Tiada Habis Nestapa Petani Didera Impor
Hidup menjadi petani di negeri agraris tidak sepenuhnya terjamin. Pontang-panting berubah profesi dilakukan tapi nasibnya tetap saja muram.
Kebijakan impor gula, beras, dan garam dirasakan bak hantaman bertubi-tubi bagi petani. Pelaku utama produksi pangan dalam negeri ini hanya bisa pasrah dan mencoba bertahan.
Jumat (9/4/2021) pagi, Pabrik Gula Sindanglaut, Cirebon, Jawa Barat, lengang. Tak ada truk hilir mudik. Hanya beberapa orang keluar dari pabrik dan menyapa Mamat (59) yang berdiri di depan pabrik. Dia tengah bernostalgia dengan kenangan manisnya saat masa jaya dulu. Kondisinya kontras dengan keadaan muram industri gula kini.
”Hampir semua pekerja yang ada di sini kenal saya. Dulu sama-sama kerja di PG Karangsuwung,” ucapnya setelah membalas ramah sapaan kawan-kawannya.
Mamat sudah lama bergelut dengan gula. Dia mulai bekerja sebagai mandor kebun tebu di PG Karangsuwung pada 1996. Upah hariannya Rp 5.600. Uang itu bisa digunakan membeli beras lebih dari 5 kilogram kala itu. Mengurus puluhan hektar tebu, pria berbadan kurus ini paham bagaimana caranya tebu tumbuh ideal. Kinerja pabrik saat itu juga luar biasa, rendemen mencapai 10 persen, yang tidak pernah dicapai generasi saat ini lagi.
Sayangnya, semua itu tidak cukup. Pabrik tetap saja tutup sekitar 2015. Alasannya, kekurangan bahan baku hingga mesin giling menua. Mamat angkat kaki dengan upah terakhir Rp 75.000 per hari. Pabrik berusia lebih seabad itu kini kosong. Dianggap angker, pabrik itu kerap dijadikan lokasi uji nyali di layar kaca.
Lantas, Mamat pindah tugas ke PG Sindanglaut, sekitar 4 kilometer dari Karangsuwung. Dia tidak lama di sana. Dengan alasan efisiensi, pengalamannya sekitar 21 tahun, tak lagi dibutuhkan pada 2017. Tiga tahun kemudian, pabrik berkapasitas 1.900 TCD (ton cane per day) itu juga tidak lagi menggiling tebu.
Sindanglaut menyusul PG Subang dan PG Karangsuwung yang lebih dulu tutup. Sebelum 1995, ada delapan pabrik gula di Jabar. Kini, hanya tersisa PG Tersana Baru dan PG Jatitujuh di Majalengka yang masih menggiling tebu.
Tak bisa jauh dari gula, ia kemudian mencoba peruntungan sebagai petani tebu. Selain menguasai cara budidayanya, tebu turut mengantar tiga anaknya ke tingkat sekolah menengah atas. ”Anak kedua sekarang ikut belajar tanam tebu,” kata tamatan sekolah dasar ini.
Baca juga: Petani Tebu Menagih Komitmen Penyerapan Gula
Mamat menyewa lahan 2 hektar dengan biaya Rp 15 juta. Ia mengklaim produktivitas tanamannya tinggi, bisa 1.000 kuintal tebu per hektar. Namun, ia tidak yakin tebu kini menguntungkan. Persoalannya, ongkos produksi membengkak.
Pupuk subsidi, misalnya, terbatas hanya ZA. Sedangkan jenis NPK Phonska harus menggunakan nonsubsidi. Upah buruh tani juga naik dari Rp 35.000 menjadi Rp 45.000 per perempuan pekerja. Adapun untuk laki-laki naik dari Rp 60.000-Rp 70.000 per orang.
Dengan berbagai tambahan itu, pinjaman bank yang difasilitasi pabrik gula sekitar Rp 10,5 juta per hektar. ”Padahal, biaya untuk panen sampai tebu masaknya bagus itu butuh tambahan Rp 7 juta lagi. Jadi semuanya Rp 17,5 juta. Ini baru ongkos tanam,” lanjutnya.
Jika ditambah biaya tebang angkut, pupuk, dan sewa lahan, modalnya minimal Rp 52 juta per hektar. Ini belum termasuk bunga bank yang harus dibayar. Dengan asumsi rendemen delapan persen dikali bagian petani 66 persen dan harga gula Rp 11.000 per kilogram, Mamat mendapatkan sekitar Rp 58 juta per hektar.
Artinya, selama 12 bulan mengurus tebu, ia menerima untung sekitar Rp 6 juta atau Rp 500.000 per bulan. Jauh di bawah upah minimum Cirebon, sekitar Rp Rp 2,26 juta per bulan. Pendapatan itu bisa lebih kecil jika rendemennya berkurang. Tahun ini, misalnya, PG Tersana Baru menargetkan rendemen 7,36 persen.
