Unjuk Rasa di Bandung, Mahasiswa Papua Tolak Otsus dan Konflik Bersenjata
Mahasiswa Papua dan Papua Barat di Kota Bandung berunjuk rasa menolak otonomi khusus di daerah asal mereka. Mereka mendesak agar konflik bersenjata di sana yang telah menalan banyak korban segera dihentikan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Massa aksi Solidaritas Rakyat Papua melintas di Jalan Braga seusai berunjuk rasa di depan Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/5/2021). Demonstrasi yang berlangsung selama dua jam itu berjalan tertib.
BANDUNG, KOMPAS — Sejumlah mahasiswa Papua dan Papua Barat di Kota Bandung, Jawa Barat, berunjuk rasa menolak otonomi khusus di daerah asal mereka dilanjutkan. Mereka juga mendesak agar konflik bersenjata di sana segera dihentikan karena telah menelan banyak korban jiwa.
Unjuk rasa lebih kurang 30 mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Papua itu digelar di depan Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (21/5/2021). Demonstrasi berlangsung sekitar dua jam dan berjalan tertib.
Pengunjuk rasa membawa spanduk dan poster bertuliskan sejumlah tuntutan, di antaranya menolak otonomi khusus dan konflik bersenjata di Papua dan Papua Barat. Mereka juga mendesak pemerintah menghentikan pemblokiran internet di sana.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Papua membawa poster yang bertuliskan sejumlah tuntutan saat berunjuk rasa di depan Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/5/2021).
Koordinator aksi tersebut, Pilamo, meminta pemerintah tidak menutup mata terhadap kondisi masyarakat Papua. Ia menyebutkan, saat ini di sejumlah wilayah, seperti Kabupaten Puncak, Intan Jaya, dan Nduga, terjadi represi militer.
”Banyak pengungsian warga yang belum dievakuasi. Kami menuntut untuk segera menghentikan operasi militer,” ujarnya.
Pilamo mengatakan, pihaknya juga menuntut agar otonomi khusus tidak dilanjutkan karena gagal memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat Papua dan Papua Barat.
”Rakyat Papua adalah pemilik tanah. Namun, mereka masih telantar di hutan dan di pinggiran kota,” ucapnya.
Pengunjuk rasa mendesak agar konflik bersenjata di Papua dan Papua Barat segera dihentikan karena telah menelan banyak korban jiwa.
Pilamo menilai otonomi khusus merupakan kebijakan yang dipaksakan. Sebab, sejak Juli 2020, ada petisi rakyat Papua yang menyatakan sikap politik menolak otonomi khusus dilanjutkan.
”Hingga Mei 2021, 110 organisasi rakyat Papua telah menyatakan menolak keberlanjutan paket otonomi khusus. Kebijakan ini dinilai gagal memihak masyarakat Papua,” katanya.
Dalam unjuk rasa itu, sejumlah peserta aksi berorasi secara bergantian. Puluhan polisi dan personel satuan polisi pamong praja berjaga di sekitar lokasi demonstrasi.
Perwakilan pengunjuk rasa dari Solidaritas Rakyat Papua berorasi di depan Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/5/2021).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah terus mengikuti perkembangan situasi keamanan di Papua, terutama pasca-penetapan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai kelompok teroris yang diikuti dengan operasi penegakan hukum. Pengejaran terhadap KKB akan dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan korban dari warga sipil.
”Aparat tidak boleh berbuat sewenang-wenang, tetapi harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Penegakan hukumnya, garda terdepan polisi, kemudian ada penebalan dari TNI,” katanya (Kompas, 20/5/2021).
Konflik di Papua perlu segera diatasi karena terus merenggut korban jiwa. Terbaru, tim gabungan TNI-Polri dalam Satuan Tugas Nemangkawi terlibat kontak tembak dengan KKB pimpinan Lekagak Telenggen di Kampung Makki, Kabupaten Puncak, Papua, Jumat. Satu anggota Lekagak tewas dalam insiden ini.