Korban Kekerasan Seksual Bapak Tiri, Anak di Kendari Hamil Tujuh Bulan
Kasus kekerasan seksual terus terjadi selama masa pandemi Covid-19. Kejadian yang menimpa anak di bawah umur terjadi di hampir semua wilayah dengan angka yang terus tinggi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang anak berumur 12 tahun di Kendari, Sulawesi Tenggara, menjadi korban kekerasan seksual bapak tirinya selama dua tahun terakhir. Korban yang masih duduk di bangku sekolah menengah ini pun menanggung beban berlipat dengan kondisi hamil tujuh bulan. Aparat masih mencari tersangka dan ibu kandung korban yang saat ini melarikan diri.
Kepala Kepolisian Sektor Abeli Inspektur Satu Adi Kesuma menuturkan, kejadian ini dilaporkan oleh keluarga setelah mengetahui korban yang masih di bawah umur mendapat tindakan asusila dari orangtuanya. Mendapat laporan itu, aparat lalu memeriksa korban, hingga diketahui kondisi korban telah hamil tujuh bulan.
”Kami terima laporannya Rabu malam lalu. Berdasarkan pengakuan, korban mendapatkan kekerasan seksual oleh bapak tirinya sejak kelas V SD. Saat ini korban duduk di bangku kelas I SMP, artinya dicabuli selama dua tahun. Ibu kandung korban mengetahui kejadian ini, tetapi membiarkan dengan alasan takut,” katanya, di Kendari, Jumat (9/4/2021).
Pelaku dan korban, tutur Ady, sebelumnya menetap di Sulawesi Selatan. Sejak satu tahun terakhir, keluarga ini pindah ke Kendari. Pelaku yang juga bapak tiri korban merupakan pekerja serabutan di wilayah Kendari.
Meski demikian, saat ini pelaku diketahui melarikan diri begitu korban dan keluarganya melapor ke aparat. Bahkan, ibu kandung korban juga ikut hilang. Aparat kepolisian masih mencari tersangka yang disangkakan pasal pencabulan anak di bawah umur ini.
”Sekarang kasusnya ditangani Polres Kendari. Korban juga dalam perlindungan aparat karena korban dalam situasi tertekan secara psikologis,” katanya.
Pencabulan terhadap anak di bawah umur ini terjadi di kawasan pesisir Kendari. Mutmainna, Ketua Kelompok Perempuan Pesisir Sultra yang mengadvokasi kasus ini, menerangkan, kejadian tersebut awalnya diketahui oleh tante korban yang tinggal berdampingan. Korban terlihat di dalam rumah dengan kondisi tubuh yang tidak sesuai dengan umurnya.
Tante korban tersebut, tutur Mutmainna, mengajak korban ke rumahnya. Meski awalnya dilarang oleh orangtua korban, ia tetap memaksa untuk keluar dan membawa ke rumahnya. Di situ, korban ditanyai tentang kondisi dan keadaannya.
”Korban lalu mengaku sedang hamil karena diperkosa bapak tirinya. Dalam menjalankan aksinya, pelaku mengancam akan membunuh korban. Bahkan, saat pertama kali ia diancam dengan pisau yang menempel di lehernya,” katanya.
Selain melaporkan ke kepolisian, Mutmainna menambahkan, pihaknya juga telah melaporkan hal ini ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kendari. Pihak pemerintah berjanji untuk memberikan perhatian dan penanganan terhadap korban.
Sebab, saat ini kondisi psikologis korban terganggu. Korban terlihat murung dan tertekan atas kasus yang dialami. Terlebih lagi, korban sedang dalam kondisi hamil serta membutuhkan perhatian dan penanganan lebih.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sultra tidak juga menunjukkan tanda penurunan. Bahkan, kasus terus terjadi selama masa pandemi Covid-19. Kejadian yang menimpa anak di bawah umur terjadi di hampir semua wilayah dengan angka yang terus tinggi.
Catatan Yayasan Lambu Ina, lembaga yang konsen dalam pendampingan kasus kekerasan seksual di wilayah kepulauan Sultra, selama 2020 ada 67 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di wilayah Muna, Muna Barat, dan Buton Utara. Sebanyak 51 kasus kekerasan terhadap anak dan 6 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa.
”Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya pada kisaran 60 kasus. Untuk tahun 2021 ini saja sudah ada 11 kasus kekerasan seksual yang kami tangani,” ucap Yustina Fendrita, Direktur Yayasan Lambu Ina.
Selama ini, tambah Yustina, kasus kekerasan seksual terhadap anak banyak yang tidak tertangani maksimal. Mulai dari proses pelaporan hingga persidangan. Anak juga kerap menjadi korban berulang akibat stigma yang beredar di masyarakat.
Oleh sebab itu, ia melanjutkan, aparat kepolisian harus memberikan hukuman maksimal terhadap para pelaku tindak kejahatan seksual anak. Tidak hanya itu, pencegahan dari semua pihak juga harus dilakukan dengan penyadaran atau pemberian pemahaman secara berkesinambungan. Hal itu untuk melindungi para perempuan, khususnya anak, yang begitu sering menjadi korban kekerasan seksual.