Kopi Arabika Organik di Ngada Terancam Alih Fungsi Lahan
Budidaya kopi arabika di Ngada, NTT terancam alih fungsi lahan. Sebagian petani tertarik menanam porang hingga sayur yang disebut memberi keuntungan jauh lebih besar.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
BAJAWA, KOMPAS — Alih fungsi lahan perkebunan kopi arabika organik di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, mencapai 411 hektar dalam tiga tahun terakhir. Meski telah dikenal di penikmat kopi dunia, sebagian petani menilai keuntungan kopi arabika tidak sebanding dengan tanaman holtikultura
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ngada Ali Wali dihubungi di Bajawa, Selasa (13/7/2021), mengatakan, produksi kopi arabika organik tahun ini turun sekitar 50 persen atau 1.575 ton kopi beras. Tahun lalu, produksinya mencapai 3.151 ton kopi beras.
Salah satu penyebabnya adalah dampak badai siklon tropis Seroja, 3-5 April 2021. Badai membuat buah kopi yang masih sebesar biji jagung, jatuh berhamburan di tanah. Ini diperburuk dengan tanaman pelindung seperti pohon dadap dan lamtoro yang tumbang menimpa tanaman kopi.
”Dari total luas lahan kopi mencapai 5.780 hektar, kini menyusut menjadi 5.369 hektar dalam tiga tahun terakhir. Ini dilakukan petani sendiri. Pemicunya adalah minimnya produksi kopi hingga pengaruh dengan informasi tidak benar dari luar,” kata Ali.
Ali mencontohkan isu harga tanaman porong mencapai Rp 500.000 per kg hingga keuntungan ratusan juta dari panen sayur dan jahe berulang kali dalam setahun. Semuanya disebut kontras dengan kopi arabika. Kopi hanya dipanen satu kali per tahun. Setiap tahun, keuntungannya Rp 10 juta–Rp 50 juta per hektar.
Kondisi itu jelas mengancam produksi kopi arabika di Ngada. Setelah mencapai 3.150 ton kopi beras tahun 2020 atau terbesar dalam tiga tahun terakhir, penyusutan produksi kini rentan terjadi.
Lahan kopi arabika organik itu tersebar di Kecamatan Bajawa, Golewa, dan Kecamatan Golewa Barat dan hasil panennya dikirim hingga Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan Belanda sejak 2013. Kebanyakan kopi diekspor melalui Surabaya oleh perusahaan yang bekerja sama dengan kelompok unit pengelolaan hasil.
Ia mengatakan, Pemkab Ngada tidak diam atas masalah ini. Upaya menyelamatkan kualitas produksi dilakukan dengan mengganti pohon dadap menjadi lamtoro super sebagai tanaman pelindung kopi.
”Ada dukungan dana APBN untuk perluasan lahan sekitar 200 hektar, yang sedang berlangsung di lahan perkebunan petani. Tanaman hortikultura, jahe, dan porang sedang tren di kalangan petani kopi, itu fakta yang tidak bisa dimungkiri. Akan tetapi, hal ini tidak menggantikan kopi organik arabika Ngada yang sudah lebih dulu tren di tingkat nasional dan internasional,” kata Ali.
Ketua Kelompok Tani ”Nola Wonga” Desa Wawowae Kecamatan Bajawa Feliks Soba mengatakan, produksi kopi tahun 2021 diprediksi hanya 200 ton kopi beras karena berbagai faktor, termasuk akibat badai Seroja. ”Kami petani kopi memperkirakan penurunan produksi 70 persen. Akan tetapi, stok kopi tahun 2020 masih ada di tangan petani karena produksi saat itu meningkat,” kata Feliks.
Pengusaha kopi ini juga menyebutkan, harga jual kopi beras lama (2020), yang sedang berlaku saat ini, Rp 28.000–Rp 40.000 per kg. Sementara kopi beras produksi tahun 2021 dijual Rp 50.000-Rp 80.000 per kg. Kopi untuk ekspor harganya mencapai Rp 150.000–Rp 180.000 per kg.
Sementara itu, harga kopi kulit tandu basah di tangah petani Rp 13.000–Rp 14.000 per kg kulit tandu. Sementara kopi gelondongan merah Rp 5.000–Rp 6.000 per kg.
”Di Ngada ini ada tiga pelaku usaha kopi, sedangkan koperasi yang membeli dan menjual kopi ada lima. Kalau pengusaha dari luar itu ada sekitar 30, dari Manggarai, Ende, Kupang, dan dari luar NTT,” kata Soba.
Pergantian kepala daerah ikut memengaruhi komoditas ini. Sejak 2018-2021, setelah Marianus Sae tidak menjabat lagi sebagai bupati, kondisi kopi arabika organik makin tidak terurus. Kepedulian terhadap petani kopi dan kelompok usaha pengelolaan hasil (UPH) kopi pun menurun.
Ia mengatakan, setiap pergantian kepala daerah selalu ada kebijakan baru terkait budidaya bidang pertanian dan perkebunan. Tahun 2010-2018 Pemda Ngada gencar mempromosikan kopi arabika organik dan kakao organik. Saat itu pemda meyakinkan petani bahwa kakao campur kopi sangat baik dikonsumsi. Masyarakat pun ramai-ramai membudidaya dua jenis komoditas ini.
”Sekarang sedang gencar dengan tanaman jahe merah, dan porang. Warga diajak menanam dua jenis komoditas ini selain tanaman hortikultura. Lalu, kopi dan kakao mau dibawa ke mana,” kata Feliks.