Ironi Transportasi dari Atas Roda Damri Bandung
Ajakan menggunakan transportasi publik diuji di Kota Bandung. Delapan rute bus Damri di kawasan Bandung Raya berhenti beroperasi.
Belasan calon penumpang duduk dan berdiri di halte Jalan Dewi Sartika, Kota Bandung, Jumat (29/10/2021). Mendung Bandung sore itu menemani mereka menunggu kedatangan bus kota Damri rute Terminal Kebon Kalapa–Cibiru.
Bus tiba tepat saat gerimis mulai turun. Satu per satu penumpang dengan dan tanpa masker bergegas masuk. Tidak butuh lama hingga 42 kursi di dalam bus terisi penuh. Beberapa penumpang bahkan harus berdiri karena kalah cepat berebut tempat duduk.
Suasana di luar bus selama perjalanan menuju Cibiru, berjarak sekitar 15 kilometer, memakan waktu 1,5 jam, semrawut. Banyak angkutan umum mangkal dan berseliweran tanpa penumpang. Becak yang melintas mencari penumpang. Jalan yang padat itu memicu kemacetan di beberapa lokasi, seperti Jalan Dalem Kaum, Jalan Ahmad Yani, Pasar Cicadas, dan Terminal Cicaheum.
Dengan berat hati, kami harus mengambil langkah ini guna menekan kerugian dan menjaga keberlangsungan perusahaan. (Sidik Pramono)
Kesemrawutan lalu lintas semakin menjadi saat hujan kian deras. Pengendara sepeda motor pribadi atau ojek daring berteduh dan memarkir kendaraan di bahu jalan. Imbasnya, ruas jalan kian sempit dan memperparah kemacetan di Bandung. Bus bertubuh besar itu pun merayap pelan berebut jalan dengan kendaraan pribadi.
Baca juga : Sopir Bus, Takut Covid-19 atau Takut Lapar
Di dalam bus, para penumpang hanya bisa pasrah. Mereka menerima nasib miris angkutan massal di kota peraih penghargaan Wahana Tata Nugraha dari Kementerian Perhubungan tahun 2019. Ibu kota Jabar ini dinilai mampu menyediakan layanan transportasi dan lalu lintas yang laik bagi warganya.
”Tidak apa-apa berdiri. Bisa naik Damri saja syukur. Busnya nyaman dan tarifnya murah,” ujar Rudi Suherman (33), penumpang tujuan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, yang kali ini gagal mendapat tempat duduk.
Tarif bus Damri rute Terminal Kebon Kalapa-Cibiru Rp 6.000 per orang. Jika menggunakan angkutan kota, Rudi mesti dua kali berganti moda dengan total tarif Rp 12.000. Menggunakan ojek daring memakan biaya sekitar Rp 35.000.
Sore itu, Rudi dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Tanjungsari. Namun, sejak Kamis (28/10), bus Damri rute Terminal Kebon Kalapa-Tanjungsari langganannya tidak terlihat lagi. Rute itu berhenti beroperasi hingga batas waktu yang belum pasti.
Akibatnya, dari Cibiru, ia harus melanjutkan perjalanan menggunakan angkot menuju Cileunyi dan Tanjungsari dengan tarif Rp 12.000. Jadi, sore itu ia harus merogoh kocek Rp 18.000 untuk pulang. Padahal, sebelum berhenti beroperasi, tarif bus Damri rute Terminal Kebon Kalapa-Tanjungsari hanya Rp 10.000.
”Kalau sekarang, pergi-pulang keluar Rp 36.000. Belum lagi capek ganti angkutan. Jika dihitung-hitung, lebih hemat pakai sepeda motor sendiri. Paling-paling cuma habis 2 liter bensin (sekitar Rp 15.000). Artinya, bisa hemat Rp 21.000,” jelasnya.
