Surabaya dan Malang di Jawa Timur tertantang untuk melestarikan kota tua terutama peninggalan masa Hindia Belanda yang rata-rata masih terawat dan fungsional untuk terus memberikan manfaat bagi warga.
Salah satu dari ratusan bangunan tua di Jalan Rajawali Surabaya yang menjadi destinasi wisata sejarah.
Surabaya dan Malang sudah ada sejak zaman klasik. Surabaya merupakan salah satu bandar atau perkampungan era Kerajaan Majapahit (abad ke-13). Adapun Malang adalah wilayah tinggalan Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8). Namun, mayoritas repihan peradaban masa silam yang masih terawat bahkan fungsional hingga kini adalah yang bernuansa Eropa atau dari masa kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-18.
Di Surabaya dan Malang terdapat kawasan segregasi atau pemisahan misalnya kompleks Eropa, pecinan, kampung Arab, dan permukiman bumiputra atau pribumi. Namun, bangunan cagar budaya yang besar, megah, ikonik lebih banyak bernuansa Eropa atau dibangun dalam masa kolonial. Karena itulah, program revitalisasi kota tua di Surabaya dan Malang berkemiripan, yakni lebih menyentuh kawasan berwajah Eropa, misalnya Rajawali-Darmo di Surabaya dan Kayutangan di Kota Malang.
Lihatlah, Kamis (27/1/2022) petang, sepasang muda-mudi dengan riang berfoto di Jalan Basuki Rahmat, Malang. Kawasan yang dikenal sebagai Kayutangan itu memang menjadi salah satu daya tarik pencinta swafoto dan fotografi untuk mengabadikan tema klasik di sepanjang trotoarnya. Hampir setiap petang, beratus-ratus orang akan memarkir kendaraan di tepi Kayutangan untuk sekadar memuaskan hasrat duduk dan berfoto di antara bangku taman dan lampu.
DAHLIA IRAWATI
Suasana sore di Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (5/8/2019).
Fenomena serupa juga dapat ditemui terutama di ruas Rajawali-Veteran-Pahlawan-Gemblongan-Tunjungan-Gubernur Suryo-Panglima Sudirman-Urip Sumoharjo-Raya Darmo berikut jalan-jalan paralel yang terhubung di sepanjang ruas tadi. Yang masih hangat dan ramai sejak 21 November 2021 sampai Rabu (9/2/2022) ini terutama Jalan Tunjungan meski masih ada pembatasan sosial karena situasi pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) yang kembali memburuk.
Di Kayutangan dan ruas Rajawali-Darmo, sebenarnya lebih banyak toko dan kantor atau tempat usaha bukan makanan dan minuman. Namun, kedua ruas di dua kota yang terpisah 120 kilometer ini masih menjadi pilihan bagi warganya atau pengunjung untuk pengabadian momen kehidupan. Sekadar duduk di deretan kursi taman atau beraktivitas di trotoar yang nyaman lalu berfoto bersama sahabat dan keluarga sudah menjadi bagian kehidupan warga Surabaya dan Malang.
”Saya ingin menikmati sore bersama keluarga saja di Kayutangan yang katanya sudah bagus,” kata Yanti (43), warga Tumpang, Kabupaten Malang. Pengunjung biasanya tertarik dengan lampu dekorasi yang baru dipasang di sepanjang trotoar Kayutangan. Untuk program tahun anggaran 2021, Pemerintah Kota Malang merogoh kocek Rp 1,6 miliar.
Kawasan kota tua Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (27/1/2022), tampak mulai ditata dan hendak dihidupkan kembali pesonanya oleh pemerintah. Kawasan legendaris ini diharapkan mampu menyedot wisatawan.
Dengan memasang lampu dekorasi dan menambah bangku taman, keriuhan sore di Kayutangan itu terasa berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya yang seolah tak punya harapan. Ketika itu, deretan bangunan tua dibiarkan kurang terawat oleh pemiliknya-bahkan untuk sekadar mengecatnya, hingga sebagian bangunan dijual atau dibongkar. Yang bertahan cuma beberapa gedung bank, dealer motor, toko batik, toko buku, dan restoran kuno.
