Berkelana dari ”Jembatan Emas” Era Bung Karno ke Jembatan Youtefa di Masa Jokowi
Bung Karno menulis bahwa kemerdekaan atau political independence, tak lain dan tak bukan, satu jembatan, satu "jembatan emas". Jembatan itu kini terwujud dari Jembatan Ampera di Palembang hingga Youtefa di Papua.
Menjalani masa karantina selama tiga hari di Istana Bogor sepulang dari perjalanan luar negeri, ingatan Presiden Joko Widodo justru berkelana jauh ke tanah Papua. Selain menyempatkan hadir mendadak secara virtual dalam pembukaan Pekan Paralimpiade Nasional atau Peparnas di Papua, Presiden Jokowi juga mengakhiri masa karantina dengan mengunggah video animasi tentang keelokan Jembatan Youtefa, Papua.
”Hari ini, masa karantina tiga hari seusai perjalanan ke luar negeri saya berakhir. Apa kabar saudara-saudaraku di seluruh Tanah Air? Semoga senantiasa sehat dan bersemangat menjalankan protokol kesehatan,” ujar Presiden Jokowi melalui cuitan di akun Twitter @Jokowi, Senin (8/11/2021).
Baca juga : Presiden Jokowi Pulang Tak Dijemput, lalu Karantina Mandiri di Istana
Dua jam lebih awal sebelum mengumumkan berakhirnya masa karantina, Presiden Jokowi menyuguhkan video animasi tentang Jembatan Youtefa di Twitter ataupun Instagram. ”Membentang di atas teluk yang indah, jembatan ini berupa besi lengkung raksasa yang berat. Rangka besinya dibangun di Surabaya lalu dikapalkan ke ujung timur Nusantara. Saat terpasang, jembatan ini menjadi landmark sebuah kota. Apa nama jembatan ini dan di mana lokasinya?” kata Presiden dalam cuitannya.
Video animasi yang diunggah Presiden Jokowi menonjolkan keindahan jembatan berwarna dominan merah berlatar belakang suara ombak dan kicau burung. Animasi burung yang beterbangan di atas jembatan dan perahu yang melaju membelah air di bawah jembatan segera mengingatkan pada video serupa bertajuk ”Jembatan Youtefa: Mimpi Lama, Jadi Nyata” yang diunggah di kanal Youtube Presiden Joko Widodo pada 28 Desember 2019.
Baca juga : Youtefa, Jembatan Persatuan Bangsa dari Papua
Pada catatan di video tersebut, Presiden Jokowi menuliskan, dulu, warga Kampung Laut Enggros yang berumah di sepanjang perairan Teluk Youtefa, Jayapura, hanya bisa memendam mimpi untuk menyeberangi teluk lebih cepat melalui jembatan. Kini impian itu sudah menjadi nyata. Jembatan Youtefa membentang megah dan indah di atas teluk dan menjadi ikon baru Papua.
”Saya berterima kasih kepada pemerintah sudah dibangun jembatan merah yang begitu megah untuk kami di Papua. Membantu akses kami dalam kegiatan hari-hari sebagai ibu rumah tangga, ya ke pasar untuk belanja-jualan, ketemu keluarga yang di kota. Kami sudah tidak lagi lewat laut, tetapi lewat jembatan. Rasanya bahagia sekali,” ujar warga Kampung Enggros, Lian Yoe, di dalam tayangan video.
Kepala Kampung Enggros Orgenes Meraudje masih mengingat betapa terasa jauh perjalanan ke kota yang dulu hanya bisa ditempuh dengan mendayung. ”Kami bisa sekolah dari kampung, bisa kami kerja dari kampung, kami beli barang di kota bisa pulang ke kampung. Makanya, kami senang dengan akses pembangunan jembatan dan jalan. Kami cepat kenal kota, perkembangan kota kami ikuti dengan baik,” katanya.
Kemajuan Papua
Di akhir tayangan video tertulis sebaris kutipan kalimat Presiden Jokowi, ”Jembatan Youtefa tidak sekadar membentang di atas teluk dan menghubungkan Jayapura dan Muara Tami, tetapi juga menjadi jembatan kemajuan Papua. Saya harap Pak Presiden tetap semangat tetap solid membangun bangsa dan negara ini. Seperti dalam bahasa Papua saya bilang waniambey (selamat sejahtera) waniambey... waniambey..,” ujar Enggros.