Bapak dua anak itu pegawai toko pakaian di Jalan Dewi Sartika dengan gaji Rp 3 juta per bulan atau Rp 100.000 per hari. Baginya, menghemat biaya perjalanan Rp 21.000 per hari sangat berarti untuk menopang perekonomian keluarga, terutama saat pandemi Covid-19 seperti sekarang.
Oleh sebab itu, Rudi merasa kehilangan atas pemberhentian bus Damri rute Terminal Kebon Kalapa-Tanjungsari itu. Meskipun waktu tempuhnya lebih lama kerena bodi kendaraan yang besar, Damri masih menjadi pilihannya karena nyaman dan ramah kantong.
Rute Terminal Kebon Kalapa-Tanjungsari merupakan satu dari delapan trayek bus Damri yang berhenti beroperasi. Tujuh rute lainnya adalah Cicaheum-Cibeureum, Ledeng – Leuwipanjang, Dipatiukur-Leuwipanjang, Elang-Jatinangor via Cibiru, Dipatiukur-Jatinangor, Cicaheum-Leuwipanjang, dan Alun-alun Bandung-Ciburuy.
Penghentian itu tidak dibarengi sosialisasi mumpuni. Di halte di depan Universitas Padjadjaran (Unpad), Jalan Dipatiukur, Bandung, misalnya, tidak ada pemberitahuan mengenai hal itu.
Indah (22), calon penumpang, lebih dari 1,5 jam menanti bus Damri rute Dipatiukur-Jatinangor di halte tersebut. Ia baru tahu rute itu tak lagi beroperasi dari sopir angkot yang melintas, Jumat siang.
Mahasiswa Unpad itu tidak sendiri. Ia menunggu bus Damri bersama tiga rekannya. Karena sedang terburu-buru, mereka beralih menggunakan taksi daring menuju Jatinangor dengan tarif Rp 80.000.
Padahal, tarif Damri rute Dipatiukur-Jatinangor hanya Rp 10.000. Oleh karena itu, Indah sangat menyayangkan kebijakan Damri menghentikan trayek tersebut. ”Karena kebetulan kami ada empat orang, bisa naik taksi daring dan bayarnya patungan Rp 20.000 per orang. Kalau bayar sendiri, tentu sangat membebani mahasiswa,” ucapnya.
Mahasiswa banyak menggunakan Damri rute ini karena menghubungkan Kampus Unpad di Dipatiukur dan Jatinangor. Setelah rute itu dihentikan, mereka harus berganti dua hingga tiga moda transportasi dengan tarif lebih dari dua kali lipat.
”Memang selama pandemi Covid-19 penumpang Damri tidak begitu ramai. Mahasiswa, kan, lebih banyak kuliah daring. Tetapi, masih ada yang berkegiatan di kampus sehingga Damri tetap dibutuhkan,” ujar Indah.
Berat hati
Sekretaris Perusahaan Damri Sidik Pramono belum dapat memastikan batas waktu penghentian sementara delapan rute tersebut. Kebijakan ini diambil untuk menekan kerugian akibat penurunan penumpang selama pandemi.
”Dengan berat hati kami harus mengambil langkah ini guna menekan kerugian dan menjaga keberlangsungan perusahaan,” ujarnya. Secara keseluruhan, Damri rugi Rp 220 miliar sepanjang 2020.
Menurut Sidik, pelayanan bus kota di Bandung merupakan segmen komersial dan nonsubsidi. Oleh sebab itu, pihaknya mesti memperhitungkan faktor keekonomian dalam setiap kegiatan operasional. Load factor yang kecil dan preferensi sebagian besar pelaku perjalanan di Bandung dalam bermobilitas yang tidak menggunakan bus kota juga jadi dasar pertimbangan.
Sidik menuturkan, pihaknya akan mengevaluasi setiap segmen usaha. Jika berdasarkan evaluasi tingkat keekonomiannya terpenuhi, operasional delapan rute yang dihentikan sementara dapat dijalankan kembali.