Sri Lestari (60), warga Sidoarjo yang sempat ditemui di Toko Oen, mengatakan, senang dengan upaya pelestarian kawasan cagar budaya di Kayutangan. ”Jika berwisata ke Malang, hampir selalu mampir ke sini (Kayutangan) untuk beli oleh-oleh,” ujarnya.
Di Jalan Tunjungan, sejak peluncuran Tunjungan Romansa 21 November 2021 sampai akhir tahun itu, beberapa kali kami menemui pengunjung dari luar Surabaya. ”Saya lihat di media sosial ada Tunjungan Romansa, sehingga semalam dua malam mampir ke Surabaya dari perjalanan wisata di Jatim,” ujar Nugroho (50), warga Jakarta, pertengahan Desember 2021.
Komunitas
Tak ingin kehilangan roh keramaian, sejumlah komunitas mencoba membangkitkan geliat aktivitas di kota tua di Malang dan Surabaya. Komunitas A Day To Walk, misalnya, mengajak sejumlah orang berjalan menyusuri Kayutangan untuk menelisik jejak-jejak sejarah. Senada napas aktivitas Komunitas Sejarah Jejak Malang dan komunitas fotografi.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Suasana sore di perkampungan warga di kawasan Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (5/8/2019).
Pemerintah membuat Festival Kayutangan untuk menarik lebih banyak wisatawan. Pencitraan Kampung Wisata Kayutangan coba diperkuat. Misalnya, mendata dan menetapkan sejumlah rumah warga sebagai bangunan cagar budaya. Pemilik bangunan mendapat keringanan atau bebas pajak. Adapun sejak 2019, sudah ada ratusan rumah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Program itu membuat warga berbenah. Mereka tak lagi menjemur baju di pinggir gang, tapi memindahkan ke dalam. ”Kira-kira setahun ini perkampungan Kayutangan ditata. Dampaknya besar, orang sudah tak buang sampah sembarangan. Kayutangan semakin baik,” kata Edi Hermanto, Ketua RW 009 saat awal-awal kawasan dibuka untuk wisata.
”Bapak-bapak pada malam hari lebih senang gotong royong membenahi kampung, seperti mengecat dan memasang lampu atau kegiatan lain,” kata Edi melanjutkan. Di Kampung Heritage Kayutangan, setiap orang masuk untuk menikmati suasana dan berfoto ditarik semacam retribusi sebagai dana untuk pembangunan kawasan tersebut.
Suasana sore di perkampungan warga di kawasan Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (5/8/2019).
Kayutangan tak lagi terlihat seperti deretan bangunan mati, tetapi menjadi hidup. Toko ritel modern mulai membuka cabang di sana berikut jaringan hotel nasional. Toko-toko yang dulu sempat tutup akhirnya membuka kembali dan meneruskan usaha.
Namun, seiring peningkatan antusiasme warga berwisata di kota tua Malang, kendala klasik yang belum teratasi ialah penataan parkir kendaraan. Di sepanjang Kayutangan belum tersedia area atau gedung khusus parkir sehingga kendaraan parkir di jalan. Kelancaran lalu lintas tentu terganggu ditambah kemacetan lantas saut-menyaut bunyi klakson yang memekakkan telinga dan melunturkan kenyamanan.
Kira-kira setahun ini perkampungan Kayutangan ditata. Dampaknya besar, orang sudah tak buang sampah sembarangan. Kayutangan semakin baik.
Wali Kota Malang Sutiaji mengatakan, bekas kantor Badan Lingkungan Hidup akan diubah menjadi tempat parkir bersama. ”Parkir rencananya akan dijadikan terpusat di lahan bekas kantor BLH. Nanti tidak ada parkir di sepanjang jalan Kayutangan,” katanya.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Hiasan dinding di rumah warga perkampungan Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (5/8/2019). Kayutangan merupakan kawasan bersejarah yang mulai dilestarikan oleh Pemkot Malang.