Belum lagi, impor gula yang bisa menekan harga di tingkat petani. Harga gula di tingkat petani Rp 12.500 per kg pun terancam hanya sebatas impian. ”Kalau impor masuk, petani babak belur,” ucap Mamat.
Impor terus
Pemerintah menerbitkan izin impor berkisar 680.000 ton dalam bentuk gula mentah (raw sugar) dan gula kristal putih atau gula konsumsi 150.000 ton. Impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan mengantisipasi lonjakan harga karena musim giling tebu setelah Idul Fitri. Padahal, kebutuhan gula biasanya meningkat saat Ramadhan (Kompas, 16/3/2021).
Mae Azhar (38), petani lainnya, menilai pemerintah mempermudah impor gula saat biaya produksi petani meningkat. Misalnya, dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Jangan sampai semangat petani jatuh karena impor gula. Saya yakin, harga gula pasti jatuh kalau impor
Padahal, lanjutnya, banyak petani muda mulai menanam tebu. Luas lahan tebu tahun ini di PG Tersana Baru bertambah dari 4.100 hektar menjadi 4.500 hektar. ”Tapi, jangan sampai semangat petani jatuh karena impor gula. Saya yakin harga gula pasti jatuh kalau impor,” katanya.
Petani bukan tanpa siasat menghadapi ancaman anjloknya hasil panen. Tidak sedikit petani tebu yang nyambi menanam padi. Mamat, misalnya, menggarap lahan 0,5 hektar dengan panen sekitar 2 ton gabah kering panen (GKP). ”Biasanya bisa dapat 2,5-3 ton gabah. Tapi, karena banyak hama tikus, hasilnya berkurang,” katanya.
Harga gabah yang hanya Rp 3.800 per kg, lanjutnya, juga memperburuk situasi. Angka itu di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), Rp 4.200 per kg GKP. Dengan hasil 2 ton GKP, Mamat memperoleh Rp 7,6 juta. Padahal, modal tanam dan biaya sewa lahannya mencapai Rp 11 juta. Artinya, dia nombok Rp 3,4 juta.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras. Setelah menimbulkan polemik, Presiden Joko Widodo memastikan tidak ada impor beras, setidaknya hingga Juni 2021 dan menjamin hasil panen petani terserap. Faktanya, harga gabah Mamat masih saja ditawar rendah.
Baca juga: Petani Menanti Realisasi Jaminan Presiden soal Penyerapan Beras Domestik
Kuota impor
Sekitar 9 km dari kebun tebu, petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, juga galau karena hasil panennya belum terjual. Garam yang dibungkus karung itu itu menumpuk di tambak, gudang, bahkan pinggir jalan raya. Hanya terpal dan spanduk bekas yang melindunginya dari hujan.
Di gudang, masih ada 40 ton produksi 2018 belum laku
”Di gudang, masih ada 40 ton produksi 2018 belum laku,” ucap Ismail (34), petani. Hasil panennya sempat ditawar hingga Rp 250 per kg, jauh di bawah ongkos produksi. Ia menduga, anjloknya harga karena kuota impor garam 3,07 juta ton tahun ini atau meningkat dibandingkan kuota tahun lalu yang 2,9 juta ton.
Kenaikan impor tersebut untuk memenuhi kebutuhan industri berbahan baku garam. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memperkirakan produksi garam rakyat tahun ini mencapai 2,1 juta ton, sementara kebutuhan bahan baku industri mencapai 4,67 juta ton (Kompas, 3/4/2021).
Hal ini berbeda pada 2017, ketika impor garam konsumsi 226.000 ton. Garam rakyat laku di pasaran. Bahkan, harganya mencapai Rp 3.000 per kg, melonjak dibandingkan biasanya, yakni Rp 500 per kg. Artinya, semakin kecil impor, peluang garam petani diserap kian besar.
Akan tetapi, kualitas garam petani yang rendah selalu jadi dalih untuk impor. ”Pemerintah seharusnya membantu meningkatkan kualitas garam petani, bukan malah meningkatkan impor garam setiap tahun,” ujarnya.
Ketergantungan impor saat ini berbanding terbalik dengan masa lampau. Soegijanto Padmo dalam buku Zaenal Masduqi (Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, 2011) menyebutkan, beras, gula, dan bahan pangan lainnya diekspor dari Cirebon melalui pelabuhan Cirebon. Jumlah kapal Cina yang mengangkut barang itu ke berbagai negara pada 1823-1830 tercatat 672 unit.
Kala itu belum ada UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang mendefinisikan ketersediaan pangan berasal dari dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Sebelumnya, ketersediaan pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama itu tidak memenuhi kebutuhan.
Para petani yang seharusnya menjadi pelaku utama ekonomi hingga kini masih saja terpinggirkan. Di tengah kebijakan pemerintah yang mengejutkan, sekedar untuk bertahan saja tampaknya tidak mudah mereka dapatkan.
Baca juga : Keberpihakan Negara Atasi Problem Garam Rakyat