Hampir semua guru honorer di daerah 3T jauh dari sejahtera. Mereka memperoleh gaji sangat rendah, dan banyak di antaranya yang tidak digaji sama sekali.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Hampir semua guru honorer yang bertugas di daerah terluar, terdepan, dan terpencil di Nusa Tenggara Timur masih jauh dari sejahtera. Banyak daerah mereka bergaji rendah, bahkan ada yang tidak digaji sama sekali. Pemerintah pun kesulitan membayar gaji mereka lantaran terbatasnya keuangan daerah.
Orip Atte, guru pada SMA Negeri 4 Takari, Kabupaten Kupang, yang dihubungi Senin (29/11/2021) pagi, mengatakan, di sekolah itu mengabdi 12 orang. Guru yang berstatus aparatur sipil negara hanya kepala sekolah. Selebihnya adalah honorer tanpa standar gaji.
”Kalau sekolah pas dapat dana bos, paling banyak dikasih Rp 200.000 untuk beberapa bulan. Itu pun dibagi untuk tiga atau empat orang. Hitung-hitung di sini kami mengabdi tanpa gaji,” kata Orip, putra asli dari daerah tersebut.
Menurut dia, para guru memahami kondisi tersebut. Pasalnya, sekolah itu berdiri atas swadaya masyarakat. Masyarakat membangun sekolah dengan dinding pelepah dan atap daun. Sekolah itu hadir agar anak-anak setempat tidak lagi berjalan kaki jauh-jauh. Gara-gara sekolah jauh, angka putus sekolah tinggi. Sekolah itu diresmikan pada Juli 2021.
”Masyarakat di sini miskin jadi kami juga tidak bisa memaksa anak-anak membayar uang komite sekolah. Kalau ditagih terus mereka malah tidak mau datang ke sekolah. Jadi biar kami jalan terus. Siapa tau ada perhatian dari pemerintah bagi nasib guru di sini,” ucapnya.
Kendati tidak digaji, masyarakat setempat memperhatikan mereka dengan membangun mes guru. Sering kali pula, masyarakat memberikan makanan dari hasil kebun, seperti jagung, ubi, kelapa, dan sayuran. Sesekali guru-guru diberi daging ayam, daging sapi, atau daging hasil buruan warga di hutan.
Masyarakat di sini miskin jadi kami juga tidak bisa memaksa anak-anak membayar uang komite sekolah. Kalau ditagih terus mereka malah tidak mau datang ke sekolah
Kisah guru tanpa gaji juga dituturkan oleh Abraham Manafe, guru di SMA Negeri 1 Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di pedalaman itu, banyak guru tidak digaji. Gaji mereka bersumber dari dana bantuan operasional sekolah. Sayangnya, minimnya jumlah siswa menyebabkan angaran pun terbatas.
Untuk menyiasati kebutuhan mereka, para guru ini bekerja serabutan. Terkadang, mereka menjadi buruh tani hingga jualan ikan dan daging keliling. Pekerjaan utama mereka di sekolah pun kadang berantakan. ”Mau tuntut guru profesional tapi kesejahteraan mereka tidak dijamin. Ini sangat sulit,” katanya.
Dalam catatan Kompas, gaji bagi guru honorer di NTT, terutama di daerah 3T, masih jauh di bawah upah minimum provinsi (UMP) . Tahun 2021, UMP NTT sebesar Rp 1.950.000 per bulan, dan dinaikkan menjadi Rp 1.975.000 untuk tahun depan.
Kondisi tersebut berdampak pada kualitas lulusan. Banyak anak yang kini duduk di sekolah menengah atas belum bisa membaca atau menghitung dengan lancar. Mereka dibiarkan naik kelas dan lulus ke jenjang berikutnya. Guru yang jarang ke sekolah tak berani membuat siswanya tahan kelas atau tidak lulus.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Linus Lusi mengapresiasi pengabdian para hononer di daerah itu. Mereka merepresentasikan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. ”Tanpa mereka, tidak terbayang seperti apa nasib generasi muda di sana. Mereka sangat berjasa,” ucapnya.
Namun, ia mengakui masih banyak guru honorer di NTT yang jauh dari sejahtera. Selama ini, pendapatan mereka bersumber dari dana bantuan operasional sekolah, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Skema perekrutan guru kontrak daerah pun sangat terbatas lantaran daerah memiliki keterbatasan anggaran.