Desa Cibuntu dari area tambang kini jadi salah satu yang terbaik menawarkan destinasi wisata di tingkat Asia Tenggara. Pelajaran penting bagi desa lain yang mau menata masa depan menjadi lebih indah.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Desa Cibuntu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dulunya sepi. Hanya truk hilir mudik mengangkut pasir, meninggalkan lubang menganga. Namun, pemerintah desa dan warga memecah kebuntuan itu lewat pariwisata. Penghargaan tingkat nasional hingga internasional pun datang.
Apresiasi kembali disematkan saat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dan artis Cinta Laura berkunjung ke Cibuntu, Kecamatan Pasawahan, Senin (31/5/2021). Selama hampir tiga jam, keduanya berkeliling desa sembari membuat konten video layaknya youtuber. Selain memandang kamera, mereka juga harus membaca skrip.
Kebun karet, hijau sawah, hingga udara sejuk menyambut Sandi beserta rombongan. Jalan mulus yang baru diaspal melancarkan perjalanan ke desa berjarak sekitar 16 kilometer dari pusat pemerintahan Kuningan tersebut. Tarian adat serta tabuhan gamelan mengiringi kedatangan mereka.
Penghentian awal Sandi dan Cinta adalah Situs Bujal Dayeuh yang terletak di ketinggian 578 meter di atas permukaan laut. Situs itu berisi peti kubur batu, kapak genggam, serta gelang dan kelenting. Benda dengan struktur batu tersebut diperkirakan berasal dari kebudayaan megalitikum, sekitar 3.500 sebelum tarikh Masehi.
Setelah melihat masa lampau, keduanya mengecek homestay atau rumah singgah Teratai 3 milik Bu Narjo. Di dinding rumahnya, tertempel spanduk kecil bertuliskan ASEAN Homestay Standard 2017-2019. Homestay inilah yang membawa Cibuntu meraih peringkat kelima terbaik di tingkat Asia Tenggara pada 2016 di bidang homestay.
Sandi dan Cinta lalu menuju ke kolam renang mengendarai mobil jip. Mereka selanjutnya meresmikan Pusat Ekraf Cibuntu yang menyajikan produk lokal, mulai dari gerabah, angklung, hingga kuliner khas. Ada jasre (jahe serei) yang menghangatkan badan, ciled (aci boled) yang renyah, serta pisang rebus. Semuanya dipanen dari lahan Cibuntu.
Keduanya kemudian menikmati terapi ikan. Mereka membiarkan kakinya digigit ikan-ikan kecil. ”Ikan-ikan yang ke gue ini nyari proyek, sama kayak yang ke Pak Bupati (Acep Purnama). Kalau ke Cinta itu pengin selfie,” ucap Sandi disambut tawa pejabat dan warga yang hadir.
Penjelajahan Sandi berakhir di area kemah atau camping ground yang beralas rumput dan sebagian tempatnya dikelilingi bukit. Di sekitarnya terdapat mushala, tempat wudu, dan kamar mandi dengan toilet duduk. Tidak ada sampah dan kotoran. Sabun dan wastafel portabel tersedia. ”Luar biasa pengalaman ini,” ucapnya.
Belasan tahun lalu, area sekitar 2 hektar itu merupakan bekas galian pasir. Hanya truk dan alat berat yang hilir mudik, bukan wisatawan. Warga mengangkut pasir, meninggalkan lubang menganga lebih dari 20 meter, dan mengeringkan sumber air. Lahan yang tadinya hijau berubah gersang.
”Saya juga ikut ngerusak karena dulu bawa truk,” ucap Tirtayasa (52), warga setempat. Dari galian C itu, lulusan sekolah menengah atas tersebut meraup sekitar Rp 1,5 juta per bulan pada 2009. Warga lain ikut membuka warung hingga bekerja sebagai pengangkut pasir yang berisiko tinggi.
Akan tetapi, kisah galian pasir itu sudah usai. Kuwu (Kades) Cibuntu Awam menghentikan kegiatan eksploitasi itu dan mengajak masyarakat beralih ke sektor pariwisata. Beruntung, tokoh masyarakat, seperti H Jojo, rela mengeluarkan uang untuk membeli tanah galian C milik warga. Saking dalamnya, bekas galian harus diuruk hingga enam bulan.
