Tantangan Berbagi Damai dengan ”Abang Kul”, Si Gajah Sumatera
Hidup damai dengan gajah sumatera terus diusahakan. Gajah memiliki hak untuk hidup damai di alam liar, sedangkan warga juga berhak memperoleh penghidupan dari alam. Namun, hidup damai itu penuh tantangan.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·5 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI MASRY
Salah satu rumah warga di perkebunan di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Aceh, rusak diamuk gajah liar, Kamis (2/12/2021).
Hidup damai dengan gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) sejak lama adalah perjuangan. Gajah yang juga punya hak hidup damai di habitatnya aslinya, di tengah warga juga merasa berhak atas penghidupan dari alam. Situasi itu membuat hidup damai keduanya penuh tantangan, juga ketika pagar kejut pembatas ruang hidup keduanya rusak.
Suara mercon sahut-menyahut di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, Kamis (2/12/2021) siang. Situasi itu aneh bagi pendatang, termasuk orang Aceh sekalipun. Namun, biasa dilakukan warga setempat. Begitulah cara mereka menghalau gajah liar dari perkampungan.
Sesekali terdengar suara nyaring raungan gajah dari seberang kebun, yang mungkin memanggil kawanannya yang tercerai-berai dihalau pasukan mercon.
”Itu gajah paling berani. Dia berjalan paling belakang, bertugas menjaga gajah lain,” ujar Ketua Conservation Respons Unit (CRU) Peusangan Syahrul Riza, menunjukkan seekor gajah jantan gagah setinggi sekitar tiga meter yang berjalan pelan ke arah Kompas. Sepasang gading putihnya mengilap. Kami berjarak 100 meter dari gajah itu, hanya dipisahkan jurang kecil.
Pemasangan pagar kejut di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, Kamis (2/12/2021). Pagar kejut untuk membatasi pergerakan gajah liar ke kawasan budidaya warga.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Togar, seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) berusia 4 tahun, makan rumput didampingi pawang atau mahout, Syahron Siregar (39), di Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Kabupaten Siak, Riau, Sabtu (4/12/2021).
Gajah jantan itu mengawal kawanan gajah liar yang diperkirakan berjumlah 30 ekor, yang terdiri atas gajah betina dewasa, jantan, dan anakan. Sejak seminggu terakhir, kawanan itu berkeliaran di perkampungan di Desa Negeri Antara dan Blang Rakal.
Pada Rabu, (1/12) sore, induk gajah dan anaknya bahkan melintasi jalan nasional di kawasan itu. Banyak orang menyaksikan satwa ikonik itu dengan begitu dekat dan mengabadikannya dalam video.
Pagar kejut sebelumnya sudah dipasang sepanjang 18,7 kilometer di kawasan itu untuk memisahkan kawasan hutan dan kawasan permukiman warga. Pagar listrik itu dipasang, terutama di daerah yang kontur lahannya landai untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia. Setelah tiga bulan pagar diaktifkan, sekitar 200 meter pagar rusak, yang diduga dicuri. Gajah-gajah itu pun kemudian masuk ke perkebunan warga melewati pagar yang sudah hilang itu.
Oleh tim penghalau gajah yang terdiri atas staf CRU dan warga, rombongan ”Abang Kul”—sebutan warga untuk gajah yang artinya abang besar—itu akan digiring kembali ke kawasan hutan melalui pagar kejut yang sudah ”terpotong”. Biasanya, gajah akan memilih jalur yang sama saat masuk dan keluar kampung. Penggiringan biasanya berlangsung hingga satu minggu.
Ingin berdamai
Hasbi (70) bergegas keluar dari kebun, saat mendengar suara mercon pada Jumat (3/12/2021) pagi, Ia berjarak sekitar tiga kilometer dari lokasi tim penggiringan. ”Cepat. Kalau lama di sini kita bisa berpapasan dengan gajah liar,” kata Hasbi, tergesa.
Kami bergegas meninggalkan kebun kopi milik Hasbi. Menyusuri jalan setapak dan melintasi anak sungai. Meski usia telah 70 tahun, langkah Hasbi sangat ringan menyusuri jalan menanjak.
Hasbi dan istrinya, Marni, berkebun di kawasan itu sejak 2015. Ia nekat membuka lahan dalam area konsesi hutan tanaman industri perusahaan. Hasbi mengatakan, jauh sebelum perusahaan masuk, lahan itu telah digarap warga sehingga ia siap melawan jika sewaktu-waktu ”diusir” dari lahan tersebut.
