Hasil pemeriksaan menyebutkan, kaki kiri Yuliana mengalami retak dan patah tulang. Namun, di rumah sakit, justru kaki kanan yang dioperasi. Kini dengan kedua kakinya sakit, Yuliana tak dapat bekerja. Hidupnya kian sulit.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Yuliana Rafu (41), tenaga kerja wanita, asal Besikama, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, pada 2016 terserempet ban dump truck di perkebunan sawit di Kalimatan Timur. Hasil rontgen menyebutkan, kaki kiri Yuliana mengalami retak-retak dan patah tulang. Operasi dijalankan di Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Akan tetapi, nasib naas dialami Yuliana, operasi itu dijalankan di bagian kaki kanan. Kasus ini pun dilaporkan ke polisi.
Suami Yuliana Rafu, Albert Nahak (48), dihubungi di Besikama, Malaka, Minggu (8/1/2022) mengatakan, pada 2015, ia bersama istrinya, Yuliana Rafu, bekerja di perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Kalimantan Timur. Tugas Yuliana di perkebunan sawit, yakni menyemprot rumput dengan cairan pestisida di perkebunan sawit. Albert memanen buah dan membantu di pabrik.
”Bulan Juli 2016, menjelang sore hari, ia menaikkan alat-alat kerja ke bak dump truck, bergegas pulang. Saat itu pula dump truck bergerak maju sehingga bagian ban truk menyerempet sebagian badan kiri termasuk kaki kiri ibu. Sopir mengaku tidak sempat melihat ke belakang. Sopir tersebut juga mandor di perkebunan sawit tersebut,” kata Nahak.
Nahak, yang sedang berlibur di kampung asal di Malaka itu, menuturkan, hasil rontgen di rumah sakit, sebagian kaki kiri mengalami keretakan di beberapa bagian bahkan patah, sekitar 4 cm bagian bagian bawah lutut. Selain itu terjadi luka di dada bagian kiri. ”Untung saat itu ban truk belum menginjak penuh karena korban berteriak sehingga sopir segera berhenti,” katanya.
Atas hasil rontgen tersebut, pihak keluarga memutuskan melakukan operasi pemasangan pen. Dengan dukungan pihak perusahaan, tempat Yuliana bekerja, operasi berlangsung 2 September 2016 di RSUD Kadungga, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Operasi berlangsung tiga jam.
Setelah sadar dari bius di ruang perawatan, korban kaget melihat bagian kaki kanannya dibaluti perban. Keluhan sakit pun makin menjadi di bagian kaki kanan, yang diperban termasuk kaki bagian kiri.
”Ibu dibius sehingga tidak tahu kaki mana yang mereka kerjakan. Saya juga di luar ruangan operasi, tidak tahu kondisi di dalam ruangan,” kata Nahak.
Yuliana kemudian bertanya kepada dokter yang melakukan operasi, ketika menjalankan kunjungan rutin ke ruang perawatan Yuliana. ”Dok, ada apa dengan kaki kanan saya. Dokter menjawab, kaki kanan itu yang saya operasi. Ibu pun kaget, langsung menjawab, mengapa operasi di bagian itu. Kaki saya kan patah di bagian kiri. Dokter itu pun diam, lalu meninggalkan ruangan,” tutur Nahak.
Pihak rumah sakit pun kaget setelah mendapat klaim dari Yuliana dan keluarga. Rumah sakit memutuskan untuk melakukan operasi di bagian kaki kiri guna memasang pen di bagian tulang yang patah. Operasi kedua ini dilaksanakan 3 September 2016.
Akan tetapi, seusai operasi kedua ini tidak mengatasi masalah. Keluhan sakit di kaki kiri dan kanan semakin menjadi, bahkan keluhan sakit di kaki kanan jauh lebih buruk dibandingkan kaki kiri.
Waktu terus berjalan. Kondisi kaki kiri dan kanan Yuliana makin buruk. Berjalan ke kamar mandi di rumah kediaman mereka pun sangat sulit. Apalagi mengambil posisi duduk dengan lutut ditekuk. ”Ke kamar WC itu harus duduk di kloset. Itu memang tidak bisa sama sekali kecuali duduk di kursi atau bangku. Di situ lutut ditekuk setengah saja,” katanya.
Tidak masuk akal karena perban itu terdapat di kaki kiri, sedangkan kaki kanan tidak ada apa-apa, bersih, memang normal, sehat. Apakah dokter tidak melihat kaki kiri yang ada perbannya.
Yualiana terpaksa menggunakan tongkat, tetapi hanya melakukan pergerakan ringan di dalam rumah. Ia tidak bisa melakukan aktivitas berat karena kaki kanan sebagai tumpuan kekuatan tidak berfungsi. Sehari-hari ia berada di dalam rumah.
Pengaduan yang dilakukan ke pihak rumah sakit pun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Rumah sakit beralasan telah menjalankan tugas pelayanan sesuai prosedur kesehatan. Berbagai upaya yang ditempuh tidak menemukan titik terang.
