Pos Jaga di Hutan Harapan Dibakar, Aparat Diminta Tegas
Tiga pos penjagaan Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan dibakar dan dua petugas telah disandera. Namun, para pelakunya tak kunjung ditahan aparat.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Seorang warga suku Batin IX melihat vegetasi tua yang ditebangi perambah liar yang membakar kawasan restorasi ekosistem Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari, Jambi, Jumat (27/9/2019). Pekan lalu, 18 warga ditangkap aparat Kepolisian Resor Batanghari terkait pembakaran hutan yang merupakan ruang hidup komunitas suku pedalaman itu.
JAMBI, KOMPAS — Sekelompok warga pendatang membakar dan merusak pos-pos jaga hutan dalam kawasan Restorasi Ekosistem Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Selain itu, mereka menyandera dua petugas. Aksi ini diduga demi memuluskan upaya perambahan liar di kawasan itu.
Para pelaku baru melepas sandera 14 jam kemudian. Namun, aparat keamanan belum menahan para pelakunya hingga Minggu (20/6/2021). ”Belum... belum... (ditahan hingga sekarang),” ujar Ajun Komisaris Besar Heru Ekwanto, Kepala Kepolisian Resor Batanghari, saat dihubungi.
Heru tak dapat menyampaikan alasan belum menahan para pelaku pembakar pos dan penyandera. Sebaliknya, terang Heru, persoalan tersebut akan diteruskan kepada tim mediasi konflik Kabupaten Batanghari.
Saat dihubungi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Batanghari Ajun Komisaris Piet Yardi menyatakan belum bisa menjawab pertanyaan terkait hal itu. Dia beralasan sedang menempuh perjalanan jauh.
Seorang warga suku Batin IX melihat vegetasi tua yang ditebangi perambah liar yang membakar restorasi ekosistem Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari, Jambi, Jumat (27/9/2019). Perambahan hutan di kawasan ini hingga kini masih terjadi.
Manajer Perlindungan Hutan Harapan TP Damanik menceritakan tiga pos dirusak dan dibakar. Dua petugas yang disandera hingga kini masih trauma. ”Kami berharap aparat penegak hukum bertindak tegas menangani persoalan ini,” kata Damanik.
Perambahan liar di kawasan hutan itu, lanjut Damanik, berlangsung terorganisasi. Pemodal mendatangkan warga dari luar daerah ke wilayah itu. Sebagian besar berasal dari Sumatera Utara. Pemodal juga memobilisasi pembukaan hutan untuk ditanami bibit sawit.
Areal yang telah ditanami sawit dijual kepada pendatang dengan harga Rp 25 juta-Rp 30 juta per hektar. ”Keuntungan besar telah mereka raup sehingga para pemodal sering menggerakkan massa melakukan tindakan anarkistis agar perambahan dapat terus berjalan,” katanya.
Ia menceritakan, dua pekan sebelumnya, sejumlah pendatang itu memaksa memasukkan alat berat (grader) ke dalam hutan di Bungku, Kabupaten Batanghari. Alat berat itu, katanya, untuk memperbaiki jalan menuju areal perambahan liar. Hingga saat ini, sudah lebih dari 3.000 hektar hutan dirambah dalam modus jual beli kebun sawit.
Meski telah dilarang petugas, para pendatang tetap memaksa. Upaya dialog melibatkan petugas Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak membuahkan hasil. Alat berat tetap beroperasi membuka akses demi memperluas perambahan dalam hutan negara itu.
Kamis (17/6/2021), massa berjumlah lebih kurang 50 orang kembali mendatangi kamp-kamp jaga hutan, yakni Pos Simpang Macan, Pos Sungai Kandang, dan Pos 51. Seluruh pos dibakar dalam waktu berdekatan pada Kamis malam.
Dua petugas jaga Pos Simpang Macan lantas disandera sejak pukul 16.30 hingga keesokan harinya, pukul 06.30. Para penyandera baru melepaskan dua petugas hutan setelah didatangi aparat Polres Batanghari.
Aparat memberikan peringatan keras kepada para perambah agar meninggalkan areal restorasi ekosistem Hutan Harapan, Kabupaten Batanghari, Jambi, hingga batas waktu 30 September 2019. Aktivitas ilegal membuka lahan dengan cara bakar berakibat rusaknya ekosistem itu.
Tim Polres Batanghari yang dipimpin Kepala Bagian Operasional Komisaris Abdul Roni tiba di lokasi penyanderaan sekitar pukul 03.00. Para penyandera menuntut uang Rp 450 juta. Baru sekitar pukul 05.30, dua petugas jaga akhirnya dilepaskan tanpa adanya pembayaran dalam jumlah apa pun. ”Tuntutan uang tidak dapat dipenuhi,” kata Abdul.
Tampubolon, warga yang turut dalam aksi, menyatakan, pembakaran dan penyanderaan dilakukan sebagai bentuk protes terhadap perusahaan pemangku izin restorasi ekosistem. Masuknya alat berat ke dalam wilayah itu untuk memperbaiki jalan yang rusak.
”Kondisi jalan sudah hancur sepanjang 10 kilometer. Kami bermaksud memperbaiki tetapi dilarang petugas,” ujarnya.Dalam prosesnya, lanjut Tampubolon, ada petugas yang bersikap kasar terhadap warga. Sikap itu yang memicu kemarahan warga.
Hutan Harapan dengan luas sekitar 98.000 hektar merupakan areal hutan pertama yang ditetapkan pemerintah sebagai Restorasi Ekosistem. Kawasan itu merupakan satu-satunya hutan hujan dataran rendah tersisa yang kondisinya masih terbilang baik.
Kawasan ini dihuni lebih kurang 200 keluarga suku Batin Sembilan. Selain itu, kawasan ini merupakan habitat alami bagi 307 spesies burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil, dan 917 spesies tanaman endemik.
Sebanyak 26 spesies di antaranya berstatus langka dan kritis, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, tapir, ungko, anjing hutan, trenggiling, dan rangkong, juga menempati hutan itu. Di samping itu, hidup 1.300 spesies tanaman, yang sebagian besar bermanfaat sebagai bahan makanan dan obat bagi komunitas adat setempat.