Di lahan tersebut, Hasbi menanami kopi, pinang, pisang, dan cabai. Di tengah kebun dibangun sebuah rumah kayu. Di sanalah ia tinggal bersama istri.
Saya bilang sama gajah, kalau mau makan pinang, makan saja, tetapi jangan ganggu, kami hanya cari rezeki di sini. Dia (gajah) tahu apa yang kita sampaikan (Hasbi).
Hasbi menyadari kawasan tersebut merupakan koridor gajah. Oleh sebab itu pula, ia tidak pernah menyakiti gajah. Ia ikhlas tanaman miliknya dimakan gajah. Tidak terhitung berapa kali ia berpapasan dengan gajah liar, tetapi tidak pernah disakiti gajah. Bagi warga, ”Abang Kul” adalah saudara tua.
”Saya bilang sama gajah, kalau mau makan pinang, makan saja, tetapi jangan ganggu, kami hanya cari rezeki di sini. Dia (gajah) tahu apa yang kita sampaikan,” kata Hasbi.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Tim mitigasi konflik menembakkan mercon ke udara mengusir gajah liar dari perkampungan di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Kamis (2/12/2021).
Saat sekelompok gajah masuk ke perkebunannya, Hasbi bersama istri bertahan di rumah gubuk selama seminggu. Mereka hanya berjarak belasan meter. Hasbi melihat mata gajah-gajah itu memerah dan meraung seperti menahan marah. Marni beberapa kali bahkan sampai pipis di celana saking takutnya, tetapi Hasbi selalu berhasil ”bernegosiasi” dengan gajah-gajah itu.
Beberapa hari sebelumnya, Hasbi melihat dua anak gajah terkena jerat. Pada kaki gajah kecil itu terlilit tali nilon terhubung pada sebuah balok kayu. Anak gajah itu menyeret balok itu mengikuti ke mana induknya pergi.
”Mungkin induknya marah karena anaknya terkena jerat. Saya kasihan melihatnya, tetapi tidak berani membantu,” ujar Hasbi.
Pada akhirnya, warga menjemput Hasbi dan Marni untuk keluar dari kebun. Saat mereka mengungsi, gajah merubuhkan rumah itu. ”Kalau ada orang tidak akan dirubuhkan,” kata Hasbi.
Kompas menyusuri jalur jejajah gajah di perkebunan warga. Di sepanjang jalan setapak banyak ditemukan kotoran gajah yang masih baru. Tanaman di kebun juga banyak terlihat tumbang.
Data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, rumah di kebun yang dirusak gajah sebanyak 16 unit. Pondok-pondok itu umumnya digunakan petani saat menjaga tanaman.
DOKUMEN BKSDA ACEH
Pemasangan pagar kejut di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, November 2021. Pagar kejut untuk membatasi pergerakan gajah liar ke kawasan budidaya warga
Konflik di koridor Peusang yang meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Bireuen memang kerap terjadi. Konflik baru mulai ditangani serius. BKSDA Aceh bersama lembaga mitra membangun pembatas berupa parit dan pagar kejut, membangun CRU, dan melibatkan kelompok warga meminimalkan konflik.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto mengatakan, penyelesaian konflik di koridor Peusangan termasuk paling serius dilakukan. Infrastruktur mitigasi yang telah dibangun bertujuan melindungi gajah dan manusia.
Dia berharap warga terlibat penuh dalam gerakan mitigasi konflik satwa, sebab mereka adalah orang pertama yang merasakan dampak dari konflik. ”Kami telah melaporkan kepada polisi terkait perusakan pagar kejut. Saya berharap warga ikut menjaga yang telah dibangun pemerintah,” kata Agus.
Bekas luka jerat telah sembuh dan menyisakan tanda pada kaki depan seekor bayi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di ekosistem Bukit Tigapuluh, Jambi, Kamis (26/8/2021).
Menurut Agus, konflik gajah dipicu perebutan ruang antara manusia dan satwa. Alih fungsi lahan menjadi area budidaya membuat gajah kehilangan habitat. Kini, sebanyak 85 persen populasi gajah berada di luar kawasan konservasi.
Cara paling bijak hidup berdampingan dengan satwa adalah menanam jenis tanaman yang tidak disukai gajah, seperti jeruk, lemon, kemiri, kopi, cengkeh, dan sere wangi. Sementara, pohon pisang, pinang, padi, sawit, dan tebu merupakan kesukaan gajah.
Lebih bijak lagi jika manusia menghindari koridor gajah karena di sanalah hak-hak ”Abang Kul” yang telah ada sejak lama. Hidup berdamai dengan gajah hanya akan terwujud jika manusia mengetahui dan menghormati hukum alam.