Dalam kondisi sakit itu, pada 2019, pihak perusahaan memutuskan hubungan kerja atau PHK terhadap Yuliana. Yuliana diberi upah selama tiga tahun (2016-2019), saat tidak bekerja, senilai Rp 2,2 juta per bulan.
”Di saat perusahaan melakukan PHK, rumah sakit pun enggan merawat Yuliana karena pasien tidak lagi menggunakan BPJS Ketenagakerjaan yang selama itu ditanggung perusahaan. Kondisi korban makin buruk. Tidak ada lagi biaya pengobatan termasuk biaya pembelian obat-obatan,” kata Nahak.
Nahak masih bekerja di perkebunan sawit itu. Nahak dan Yuliana memiliki seorang anak. Yuliana dan Nahak, sebelumnya masing-masing sudah menikah. Yuliana memiliki empat anak, dan Nahak tiga anak sehingga total delapan anak, ditambah Yuliana dan Nahak menjadi 10 orang. Enam orang anak tinggal di Malaka, dua orang ada di Kalimantan Timur, bersama Yuliana dan Nahak.
Merasa tak berdaya menghadapi kondisi sakit Yuliana, Nahak pun melaporkan kasus ini kepada Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Kalimantan Timur. Kasus ini diambil alih KSPI Kaltim.
Ketua KSPI Kaltim Kornelis Gato mengatakan, telah melakukan konfirmasi kepada dr H yang melakukan bedah (operasi) kaki Yuliana. Menurut dia, H mengakui telah melakukan operasi kaki kanan. Ini sesuai catatan medis dari ruang rontgen yang menyebutkan kaki yang patah itu di bagian right (kanan), bukan left (kiri).
”Tidak masuk akal karena perban itu terdapat di kaki kiri, sedangkan kaki kanan tidak ada apa-apa, bersih, memang normal, sehat. Apakah dokter tidak melihat kaki kiri yang ada perbannya. Mestinya ia bisa konfirmasi lebih lanjut ke ruang rontgen dan keluarga korban, ada apa dengan kaki kiri yang diperban,” katanya.
Kaki kanan yang dinyatakan utuh tadi dipotong begitu saja, kemudian dimasukan alat pen di dalam tulang, sementara kaki kiri yang sakit tidak tersentuh sama sekali. Pen yang ada di kaki kanan, diambil kemudian dipasang di kaki kiri, tanpa pengganti apa pun. Tulang kaki kanan yang telah dipotong tadi tidak punya penyangga lagi. ”Kenapa pen itu diambil lagi, mungkin karena pen itu mahal sehingga tidak bisa dipasang dua pen di kiri dan kanan,” katanya.
Yuliana Rafu menjalani perawatan di bagian dada kiri dan kaki kiri pada tahun 2016. Kondisi kaki kanan Yuliana sulit digerakkan secara leluasa. Terasa sangat sakit, nyilu. Malam hari, udara dingin terasa sangat sakit.
Pasca-operasi, kasus malapraktik ini terungkap. Menurut Nahak, dr H yang melakukan operasi melarangnya menceritakan kasus ini ke media massa atau pihak lain, dengan alasan rumah sakit itu milik pemerintah. Jika terungkap bakal berdampak buruk bagi Nahak dan keluarga.
Nahak pun takut dan diam. Ia ditawari uang kompensasi. Saat itu, Nahak minta kompensasi Rp 300 juta, tetapi pihak rumah sakit hanya menyanggupi Rp 50 juta. Uang Rp 50 juta itu sudah diterima Nahak, 2016, secara terpaksa.
Akan tetapi, kondisi kaki kanan korban makin buruk. Uang Rp 50 juta itu sudah habis dipakai untuk biaya pengobatan sejak 2016-2019. Pihak rumah sakit pun lepas tanggung jawab.
Merasa tak berdaya, Nahak melaporkan kasus ini ke KSPI Kalimantan Timur. KSPI Kaltim melakukan mediasi antara korban dengan dengan rumah sakit, tidak berhasil. Direktur baru yang diganti akhir tahun 2021 minta keluarga korban berurusan langsung dengan dokter bersangkutan.
”Akhirnya 6 Januari 2022 kami laporkan kasus ini ke Polda Kaltim. Kami harap, korban bisa mendapatkan keadilan di sana. Polisi bisa mengusut kasus ini sampai tuntas. Ini kasus malapraktik serius karena menyebabkan kecacatan permanen pada korban, dan diharapkan tidak terulang lagi,” katanya.
Jumlah TKI asal NTT yang bekerja di perkebunan sawit Kaltim sebanyak 130.500 orang dari total 234.063 tenaga kerja, tersebar di 358 perusahaan sawit. Jumlah 358 perusahaan itu, antara lain milik pengusaha Indonesia, Malaysia, Singapura, Inggris, Thailand, dan Sri Lanka.
Direktur RSUD Kudungga, Sangatta, dr Yuwana mengatakan, kasus itu sudah selesai antara rumah sakit dan pihak keluarga korban. Jika masih dipersoalkan, silakan berurusan dengan dokter yang melakukan operasi saat itu.