Susilo, Merekatkan Reog Cemandi di Hati Generasi Masa Kini
”Saya sadar sudah tak lagi muda. Oleh karena itu, saya menyiapkan anak-anak muda ini untuk mengisi setiap kegiatan yang berkaitan dengan Reog Cemandi, termasuk memberikan informasi bagi yang membutuhkan,” ujar Susilo.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Eksistensi seni tradisi, seperti Reog Cemandi, semakin teruji di tengah pandemi yang tak kunjung usai. Namun, bagi Susilo (68), kecintaannya kepada seni tradisi tetap terpatri demi kelangsungan budaya warisan tersebut. Dia pun terus bersemangat merekatkan Reog Cemandi di hati generasi masa kini.
Dijumpai di rumahnya di Desa Cemandi, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (20/8/2021), Susilo tak sedang sendiri. Dia sengaja menghadirkan sejumlah anak muda untuk menyambut para tamu yang bertandang pada hari itu. Tujuannya, melatih generasi masa kini bertemu orang-orang yang ingin menggali informasi tentang Reog Cemandi.
”Saya sadar, sudah tak lagi muda. Oleh karena itulah, saya menyiapkan anak-anak muda ini untuk mengisi setiap kegiatan yang berkaitan dengan Reog Cemandi, termasuk memberikan informasi bagi yang membutuhkan,” ujar Susilo.
Susilo merupakan pemilik Sanggar Taruna Budaya yang mengajarkan tari tradisional Reog Cemandi. Rumahnya tak pernah sepi dari orang-orang yang berlatih menari dan bermain musik. Pesertanya dari usia sekolah dasar (SD), remaja, hingga lansia sebayanya. Tak ada batasan usia untuk menari dan bermusik.
Kegiatan latihan Reog Cemandi terhenti sejak pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Hal itu dilakukan demi mencegah kerumunan yang berpotensi menularkan virus SARS-Cov-2 semata. Meski demikian, Susilo optimistis anak didiknya tetap terampil menari dan bermain musik karena menguasai teknik dasar.
Sejak berkecimpung penuh pada Reog Cemandi tahun 1980-an, Susilo yang mengawali kiprahnya sebagai penabuh kendang ini telah melahirkan banyak penari. Namun, masih sedikit muridnya yang mengikuti jejak mendirikan sanggar tari sebagai kawah candradimuka bagi upaya pelestarian kesenian asli Kota Delta, julukan Sidoarjo, ini.
Usir penjajah
Reog Cemandi dikenal sebagai kesenian tradisional masyarakat pesisir pantai utara Jatim, tepatnya di Kabupaten Sidoarjo. Dinamakan Reog Cemandi karena seni ini lahir dan tumbuh di Desa Cemandi. Menurut para sesepuh desa, reog ini berkembang sejak 1922.
”Saat itu, warga menggunakannya untuk mengusir penjajah Belanda agar tak mengusik Desa Cemandi. Seiring berjalannya waktu, peran Reog Cemandi justru semakin signifikan,” ujar Susilo.
Reog Cemandi dipentaskan pada acara bersih desa dan perayaan menyambut datangnya tanggal 1 Muharam pada penanggalan Islam atau bulan Suro pada penanggalan Jawa. Masyarakat juga menghadirkan pertunjukan reog pada acara hajatan, seperti pernikahan, sunatan, dan ruwatan.
Fungsi Reog Cemandi pun berkembang seiring perannya yang semakin signifikan dalam membangun peradaban masyarakat. Selain sebagai penolak bala atau malapetaka yang akan mengganggu kehidupan masyarakat, reog juga menjadi sarana edukasi bagi generasi masa kini dalam mengenal budaya nenek moyangnya.
Lebih jauh lagi, reog mampu menjadi perekat hubungan masyarakat karena keberadaannya yang tak mengenal sekat. Dari anak-anak hingga lansia, semua bisa menonton pementasan tari Reog Cemandi, tanpa syarat. Berjoget dan tertawa merupakan tujuan pada akhir cerita.
