Lonjakan angka penyebaran Covid-19 terjadi di mana-mana. Kegiatan dibatasi, termasuk kegiatan anak-anak. Ancaman musibah generasi pun kian nyata dan perlu ditanggapi dengan upaya masif dari semua pihak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Musibah generasi atau hilangnya niat dan semangat belajar anak menjadi ancaman nyata saat pandemi. Apalagi untuk anak adat yang terbentur berbagai kendala. Perlu ada kolaborasi lintas lembaga dan instansi untuk mengantisipasi hal tersebut.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring dengan tema ”Pemenuhan Hak Anak Adat di Masa Pandemi” yang digelar melalui kolaborasi Lembaga Perlindungan Tunas Bangsa (LPTB) dan Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalimantan, Rabu (21/7/2021). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Anak Nasional 2021.
Hadir sebagai pembicara, Widyaprada Ahli Utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar; Direktur VIVAT Internasional New York P Paul Rahmat, SVD; Direktur LPTB Sitti Hikmawaty; praktisi kesehatan Dhihram Tenrisau; dan pembicara kunci Asisten Departemen Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Elvi Hendrani.
Menurut Harris Iskandar, istilah musibah generasi digunakan untuk menggambarkan hilangnya niat atau keinginan belajar anak karena situasi pandemi yang memaksa mereka tidak ke sekolah dan bertahan di rumah dengan belajar secara daring. Hal itu disebut juga bencana demografi.
”Anak menjadi kehilangan gereget dalam belajar, apalagi anak adat. Mereka seperti jatuh, lalu tertimpa tangga dalam situasi ini,” ungkap Harris.
Harris menjelaskan, anak adat sudah memiliki banyak kendala mulai dari akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya di mana pemerintah sedang berupaya maksimal memenuhi itu jauh sebelum pandemi berlangsung. Setelah pandemi melanda, masalah-masalah tersebut menjadi semakin sulit.
”Ini terjadi di seluruh dunia. Apalagi kita (Indonesia) belum memiliki pengalaman lebih dalam pembelajaran daring atau jarak jauh begini, teknologi juga jadi kendala untuk mereka (anak adat),” ungkap Harris.
Anak menjadi kehilangan gereget dalam belajar, apalagi anak adat. Mereka seperti jatuh, lalu tertimpa tangga dalam situasi ini. (Harris Iskandar)
Harris menambahkan, anak adat merupakan potensi paling kuat yang dimiliki bangsa Indonesia karena keberagaman suku bangsa, juga bahasa. Banyak negara besar, menurut Harris, memiliki teknologi dan infrastruktur yang luar biasa, tetapi tidak bisa mengalahkan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan hal itu tecermin dalam Bhinneka Tunggal Ika.
”Salah satu upaya kami adalah dengan memfasilitasi lembaga mana pun untuk membentuk dan mengembangkan sekolah adat,” kata Harris.
Hal serupa diungkapkan Sitti Hikmawatty. Menurut dia, musibah generasi menjadi ancaman nyata yang harus dihadapi dan diantisipasi sejak dini agar tidak terjadi. Dalam bencana generasi, anak adat bakal menjadi yang paling buruk keadaannya pascapandemi karena beragam faktor.
Sitti mengungkapkan, anak-anak adat sebelum pandemi nyaris tidak terpenuhi hak-haknya dan terbentur berbagai masalah, seperti diskriminasi, konflik agrarian, kekurangan sarana kesehatan, dan penindasan. Pandemi memperburuk kesehatan, juga menimbulkan ancaman-ancaman lainnya.
”Sebelum pandemi saja sudah ada ancaman stunting yang memerlukan upaya ekstra. Belum selesai itu kita semua dihantam pandemi,” kata Siti.
Sitti menambahkan, perlu ada kolaborasi dari semua pihak untuk menciptakan pendekatan khusus guna menghindari musibah generasi. ”Mari mulai memperbaiki dan memenuhi data soal masyarakat hukum adat dan memberikan perlindungan, juga pengakuan terhadap mereka serta memenuhi hak-hak mereka,” jelasnya.
Elvi Hendrani menggambarkan anak adat sebagai kelompok minoritas yang memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus dari semua pihak. Untuk memenuhi hak-hak mereka, menurut Elvi, pemerintah terus berupaya untuk menciptakan langkah-langkah terpadu dan berkesinambungan dalam perlindungan anak bagi kelompok minoritas.
”Menguatkan sistem perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban dan kelompok rentan, juga mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi dalam pelaksanaannya,” kata Elvi.