Bus AKAP Dipakai untuk Selundupkan Burung Kicau Ilegal dari Sumatera
Aktivitas perdagangan burung ilegal menggunakan bus antarkota antarprovinsi masih terus terjadi. Ratusan burung kicau berbagai jenis disita di Lampung. Burung-burung itu akan dikirim ke Bandung, Jawa Barat.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung bersama aparat kepolisian menggagalkan pengiriman 273 burung kicau ilegal asal Sumatera Selatan. Berbagai jenis burung itu dikirim menggunakan bus antarkota antarprovinsi.
Ratusan ekor burung itu disita petugas gabungan pada Sabtu (24/4/2021) pukul 23.30. Saat itu, petugas melakukan pemeriksaan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang dicurigai di pintu keluar Tol Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, Lampung.
Saat memeriksa, petugas menemukan berbagai jenis burung kicau yang disimpan di tujuh keranjang dan lima kardus. Untuk mengelabui petugas, burung ilegal itu disembunyikan di antara barang bawaan penumpang di dalam bagasi bus.
Berbagai jenis burung yang ditemukan ialah burung ciblek sebanyak 180 ekor, kolibri 75 ekor, muncang 10 ekor, lima ekor srigunting, dan sepah raja sebanyak tiga ekor. Sebagian burung ditemukan dalam kondisi lemas dan butuh perawatan.
”Kasus ini sedang dalam penyelidikan lebih lanjut. Sementara untuk satwa diserahterimakan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam untuk pelepasliaran ke habitat asal,” kata Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung M Jumadh di Bandar Lampung, Minggu (25/4/2021).
Saat ini belum diketahui pemilik burung liar tersebut. Namun, sopir yang mengangkut satwa liar itu telah dimintai keterangan dan dicatat identitasnya. Kendati begitu, petugas tidak menahan bus karena membawa penumpang.
Berdasarkan penyelidikan sementara oleh petugas Balai Karantina Pertanian Lampung dan aparat Kepolisian Sektor Penengahan, ratusan ekor burung liar itu berasal dari Simpang Meranjat dan Kayu Agung, Sumatera Selatan. Burung itu menurut rencana akan dikirim ke Bandung, Jawa Barat.
Jumadh menjelaskan, pengiriman burung secara ilegal itu berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan. Pelaku bisa terancam hukuman pidana paling lama dua tahun penjara dan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
Pengiriman burung itu ilegal karena tidak dilengkapi dengan dokumen persyaratan dari daerah asal, yaitu surat keterangan kesehatan hewan dan surat angkut satwa dalam negeri (SATDN) dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Selain itu, pemilik juga tidak melaporkan pengiriman satwa liar itu ke Balai Karantina untuk pemeriksaan.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Lampung BKSDA Bengkulu Hifzon Zawahiri menuturkan, pengiriman menggunakan bus AKAP memang menjadi modus yang paling sering dilakukan pelaku. Saat mengirimkan paket berisi burung ilegal, pemilik tidak menyertakan identitas dan alamat pengirim ataupun penerima. Para sopir bus biasanya hanya dibayar untuk mengantarkan paket tersebut ke suatu tempat atau tempat pemberhentian bus.
Burung-burung liar itu biasanya berasal dari hutan di wilayah Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Riau. Setelah diburu, burung dikirim dengan cara dititipkan melalui bus untuk dijual ke pasar burung.
Meski tidak masuk kategori satwa dilindungi, peredaran satwa liar tidak bisa dilakukan sembarangan. Pihak yang hendak melakukan jual beli satwa harus memiliki surat angkut yang dikeluarkan departemen kehutanan wilayah setempat. Selain itu, tidak semua pihak mendapat izin usaha untuk perdagangan satwa liar.
Berdasarkan data FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds, dalam setahun, sekitar 1 juta burung liar di Sumatera lenyap akibat aktivitas perburuan dan perdagangan ilegal. Sepanjang 2019-2020 sedikitnya sudah ada 67.000 burung liar yang hendak diperdagangakan secara ilegal. Aktivitas perdagangan satwa liar ilegal itu membuat populasi burung kicau di alam dalam kondisi kritis.