”Respons masyarakat dulu mengikuti saja. Kami tidak bisa memaksakan untuk galian C. Saya kembali bawa truk pasir di Cirebon,” kenang Tirta, sapaannya. Ia juga sempat ke Jakarta untuk bekerja di bidang kontraktor.
Hingga 2015, Tirta pulang kampung dan terkesiap. Tanah menghijau, jalanan mulus, hingga puluhan rumah warga disulap jadi homestay. Kandang domba yang tadinya berdampingan dengan rumah warga kini dipusatkan di area khusus. Jauh dari permukiman, tidak ada lagi bau mengganggu.
Jumlahnya pun terus bertambah hingga mencapai 1.300-an ekor, lebih banyak dibandingkan total penduduk sekitar 1.000 jiwa. Cibuntu pun termasuk sentra domba. ”Ini salah satu ikon wisata di Cibuntu kalau tur kampung,” kata Tirta yang kini menjadi Ketua Kelompok Ternak Silutung Indah.
Awam mengatakan, pengembangan desa wisata di Cibuntu dimulai 2011 melalui survei kelayakan destinasi wisata oleh STP Trisakti. Indikatornya, antara lain, keramahan penduduk dan keamanan. ”Dulu di sini banyak yang minum (minuman keras). Sekarang tidak ada lagi. Motor diparkir di luar rumah, insya Allah aman,” ungkapnya.
Dilatih
Warga dan aparat desa dilatih menjadi pemandu wisata dan tata cara melayani wisatawan. Awam juga memproteksi tanah warga agar tidak dijual ke orang luar desa. Harapannya, agar warga menjadi tuan rumah di tanah sendiri, bukan penonton.
Berbagai upaya itu meningkatkan jumlah wisatawan dari sebelumnya hanya 5.772 orang pada 2014 menjadi 28.964 orang pada 2019. Mahasiswa dari sejumlah universitas, media nasional, hingga Kedutaan Besar Amerika Serikat turut berkunjung ke daerah kaki Gunung Ciremai tersebut.
Cibuntu pun diganjar aneka penghargaan, mulai dari peringkat keempat Indonesia Suistainable Tourism Award 2019 kategori Tata Kelola Destinasi, Desa Wisata ke-2 di Indonesia untuk Community Based Tourism pada 2017, hingga peringkat kelima dalam ASEAN Homestay Standard pada 2016.
Di tengah gemerlap pencapaian itu, Jamal (42), penyadap karet di Cibuntu, berharap merasakan tetesan keuntungan pariwisata. Memang, ada warung dan tempat duduk di tengah kebun karet yang kerap didatangi pengunjung. Namun, Jamal dan belasan penyadap lainnya masih merana.
Bagaimana tidak, harga karet yang beberapa tahun lalu mencapai Rp 12.500 per kilogram kini Rp 7.500 per kg. Itu pun harus dibagi tiga. Dua untuk perusahaan dan satu untuk penyadap. Dengan harga Rp 7.500, Jamal hanya mendapat Rp 2.500 per kg. ”Dalam sehari, saya bisa mengumpulkan paling banyak 20 kg karet atau Rp 50.000,” kata bapak tiga anak itu.
Menurut Jamal, penyadap sempat kecipratan berkah wisata saat diminta membuat jalur sepeda motor cross yang melintasi kebun karet. Sayang, aktivitas itu belum berlanjut. ”Kalau mau, Pak Menteri (Sandi) ke sini. Datang, dengar keluhan penyadap karet,” katanya.
Pariwisata mungkin belum menyejahterakan semua warga. Namun, setidaknya, melalui desa wisata, Cibuntu berubah. ”Kenapa desa wisata? Karena ini adalah kebijakan berkeadilan. Begitu banyak masyarakat terlibat di sini. Selama ini, pemerintah pusat hanya fokus di program-program yang belum tentu menyentuh masyarakat di lapisan terbawah,” kata Sandi.