”Kami telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan pelayanan transportasi publik tidak terganggu. Pada delapan rute itu masih ada pilihan moda transportasi lain,” ujarnya.
Harus ada aksi nyata dari pemda. Jangan sampai penumpang Damri di delapan rute (yang ditutup) ditelantarkan. (Sonny Sulaksono)
Sidik menyebutkan, tidak semua layanan Damri di Bandung Raya berhenti beroperasi. Tiga trayek masih aktif, yaitu Jatinangor-Elang via tol, Cibiru-Kebon Kalapa, dan Alun-Alun Bandung-Kota Baru Parahyangan.
Selain itu, bus segmen antarkota dalam provinsi (AKDP), antarkota antarprovinsi (AKAP), penugasan angkutan perintis, bus rapid transit (BRT) Majalaya, dan angkutan disabilitas juga tetap beroperasi.
Baca juga : Tekan Kerugian, Damri Hentikan Sementara Delapan Rute di Bandung Raya
Untuk mengantisipasi penumpukan penumpang, Dinas Perhubungan Kota Bandung menyiapkan puluhan bus Trans-Metro Bandung (TMB) di beberapa trayek. Sekitar 20 bus TMB cadangan dioperasikan untuk melayani mobilitas warga. Armada itu mendukung 40 bus yang beroperasi normal setiap hari.
”Belum ada penumpukan penumpang, tetapi harus tetap diantisipasi. Selain TMB, ada juga 35 bus sekolah dan beberapa bus pariwisata yang bisa dikerahkan apabila terjadi lonjakan penumpang,” ujar Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung Agung Purnomo.
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono, mengatakan, fungsi utama transportasi publik, termasuk Damri, untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, pengoperasiannya membutuhkan subsidi dari pemerintah daerah.
”Harus ada aksi nyata dari pemda. Jangan sampai penumpang Damri di delapan rute (yang ditutup) ditelantarkan. Jika tidak, itu sama saja memaksa mereka membeli sepeda motor murah sehingga akan menambah beban kemacetan,” ujarnya.
Menurut Sony, penumpang Damri merupakan pengguna transportasi publik yang loyal karena telah beroperasi selama puluhan tahun. Oleh karenanya, mereka perlu tetap dilayani agar bisa menularkan kebiasaan menggunakan transportasi massal kepada warga lainnya.
”Jangan biarkan mereka kebingungan. Perubahan budaya beralih menggunakan angkutan publik tidak bisa tiba-tiba, tetapi harus ditularkan antarwarga,” katanya.
Data Pemkot Bandung menyebutkan, rasio kendaraan pribadi di Kota Bandung mencapai 96,59 persen, sedangkan rasio kendaraan angkutan umum 3,4 persen. Sementara rasio pengguna kendaraan pribadi 81,77 persen dan pengguna umum 18,23 persen. Saat ini, tercatat ada lebih kurang 2,44 juta penduduk Kota Bandung. Rasio itu memperlihatkan banyak yang harus dilakukan demi memanggunkan transportasi massal.
Menjelang malam, bus Damri tanpa penumpang bertolak dari Cibiru. Kemacetan semakin menjerat jalur jalan. Sepeda motor dan mobil pribadi terus menyesaki jalanan. Angkutan umum kosong tanpa penumpang masih berseliweran. Kali ini, pedagang kaki lima memakan badan jalan membuat suasana kian semrawut.
Di bagian kaca belakang bus ditempel stiker bertuliskan ”Ayo naik bus, biar enggak bikin macet”. Pesan itu bertolak belakang dengan pemberhentian delapan rute Damri di Bandung Raya. Kebijakan yang ditempuh untuk menekan kerugian usaha itu turut merugikan banyak pihak yang kehilangan manfaatnya.
Baca juga : Menhub: Sistem Daring Tiket Bus Damri Perlu Didukung