Susilo mengatakan, sebagai seni pertunjukan, Reog Cemandi menawarkan keunikan gerak tari dengan instrumen dua topeng kayu berwarna merah dan putih. Topeng warna merah merupakan banongan lanang (lelaki) melambangkan api dengan sifat pemarah. Topeng putih merupakan banongan wadon (wanita) melambangkan kesucian.
Dibandingkan dengan Reog Ponorogo, tari Reog Cemandi lebih sederhana. Rangkaian tari ini hanya dibuka dengan menyanyikan syair lagu dalam bahasa Jawa. Setelah itu, para penari bergerak sesuai urutan peran. Waktu yang diperlukan hanya sekitar 15 menit.
Pada acara tertentu, tari kreasi, seperti gerakan pendekar silat, kerap ditambahkan untuk memperpanjang durasi pementasan. Musik pengiring tarian merupakan khas jawa timuran. Namun, musik ini sangat sederhana karena hanya menampilkan dua alat, yakni kendang dan angklung.
Suara tabuhan kendang biasanya lebih ditonjolkan dibandingkan alunan angklung, untuk mengimbangi gerakan tari yang rancak. Kreasi musik lain bisa ditambahkan asal tak merusak pakem. Menurut Susilo, daya kreasi seni tak boleh dibatasi, sepanjang tak bertentangan, apalagi menyimpang dari pakem.
Dia menjaga ketat pakem Reog Cemandi karena pementasan tarian ini memiliki unsur pendidikan karakter yang kuat. Salah satunya, ajaran untuk meminta izin dan restu setiap kali hendak pentas agar berjalan tanpa gangguan. Biasanya dilakukan dengan merapal mantra atau doa.
”Ibaratnya kulonuwun (mengucap salam) pada orang-orang di sekitar, termasuk yang tidak kasatmata. Di mana pun tarian dipentaskan, mintalah izin terlebih dahulu kepada tuan rumah,” ucap Susilo.
Budaya Jawa memang lekat dengan keseharian Susilo. Contoh kecil, dia tak pernah menolak tamu yang ingin belajar tentang Reog Cemandi. Sebelum masa pandemi, rumahnya jadi jujugan pelajar dan mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) atau mengerjakan skripsi tentang seni tradisi Reog Cemandi.
Susilo mengakui kecintaannya pada seni tradisi belum mampu menghidupi keluarganya. Oleh karena itulah, dia harus bekerja mencari nafkah dengan menjadi anggota satuan pengamanan di sebuah kompleks perumahan, setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai karyawan swasta.
Selain menyediakan tempat belajar tentang reog, rumah Susilo yang berlokasi di tepi jalan desa terbuka untuk latihan musik patrol yang belakangan ini banyak disukai anak-anak muda. Bahkan, hal itu pun dia jadikan sarana menarik anak-anak muda belajar reog. Beragam jalan dia tempuh demi melekatkan Reog Cemandi di hati generasi masa kini.
Susilo merupakan generasi kelima pelestari Reog Cemandi yang mewarisi topeng banongan lanang dan banongan wadon. Setiap generasi pelestari ini tidak memiliki pertalian garis keturunan. Mereka mendedikasikan diri karena kecintaan kepada seni dan kepeduliannya kepada kelestarian budaya warisan leluhur.
Kini, suami Nur Ammah (60) tersebut juga tak mematok generasi penerusnya. Dia hanya menyiapkan anak didiknya dengan kemampuan terbaik agar kelak mampu menjaga Reog Cemandi melintasi lorong waktu. Mematrikan kesenian asli Sidoarjo ini kepada generasi berikutnya agar mereka tak tercerabut dari akar budayanya.
Susilo menyadari tantangan ke depan tidak semakin ringan. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah daerah tak membiarkan para seniman berjuang sendiri mempertahankan seni tradisi karena terbatasnya kemampuan mereka.