu elok (Macgregoria pulchra).
”Ini hanya salah satu bagian dari kekayaan TN Lorentz. Dengan luas 2,3 juta hektar, dengan ekosistem paling lengkap, dari laut hingga gunung tertinggi di Indonesia,” kata Kepala Balai TN Lorentz Acha Anis Sokoy, yang kami temui di kantor Balai TN Lorentz di Wamena.
Acha menambahkan, dari wilayah pesisir, kawasan ini dihuni spesies endemik dugong, ikan, dan kura-kura moncong babi. Di kawasan tengah ada burung kakatua, nuri, juga berbagai bunga dan tanaman. Ada juga mamalia endemik di Lorentz yang hidup di ketinggian, yakni kanguru pohon (Dendrolagus mbaiso).
”Ini yang menjadi kebanggaan, sekaligus menjadi logo TN Lorentz. Keberadaannya termasuk yang terancam dan semakin sedikit,” kata Acha yang turut mengantar rombongan kami hingga masuk kawasan TN Lorentz saat kami menuju Danau Habema.
Lorentz merupakan kawasan konservasi dengan spektrum ekosistem yang kaya dan langka. Mulai dari pesisir Arafura di titik terendah hingga puncak Carstensz Pyramid dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut.
Memiliki luas 2,3 juta hektar, Lorentz mencakup 10 kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan menjadi taman nasional terluas se-Indonesia, bahkan Asia Pasifik. Kawasan ini memiliki 123 spesies mamalia, 411 spesies burung, dan lebih dari 1.000 spesies ikan air tawar.
”Namun, memang belum semua kekayaan di Lorentz terungkap. Tentu kami terbatas juga dalam hal sumber daya manusia hingga anggaran. Untuk personel saja, kami total ada 60 orang. Polisi hutannya sebanyak 26 orang untuk 2,3 juta hektar,” tutur Acha.
Belum terungkap
Merujuk buku TN Lorentz yang dibuat pada 2017 lalu, kawasan ini telah mendapat perhatian sejak 1919. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda menetapkan Lorentz sebagai monumen alam.
Hal itu terjadi setelah Hendrikus Albertus Lorentz, seorang penjelajah Belanda, mengeksplorasi kawasan ini pada 1909. Nama penjelajah ini yang menjadi asal muasal penamaan taman nasional ini. Sekitar 60 tahun kemudian, tepatnya pada 1978, Indonesia menetapkan wilayah ini sebagai cagar alam. Berselang 20 tahun, Lorentz secara resmi ditetapkan sebagai taman nasional.
Karena kekayaan hayati dan keunikannya, TN Lorentz ditetapkan sebagai situs warisan alam dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 1999.
Lisye Iriana Zebua, ahli taksonomi dari Universitas Cenderawasih, menjabarkan, Lorentz merupakan satu-satunya kawasan konservasi dengan spektrum ekosistem yang paling lengkap di Indonesia, bahkan di dunia. Letak geografis di khatulistiwa dan iklim tropis membuat kawasan ini begitu unik, kaya, dan beragam. Sayangnya, tutur Lisye, kekayaan ini belum terungkap sepenuhnya. Riset dan upaya mengungkap biodiversitas di Lorentz masih sangat minim.