Saya harap Pak Presiden tetap semangat tetap solid membangun bangsa dan negara ini. Seperti dalam bahasa Papua saya bilang waniambey (selamat sejahtera) waniambey... waniambey....
Kemajuan Papua yang selalu ada di hati, bahkan di kala menjalani masa karantina, itu pula yang diungkapkan secara verbal oleh Presiden Jokowi ketika membuka Peparnas Papua 2021 pada Jumat (5/11/ 2021). Video ini dimunculkan sebelum Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang ditunjuk mewakili acara pembukaan berpidato di Stadion Mandala, Jayapura, lokasi Peparnas dibuka.
”Pace, mace, kaka kaka basudara semuanya. Namun, mohon maaf saya tidak dapat hadir karena saya harus menjalani karantina setelah kembali dari luar negeri. Sebenarnya tanggal 5 November pagi saya sudah tiba di Tanah Air dan bisa membuka secara virtual. Saya lebih memilih hadir pada acara penutupan nanti di Jayapura karena Papua selalu ada di hati saya,” ujar Presiden.
Jembatan Youtefa menjadi salah satu kebanggaan karena tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat Papua, tetapi juga memiliki desain unik dan pembangunannya mendapatkan dua rekor Muri. Rekor itu untuk pengiriman rangka baja utuh dengan jarak terjauh dan rekor pemasangan jembatan rangka baja utuh terpanjang. Rangka baja jembatan memang dikirimkan dari lokasi produksi di Surabaya secara utuh. Setelah dikapalkan, rangka tersebut dipasang.
Dengan panjang 732 meter dan lebar 21 meter, jembatan ini menjadi jembatan terpanjang di Papua. Biayanya pun mencapai Rp 1,8 triliun. Jembatan Youtefa yang awalnya dinamakan Holtekamp diresmikan Presiden Joko Widodo pada 28 Oktober 2019. Sepanjang pembangunan, Presiden tercatat beberapa kali meninjau pembangunannya seperti pada 28 Desember 2014 dan 12 April 2018.
Kebiasaan Presiden meninjau proyek infrastruktur berkali-kali sudah bukan rahasia. Suatu kali, Presiden Jokowi menjelaskan, bila pengerjaan infrastruktur ditinjau berkali-kali, tentu menteri yang menanganinya pun akan lebih sering turun ke lapangan dan memantau perkembangan pembangunan. Bahkan, direktur jenderal dan pejabat di bawahnya akan lebih sering lagi mengecek dan memastikan kemajuan pembangunan. Dengan demikian, kendala bisa diketahui dan diatasi.
Pembangunan jembatan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pun tak sedikit. Setidaknya sebelas jembatan dibangun dan sebagian besar kini sudah diresmikan. Selain Jembatan Youtefa, ada juga Jembatan Bahteramas di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara; Jembatan Tumbang Samba di Katingan, Kalimantan Tengah; Jembatan Pulau Balang, Kalimantan Timur; Jembatan Sei Alalak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jembatan Tano Ponggol di Samosir, Sumatera Utara; Jembatan Kali Kuto di Semarang, Jawa Tengah, dan Jembatan Kali Kenteng di Salatiga, Jawa Tengah.
Dalam peresmian Jembatan Sei Alalak 21 Oktober 2021, misalnya, Presiden langsung mencoba dengan mengendarai kendaraan taktis P6 ATAV V1. Melintas pelan dari kendaraan taktis yang terbuka, Presiden duduk di sebelah pengemudi, sedangkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno di belakangnya.
Jembatan penghubung antardesa seperti Jembatan Mangunsuko di Magelang dan Jembatan Turpogen di Madura juga dibangun. Ada pula Jembatan Merah Putih di Kota Ambon, Provinsi Maluku, yang pembangunannya dimulai pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011. Jembatan ini rampung dan diresmikan Presiden Jokowi pada 4 April 2016.