Revitalisasi Kayutangan terus dijalankan. Menurut Sutiaji, pada 2019 telah dianggarkan Rp 18 miliar untuk membangun koridor. Caranya, memindahkan median jalan dan memperluas jalur pedestrian sehingga bisa dijadikan satu arah pada 2020. Namun, rencana itu terganggu dan tertunda oleh serangan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 yang sampai sekarang belum tertangani.
Program revitalisasi Kayutangan juga mendapat suntikan dana alokasi khusus Rp 16 miliar dari program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) Rp 10 miliar dan sisanya dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
”Semata-mata tujuannya untuk membangun kawasan heritage Kayutangan. Agar, diharapkan wisatawan bisa bertahan lebih lama di Kota Malang selain mengunjungi pesona alam dan buatan di Kota Batu dan Kabupaten Malang,” kata Sutiaji.
Kampung
Cara sedikit berbeda ditempuh Pemerintah Kota Surabaya. Pemeliharaan dan revitalisasi kawasan kota tua sudah pernah ditempuh di masa kepemimpinan Tri Rismaharini (kini Menteri Sosial). Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang sebelumnya Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya melestarikan kemajuan pemimpin sebelumnya, tetapi menyentuh lokasi yang lain. ”Yang sudah dibangun oleh Bu Risma dan baik dipelihara dan dilanjutkan. Yang belum tersentuh, menjadi kewajiban saya,” ujarnya.
Perbandingan Jalan Veteran di kawasan Jembatan Merah di zaman dulu saat masih ada lintasan trem dengan kondisi saat ini di Surabaya, Selasa (13/6/2017). Kawasan tersebut belum banyak berubah dari dulu. Masih didominasi gedung zaman kolonial.
Eri mengatakan, Surabaya pada prinsipnya adalah kota yang berkembang dari perkampungan. Di zaman kolonial Hindia-Belanda, penataan masif ketika itu bertujuan menjadikan Surabaya sebagai kota maritim hebat di Nusantara bahkan Asia Tenggara. Namun, kehidupan Arek Suroboyo tidak pernah lepas dari nuansa kampung, terutama dalam keguyuban dan gotong royong.
Surabaya mendorong agar wisata ke ibu kota Jatim turut menjual daya tarik kampung-kampung yang berkarakter berbeda. Misalnya, Kampung Bendera di Darmokali, Pecinan Kapasan Dalam atau Tambak Bayan, Kampung Soekarno dan Cokroaminoto di Peneleh, Kampung Lawas Maspati, Kampung Kue di Rungkut, Kampung Kreatif di eks-Lokalisasi Dolly, Kampung Ketandan dekat Tunjungan, dan Kampung Parikan Morokrembangan.
”Di kampung-kampung itulah, pemerintah bisa memberikan program intervensi misalnya rumah layak huni, penguatan permodalan UMKM, kegiatan seni budaya,” kata Eri.
Pemerintah bersama Universitas Airlangga dan komunitas pemerhati sejarah mulai menyusun ensiklopedi kearifan lokal. Sementara ini, menurut Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Surabaya ada 10 naskah. Setiap ritus sedekah bumi, adat sedekah bumi, bangunan cagar budaya (Benteng Kedung Cowek), teknologi tradisional (peralatan memanggang dan mengemas ikan) dan proses memanggan ikan (resep dan proses memanggang ikan), permainan tradisional (egrang, bentengan), olahraga tradisional (perahu naga, okol, gulat, lari), seni (Gombloh), bahasa arek, dan tradisi lisan (parikan/kidungan).
Guru Besar Sejarah Universitas Airlangga Purnawan Basundoro mengatakan, penting untuk tetap menjaga warisan masa lalu berupa tinggalan fisik. Namun, juga penting untuk memelihara ingatan kolektif warga Surabaya agar tidak punah atau dilupakan di masa depan. ”Program pelestarian idealnya berjalan simultan, ada yang menyentuh aspek fisik dan menyentuh aspek sosial kehidupan,” katanya.