Selesaikan Tumpang Tindih Lahan Sebelum Pemindahan Ibu Kota Negara
Pemerintah diminta tidak terburu-buru memindahkan ibu kota negara ke Kaltim. Pemenuhan hak atas lahan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang sudah lama bermukim diharapkan dituntaskan terlebih dulu.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Tumpang tindih pengelolaan hutan dan lahan di Kalimantan Timur diharapkann selesai sebelum proses pembangunan ibu kota negara baru. Hal ini untuk mengantisipasi konflik lahan di sekitar lokasi ibu kota negara baru jika terjadi pembangunan infrastruktur, perumahan, atau kantong ekonomi baru.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemindahan ibu kota negara (IKN) ke sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur masih menunggu pembahasan rancangan undang-undang di DPR. Jika semua selesai tepat waktu, peletakan batu pertama akan dilaksanakan tahun ini di tengah pandemi Covid-19 (Kompas, 3/3/2021).
Dalam Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi Kalimantan Timur, di Samarinda, Jumat (26/3/2021), Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi mengatakan masih terjadi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Kaltim. Ia menyebutkan, masih banyak lahan yang tumpang tindih peruntukan dan izinnya. Yang paling banyak tumpang tindih dengan lahan milik warga, kata Hadi, berada di sektor tambang batubara, perkebunan sawit, dan di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
”Tadi sudah bincang-bincang dan sudah ada titik terang. Pemprov Kaltim siap menyelesaikan masalah yang belum selesai. Lahan IKN tidak masalah. (Namun) lahan Tahura Bukit Soeharto masih ada yang tumpang tindih sehingga harus cepat diselesaikan,” ujar Hadi.
Tahura Bukit Soeharto di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, berbatasan langsung dengan lokasi IKN di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Persoalan tumpang tindih peruntukan lahan di sana sudah terjadi sejak lama. Di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, misalnya, dengan luas wilayah sekitar 1.005 hektar, 81 persen wilayahnya masuk kawasan Tahura Bukit Soeharto. Dari 124 lahan bersetifikat, 114 di antaranya berada di kawasan Tahura Bukit Soeharto.
Berdasarkan pemetaan masalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada 1957-1972, wilayah Desa Karya Jaya menjadi wilayah penerima masyarakat transmigran dari Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat. Tahun 1975, warga transmigran mendapat surat tanah hak garap dan sertifikat hak milik.
Namun, sejak 1978 hingga 2017, kawasan Tahura Bukit Soeharto mengalami perubahan luasan. Dari yang semula sekitar 33.700 hektar, meluas bertahap hingga menjadi 64.814 hektar. Dalam perubahan luasan kawasan tersebut, sebagian besar lahan milik warga Desa Karya Jaya juga ternyata masuk dalam Tahura Bukit Soeharto.
”Urusan pertanahan juga menjadi kendala. Untuk mengganti nama atau membagi (lahan) ke ahli waris, warga tidak bisa memproses karena lahannya tumpang tindih dengan kawasan Tahura Bukit Soeharto,” ujar Kepala Desa Karya Jaya Wahidin, saat dihubungi dari Balikpapan.
Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra menjelaskan, salah satu fungsi lahan kawasan hutan untuk pencadangan lahan. Menurut dia, sejak 2014, pemerintah sudah melakukan inventarisasi masalah tumpang tindih lahan serupa. Terkait kasus di Desa Karya Jaya, ia menjelaskan, akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Sebagai contoh, tanah transmigrasi dan tanah yang sudah dikelola masyarakat dalam jangka lama, sesuai perintah Presiden, bisa dilepas. Koordinasi lintas sektor di Kaltim ini untuk mencari solusinya,” ujar Surya.
Pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang sudah lama bermukim di Kaltim perlu ditunaikan terlebih dahulu.
Dihubungi terpisah, antropolog Universitas Mulawarman, Samarinda, Simon Devung, berharap pemerintah tidak terburu-buru memindahkan ibu kota negara. Menurut dia, pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang sudah lama bermukim di Kaltim perlu ditunaikan terlebih dahulu.
Seperti direncanakan pemerintah, setidaknya ada 1,5 juta aparatur sipil negara yang akan dipindahkan ke ibu kota negara baru. Dengan perpindahan manusia yang sangat banyak, masyarakat adat dan masyarakat lokal akan berhadapan dengan banyak investor serta penguasaan hutan dan lahan di luar kawasan ibu kota negara baru.
”Perpindahan penduduk ini nantinya juga terjadi di wilayah sekitarnya, seperti Samarinda, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, dan Balikpapan. Pasti akan menjadi lebih padat. Jika hak atas lahan masyarakat adat dan lokal belum terpenuhi, bisa terjadi gesekan,” ujar Simon.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Timur Asnaedi mengatakan, dalam Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria, seluruh pihak terkait memetakan masalah agar soal pertanahan bisa diatasi. Ia menyebutkan, bupati, wali kota, gubernur, dan kementerian terkait memetakan masalah di masing-masing sektor.
”Jadi, apa yang dihasilkan dalam rakor ini adalah poin-poin penting yang akan kita laksanakan. Ujungnya, kita akan mendapatkan rasio gini yang seimbang,” ujar Asnaedi.
Adapun Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aloe Dohong menyebutkan, program sertifikasi dan penataan batas terus dilakukan agar masyarakat mendapatkan haknya di sekitar kawasan hutan di Kaltim. ”Kalau ada yang belum clean and clear karena ada tumpang tindih, kita evaluasi untuk mencari jalan keluar,” kata Aloe.