Kilas balik
Dari masa ke masa, jembatan berskala besar dibangun di era pemerintahan presiden-presiden RI sebelumnya. Merujuk dokumentasi Kompas, Presiden kedua RI Soeharto, misalnya, pada 23 April 1997 meresmikan Jembatan Barito yang menghubungkan Banjarmasin, Kalsel, dengan Kualakapuas, Kalteng.
Jembatan Barito sepanjang 1.082 meter dengan lebar 10 meter yang diresmikan saat itu merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Jembatan berkonstruksi baja dengan sistem gantung ini dibangun bertahap sejak tahun 1993. Total dana pembangunan Rp 98 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Saat itu, Presiden Soeharto mendapat laporan bahwa DPRD Tingkat I Kalsel telah mengambil keputusan pemberian nama Jembatan Soeharto kepada jembatan tersebut. ”Saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehormatan itu. Tetapi, pemberian nama jembatan dengan nama saya, saya khawatir dapat menimbulkan sikap kultus individu. Karena itu, pada peresmian sekarang, jembatan ini saya beri nama Jembatan Barito,” kata Presiden Soeharto saat itu (Kompas, (24/4/1997).
Pemberian nama jembatan dengan nama saya, saya khawatir dapat menimbulkan sikap kultus individu. Karena itu, pada peresmian sekarang, jembatan ini saya beri nama Jembatan Barito. (Presiden Soeharto)
Turut menghadiri peresmian Jembatan Barito kala itu Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ginandjar Kartasasmita, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudhohusodo, Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie, Menteri Dalam Negeri Yogie SM, Menteri Sosial Nyonya Inten Soeweno, dan Menteri Sekretaris Kabinet Saadillah Mursjid.
Selanjutnya, seperti diberitakan Kompas, pada 13 Januari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan Jembatan Kahayan yang berada di ruas jalan penghubung Kota Palangkaraya dengan Kabupaten Barito Selatan dan Barito Utara di Provinsi Kalteng. Pembangunan jembatan sepanjang 280 meter tersebut menghabiskan dana Rp 21 miliar.
Selepas meresmikan jembatan Kahayan, Presiden Megawati kemudian mengunjungi Tugu Pemancangan Tiang Pertama Kota Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalteng 15 Juli 1957, yang diresmikan oleh Presiden pertama RI Soekarno. Tugu pemacangan ini lokasinya tidak jauh, hanya sekitar beberapa ratus meter, dari Jembatan Kahayan.
Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri pun meletakkan dasar pembangunan Jembatan Suramadu pada tahun 2003. Tiang pancang jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu diresmikan Megawati pada 20 Agustus 2003. Pembangunan sempat terkendala pembebasan lahan sampai 2007 dan keterlambatan pencairan dana pinjaman pada 2008, tetapi akhirnya pembangunan rampung pada 2009. Berbiaya sekitar Rp 4,5 triliun, Jembatan Suramadu diresmikan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009.
Selain jembatan yang membentang di atas air, ada pula wahana ”jembatan di udara” yang dikembangkan oleh Menristek BJ Habibie yang kemudian menjadi Presiden ketiga RI. Hal ini ditandai dengan pengembangan dan terbang perdana prototipe (purwarupa) pesawat N-250 Gatotkoco pada Kamis, 10 Agustus 1995 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Baca juga : Pemajangan Pesawat N-250 Karya Habibie Kobarkan Semangat Kedirgantaraan
”Inilah hasil karya generasi penerus yang dipersembahkan untuk ulang tahun emas, ulang tahun ke-50, Republik Indonesia. Generasi penerus yang ada di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) telah mencurahkan pikiran dan tenaga. Mereka dengan tekun bekerja keras, hampir tak mengenal waktu istirahat, untuk melahirkan pesawat N-250. Mereka patut dibanggakan,” kata BJ Habibie pada bukunya yang berjudul Habibie & Ainun (PT THC Mandiri, 2010).
Digambarkan di buku tersebut ketegangan yang mencair saat roda-roda pesawat N-250 mulai terangkat, terus naik meninggalkan bandara menembus angkasa Bandung yang cerah membiru. Bangga, haru, lega, bahagia, campur menjadi satu. Pak Harto terlihat beberapa kali menyapu air mata di wajahnya dengan sapu tangan putih. Ibu Tien spontan memeluk dan menjabat tangan BJ Habibie.
