Hilangkan Budaya Kekerasan pada Anak di Masa Pandemi
Pada masa pandemi, potensi kekerasan terhadap anak kian terbuka, termasuk ancaman tidak terpenuhinya hak anak adat. Budaya kekerasan masih merajalela, perlu ada kerangka hukum dan edukasi untuk menghentikannya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak, khususnya anak adat, di Indonesia meningkat selama pandemi Covid-19. Salah satu faktornya adalah dipeliharanya budaya kekerasan dari orangtua terhadap anaknya. Perlu ada kerangka hukum yang bisa menghentikan praktik adat atau budaya kekerasan yang melanggar hak asasi manusia.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring dengan tema ”Pemenuhan Hak Anak Adat di Masa Pandemi” yang digelar melalui kolaborasi Lembaga Perlindungan Tunas Bangsa (LPTB) dan Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalimantan pada Rabu (21/7/2021).
Direktur LPTB Sitti Hikmawaty mengungkapkan, kegiatan yang diselenggarakan secara daring itu merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati Hari Anak Nasional 2021. Beberapa narasumber yang hadir sebagai pembicara, antara lain, adalah praktisi hukum masyarakat adat, Erwin Syahruddin; Direktur Vivat Indonesia Genobeba Dc Amaral; Ketua Yayasan Bahtera Hadi Utamo; Kepala Bagian Penerangan Satuan Pensat Biro Penerangan Masyarakat Polri Komisaris Besar (Kombes) Hendra Rochmawan; dan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi.
Dalam diskusi itu, data dari Humas Polri mengungkapkan, terjadi lonjakan kasus kekerasan terhadap anak pada masa pandemi. Hendra mengambil beberapa sampel dalam lonjakan kasus di Kalimantan Selatan pada 2019. Tahun itu jumlah kasus kekerasan anak totalnya 117 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 114 orang. Kemudian pada 2020 naik menjadi 132 kasus dengan total 134 tersangka. Tahun 2021 sampai bulan Juni total kasus mencapai 13 kasus dengan jumlah tersangka empat orang.
Di Sumatera Barat, pada 2020 terdapat 362 kasus kekerasan anak. Tahun ini hingga bulan Juni terdapat 221 kasus. Adapun di Kalimantan Tengah, pada 2020 terdapat 32 kasus dengan 32 tersangka dan meningkat tahun 2021 dengan jumlah 64 kasus hingga bulan Juni.
”Tahun ini, kan, belum selesai. jadi memang selalu ada kemungkinan meningkat,” ujar Hendra Rochmawan di sela-sela diskusi.
Hendra mengungkapkan, upaya penanganan kekerasan terhadap anak selalu menjadi atensi pimpinan kepolisian di daerah. Namun, ia merekomendasikan agar pemerintah bersama lembaga lainnya memikirkan nasib anak pascapenanganan hukum.
”Kami sampai selesai proses hukumnya, selanjutnya bagaimana untuk memastikan si anak tidak berdampak atau memiliki implikasi buruk terhadap tumbuh kembangnya,” kata Hendra.
Direktur Vivat Indonesia Genobeba Dc Amaral mengungkapkan, dalam studi kasus yang dilakukan lembaganya di Nusa Tenggara Timur, juga beberapa daerah lain di Indonesia, masih ada budaya kekerasan yang diturunkan dari orangtua kepada anak. Kekerasan jadi hal biasa yang dilakukan dan dianggap merupakan cara mendidik anak yang benar.
”Padahal, dampaknya buruk sekali, mulai dari dampak kesehatan memburuk, penurunan kepercayaan diri, dan hambatan tumbuh kembang anak,” kata Genobeba.
Kekerasan terhadap anak, ucap Genobeba, merupakan budaya dan bahkan jadi bagian dari adat itu sendiri. Nilai-nilai ini yang perlu diubah dalam tataran aturan adat dan istiadat.
Direktur Yayasan Bahtera Hadi Utomo mengungkapkan, terdapat empat bentuk kekerasan terhadap anak, yakni kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Semuanya akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak dan berdampak pada perkembangan generasi penerus bangsa.
”Ada tiga bentuk hak yang harus dinikmati oleh anak-anak, yakni hak menikmati agama, bahasa, dan budaya. Itu semua harus diberikan dan sudah ada banyak kebijakan ataupun aturan hukum yang berlaku untuk itu,” ujar Hadi.
Kami sampai selesai proses hukumnya, selanjutnya bagaimana untuk memastikan si anak tidak berdampak atau memiliki implikasi buruk terhadap tumbuh kembangnya.
Melihat hal itu, Rukka menjelaskan, pendidikan menjadi satu faktor penting dalam pemenuhan hak anak, khususnya anak adat. Pendidikan di Indonesia ia nilai masih belum bisa membuat anak mengenal identitasnya sendiri dan cenderung ingin menjadi orang lain.
”Saat ini sudah banyak gerakan anak muda pulang ke kampung untuk membangun kampungnya dengan cara mengenal lebih jauh identitas dirinya, geliat seperti ini yang perlu didukung,” kata Rukka.
Selain pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, kata Rukka, perlu ada kerangka hukum yang bisa menghentikan praktik adat yang melanggar hak asasi manusia (HAM), khususnya anak adat.
Anak adat, lanjut Rukka, menjadi yang paling terdampak masa depannya ketika hak-hak adat masyarakat adat tidak terpenuhi, salah satunya akses ke wilayah adat. Hal itu bisa menghambat pengenalan identitas anak adat sehingga bisa berujung pada salah satu bentuk kekerasan, yakni penelantaran, diskriminasi, dan lain sebagainya.
”Indonesia adalah rumah bagi semua suku bangsa, jangan sampai jargon Bhineka Tunggal Ika menjadi tameng untuk menghindari kemampuan untuk saling mengenal suku satu sama lain,” kata Rukka.