Harga Cabai di Palangkaraya Melangit, Jalur Distribusi Perlu Dipangkas
Harga cabai rawit di Palangkaraya belum juga turun. Banyak faktor menjadi penyebab, tetapi panjangnya rantai distribusi perlu dipangkas agar komoditas itu tidak lagi jadi penyumbang inflasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Harga cabai rawit di Palangkaraya tak kunjung turun. Per kilogram cabai rawit merah di kota itu bertahan di Rp 120.000. Kenaikan itu pun menyebabkan komoditas tersebut menyumbang inflasi terbesar di Kalimantan Tengah saat ini.
Kenaikan harga cabai sudah terjadi dua minggu sebelum akhir tahun. Harga bahkan sempat menyentuh Rp 135.000 per kilogram.
Di Pasar Besar Kota Palangkaraya, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, harga cabai rawit merah dan hijau mencapai Rp 120.000 per kilogram. Suharni (30), pedagang sayuran dan bumbu masak di Pasar Besar Kota Palangkaraya, mengungkapkan, dengan harga setinggi itu, ia hanya mendapatkan untung Rp 5.000 setiap kilogram.
”Dari sananya harga udah begini, jadi tidak bisa jual dengan harga normal. Kami aja dibatasi belinya katanya pasokannya kurang,” ungkap Suharni di Palangkaraya, Senin (3/1/2022).
Suharni menjelaskan, cabai merah yang ia jual dikirim dari Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia sudah 15 tahun berjualan sayuran dan sembako di Pasar Besar Palangkaraya dan belum pernah mengambil cabai dari tempat lain. ”Ini juga dikirim dari Jawa Tengah sana, sampai di Banjarmasin dikirim lagi ke sini,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan Ahmadi di Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia pun menjual cabai rawit merah dan hijau dengan cara dicampur harganya pun sama seperti patokan harga Suharni.
”Biasanya di sini lebih mahal lagi harganya, karena di sini, kan, sebagian besar ngambil (beli) dari Pasar Besar,” kata Ahmadi.
Menurut Ahmadi, kenaikan harga sudah jadi barang biasa menjelang akhir tahun. Hal itu terjadi karena setiap akhir tahun pasokan pasti menipis. ”Sampai sekarang harganya belum juga turun,” ujarnya.
Tak hanya cabai rawit, gula pasir yang sebelumnya seharga Rp 12.500 per kg saat ini dijual Rp 14.000 per kg. Lalu daging sapi yang sebelumnya Rp 125.000 per kilogram kini menjadi Rp 135.000 per kg. Daging ayam yang normalnya Rp 40.000 pun kini dijual di kisaran harga Rp 50.000-Rp 55.000 per kg.
Komoditas ini menjadi penyumbang inflasi lantaran mengalami lonjakan harga dan bertahan cukup lama.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah membentuk Tim Satuan Tugas Pangan Kalteng dengan tujuan melakukan inspeksi mendadak di sejumlah tempat di Kalimantan Tengah.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalteng Aster Bonawati menjelaskan, banyak faktor yang memengaruhi kenaikan harga sejumlah komoditas. ”Musim panen juga memengaruhi,” ujarnya.
Sejak 2015, dari catatan Kompas, cabai rawit dan ayam pedaging selalu menjadi komoditas penyumbang inflasi daerah karena harganya yang kurang mampu dikontrol. Pemerintah provinsi pernah membuat Pasar Penyeimbang di dua lokasi di Kalteng, tetapi belum mampu mengontrol harga.
Tahun 2016, Pasar Penyeimbang menjual harga jauh lebih murah dibandingkan harga di pasar. Harga pun sempat jatuh, tetapi tak berlangsung lama. Setelah itu, komoditas tersebut kembali menjadi penyumbang inflasi daerah.
Dalam jumpa media pada Senin pagi, Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah juga menunjukkan catatan yang sama. Kalteng pada Desember 2021 mengalami inflasi 0,86 persen.
Kepala BPS Provinsi Kalteng Eko Marsoro mengungkapkan, nilai inflasi itu dilihat dari pantauan Indeks Harga Konsumen (IHK) di dua kota pantauan BPS, yakni Kota Palangkaraya dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Komoditas penyumbang inflasi daerah, antara lain, adalah cabai rawit merah, cabai merah, dan minyak goreng.
”Komoditas ini menjadi penyumbang inflasi lantaran mengalami lonjakan harga dan bertahan cukup lama,” kata Eko.
Melihat hal itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina, menjelaskan, kenaikan harga cabai rawit ataupun cabai merah juga disebabkan panjangnya jalur distribusi. Tak hanya harus dipotong, tetapi perlu juga membuat rantai pasok yang terstruktur dan berkelembagaan karena cabai termasuk komoditas dengan nilai ekonomi tinggi, maka pengaturan harga menjadi lumrah dilakukan.
”Perlu ada intervensi pada tataran manajemen rantai pasok sehingga melindungi harga pada tataran produsen. Ini bisa dilakukan melalui kelembagaan dan kebijakan pemerintah,” ungkap Fitria.
Distribusi cabai rawit dan beberapa komoditas lainnya memang cukup panjang. Mulai dari petani di Jawa Tengah, kemudian ke tengkulak, lalu dikirim ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, diterima lagi oleh tengkulak di Kalimantan Selatan, sebelum dikirim ke Pasar Besar Palangkaraya.
Bahkan, Kompas beberapa kali menemukan perbedaan harga yang jauh lebih tinggi antara Pasar Kahayan dan Pasar Besar Palangkaraya karena beberapa pedagang di Pasar Kahayan membeli dari pedagang di Pasar Besar.
”Komoditas dengan nilai ekonomi tinggi itu konsekuensinya harga menjadi fluktuatif, sedangkan nilai ekonomis yang diterima petani tidak signifikan,” ungkap Fitria.