Pesawat N-250 terbang anggun menjelajah angkasa Jawa Barat dan Laut Jawa dengan kecepatan tinggi (high speed fly pass). Setelah terbang sekitar satu jam, pesawat kembali ke Bandara Husein Sastranegara dan mendarat mulus pada pukul 11.10 WIB. Tepuk tangan dan puji syukur pun dipanjatkan begitu roda pesawat menyentuh landas pacu.
Sementara itu, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun akan selalu dikenang dalam peranannya merangkul, membela, dan ”menjembatani” hubungan sesama anak bangsa dan dunia. Editor buku Sejuta Gelar Untuk Gus Dur (Penerbit Pensil-324, Jakarta, 2010) menyampaikan bahwa kepergiaan Gus Dur ditangisi bukan hanya oleh warga NU atau umat Islam saja. Kalangan non-Muslim dan komunitas internasional pun merasa sangat kehilangan.
Rasa kehilangan besar yang dirasakan seluruh elemen bangsa dan masyarakat dunia ini tidak lepas dari keteguhan Gus Dur yang tak pernah mengenal batas ras, agama, suku, identitas, dan golongan. Semua kelompok dirangkul dalam semangat kebersamaan dan persaudaraan.
Rasa kehilangan besar yang dirasakan seluruh elemen bangsa dan masyarakat dunia ini tidak lepas dari keteguhan Gus Dur yang tak pernah mengenal batas ras, agama, suku, identitas, dan golongan. Semua kelompok dirangkul dalam semangat kebersamaan dan persaudaraan. Gus membela tanpa pamrih siapa pun yang ditindas.
”Sikapnya yang egaliter membuat dia mempunyai kawan di mana-mana, menjadi idola sekaligus bapak semua kalangan. Gus Dur memang layak disebut guru bangsa, sekaligus tokoh demokrasi, pejuang hak asasi manusia, pluralisme dan toleransi antarumat beragama, serta tokoh perdamaian dunia,” tulis A Effendy Choirie, Arif Mudatsir Mandan, dan Hermawan Sulistyo yang menjadi editor buku tersebut.
Baca juga : Terowongan Silaturahmi, Lambang dan Inspirator Kerukunan Antarumat
Belakangan, ikon baru toleransi antarumat beragama dan kebinekaan di Indonesia pun diwujudkan melalui Terowongan Silaturahmi. Terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta ini dibangun sejak 15 Desember 2020. ”Terowongan ini punya makna yang dalam, bukan sekadar lambang, melainkan juga memberikan inspirasi terbangunnya kerukunan antarumat,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat meninjau pembangunan Terowongan Silaturahmi tersebut pada Jumat (27/8/2021).
Pada tahun 1933, Bung Karno menulis risalah berjudul ”Mencapai Indonesia Merdeka”. Di dalamnya, Bung Karno menulis bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. ”Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat,” katanya.
Kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. (Bung Karno)
”Jembatan emas” yang didambakan Bung Karno akhirnya benar-benar terwujud ketika Bung Karno meresmikan Jembatan Soekarno di Palembang yang diubah oleh pemerintah Orde Baru menjadi Jembatan Ampera. Juga saat Bung Karno mewujudkan Jembatan Semanggi di ibu kota Jakarta yang kini menjadi ikon keberhasilan infrastruktur di Indonesia selain infrastruktur lainnya. ”Jembatan-jembatan itu dibangun Bung Karno untuk menopang kemajuan dan pembangunan ekonomi di Palembang dan di Jakarta,” ujar Guntur Soekarno, putra sulung Presiden ke-1 RI Soekarno saat dikonfirmasi, Senin (8/11/2021) malam.
Kini, menjelang Hari Pahlawan, 10 November, saatnya mengenang lagi perjuangan para pendahulu yang telah merebut kemerdekaan, merebut jembatan emas, dan setahap demi setahap mewujudkan pembangunan negeri ini dengan berbagai infratrukturnya. Seperti tugas generasi selanjutnya untuk mengisi kemerdekaan negeri ini di berbagai bidang untuk bersama-sama meningkatkan kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan masyarakat Indonesia.