Banyak anak perempuan di Papua dipaksa kawin oleh orangtua. Namun, banyak dari mereka menolak lantaran ingin sekolah demi meraih cita-cita.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Saat orangtuanya tidur lelap, RM kabur dari rumah. Dalam kegelapan malam, bocah perempuan berusia 13 tahun itu melewati jalan setapak, menembus hutan. Tanpa penerangan, ia bermalam di kebun sebelum lanjut ke kampung tetangga pada dini hari. Ia ingin berlari sejauh mungkin, menghindari kawin paksa oleh orangtuanya.
Kampung tetangga yang ia tuju pada Maret 2021 itu sama-sama di Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua. Di kampung itu, ia istirahat sejenak di pinggir jalan sambil menanti kendaraan ke Arso, ibu kota Keerom. Perjalanan ke Arso butuh waktu paling cepat tiga jam menggunakan mobil.
Hari itu kebetulan ada kendaraan, RM pun ikut menumpang. Ia ingin secepatnya meninggalkan kampung itu. Ia takut terkejar oleh keluarga yang akan memaksa dia pulang kampung. Di kampung menanti seorang pria berumur yang sudah direstui oleh bapak dan ibu sebagai calon suami RM. Ia menolak itu.
Tak ada ongkos, ia meminta tolong kepada sopir agar menurunkannya di Asrama Putri Santo Don Bosco, Arso. Ia ingin kembali melanjutkan sekolah. RM kini duduk di bangku kelas II SMP Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Taruna Tegasa Arso.
”Saat itu pas dia pulang libur. Tiba di sana dia dipaksa harus menikah. Dia lari karena dia masih mau sekolah. Anak ini mengalami tekanan yang luar biasa. Cita-cita dia mau jadi guru di pedalaman,” kata Ice Yerwuan, Kepala Asrama Santo Don Bosco, yang menuturkan kisah RM, Kamis (4/11/2021). Saat Kompas datang ke asrama itu, RM ada di sana, tetapi ia tidak dapat ditemui.
Meski begitu, RM bernasib lebih baik ketimbang beberapa temannya. Banyak siswa yang pernah tinggal di asrama itu akhirnya keluar tanpa berita. Belakangan, diketahui mereka sudah berkeluarga. Mereka tak kuasa melawan kehendak orangtua yang memaksa untuk menikah dengan berbagai alasan, termasuk tekanan ekonomi keluarga. Ada juga yang hamil saat masih sekolah sehingga terpaksa pulang kampung.
Saya harus belajar sungguh-sungguh. Saya tra (tidak) boleh kawin dulu, saya sekolah dulu.
RM hanyalah satu dari banyak anak pedalaman di Papua yang berjuang ingin sekolah. Mereka datang dengan berbagai persoalan keluarga. Ada yang yatim piatu, ada yang ayah dan ibunya bercerai, dan banyak lagi. Mereka ingin sekolah untuk mengubah nasib. ”Mereka serius mau sekolah. Prestasi mereka juga bagus,” ujar Ice.
Cita-cita tinggi diimpikan Desi May (16), siswa kelas II SMA YPPK Taruna Tegasa Arso, yang juga tinggal di Asrama Santo Don Bosco. Desi bercita-cita menjadi seorang dokter. Setelah lulus SMA nanti, ia berencana mengikuti tes masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Desi memilih cita-cita dokter agar bisa merawat masyarakat pedalaman. Ia tak mau ada anak yang bernasib seperti dirinya. Ia tidak merasakan kasih sayang seorang ibu yang meninggal sejak dirinya masih bayi. Ibu Desi meninggal lantaran sakit menahun tak kunjung sembuh. Tak ada petugas medis di pedalaman. Keluarga juga tak punya biaya untuk membawa pasien ke kota.
”Bukan hanya saya punya mama, saya punya teman punya mama juga ada yang meninggal. Saya harus belajar sungguh-sungguh. Saya tra (tidak) boleh kawin dulu, saya sekolah dulu,” kata gadis asal Kampung Banda, Keerom, itu. Pada ujian kenaikan kelas lalu, Desi berhasil meraih peringkat dua.
Ice menambahkan, di asrama itu terdapat 62 siswa SMP dan SMA. Mereka semua adalah orang asli Papua dari keluarga miskin. Biaya operasional asrama ditanggung oleh pihak gereja dan bantuan dari donatur. Tak ada donatur tetap untuk asrama yang kondisinya kian memprihatinkan itu. Bangunan asrama itu berusia puluhan tahun tanpa perbaikan berarti.
Untuk kebutuhan makan, pihak asrama membuka beberapa kebun untuk ditanami ubi, jagung, pisang, dan berbagai sayuran. ”Beras 50 kilogram itu cukup untuk tiga hari saja, makanya kami harus punya kebun untuk tambah stok makanan. Di sini serba kekurangan, dan kami saling berbagi. Juga di sini tidak hanya yang beragama Katolik,” kata Ice.
Kepala SMA Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Taruna Tegasa Arso Ferdinandus Kantur mengatakan, sekolah swasta yang berada di pedalaman tidak bisa menggantungkan keuangan mereka pada iuran siswa. Dalam satu bulan, setiap siswa diminta membayar Rp 100.000. Namun, hal itu tidak terlaksana dengan baik sebab hampir semua siswa berasal dari keluarga miskin.
Di sekolah tersebut hampir semua murid adalah anak-anak asli Papua. Mereka tidak membayar iuran dengan lancar. ”Ada siswa yang bahkan sampai tamat tidak pernah bayar. Kami tidak bisa paksa dan kami juga tidak menghilangkan hak-hak mereka sebagai siswa karena mereka dari keluarga miskin,” katanya.
Padahal, iuran siswa dipakai untuk membiayai kegiatan operasional sekolah dan membayar gaji guru honorer. Di sekolah itu, hanya ada satu guru berstatus aparatur sipil negara. Lantaran jumlah guru honorer, banyak sementara iuran siswa tidak lancar, gaji guru jauh dari layak. Per bulan, guru dibayar Rp 1 juta.
Untuk pembangunan fasilitas pendidikan, sekolah tidak bisa berharap banyak dari yayasan yang memiliki kendala keuangan. Pihak sekolah mencari donatur sendiri. ”Tahun ini ada donatur dari Eropa yang akan bangun dua ruang belajar dan dua toilet,” kata Ferdinandus.
Menurut dia, keberadaan sekolah swasta di pedalaman semata-mata hanya untuk melayani warga yang kurang mampu agar dapat mengakses pendidikan. Masih banyak anak Papua yang hingga kini belum menikmati layanan pendidikan. Anak perempuan biasanya menjadi kalangan yang paling tidak berdaya. Banyak dari mereka dikawinkan secara paksa saat usia sekolah.
Dari waktu ke waktu, Ferdinandus yang bertugas di pedalaman lebih dari 20 tahun itu melihat semakin banyak anak perempuan Papua yang mau sekolah. Mereka juga terinspirasi dengan banyak sosok perempuan Papua yang sukses dalam karier, seperti mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Semakin banyak anak perempuan Papua bermimpi menjadi orang sukses. Berilah mereka kesempatan untuk sekolah. Seperti RM dan Desi yang punya komitmen dalam diri bahwa mereka tra mau kawin dulu. Sekolah dulu....