Menguak Tabir Terempasnya Paus Pilot dari Meja Forensik
Beragam daya dikerahkan untuk mencari pemicu terdamparnya paus pilot dan membangun kesadaran atas perlindungan terhadap mamalia laut itu. Salah satunya melalui kerja sunyi laboratorium forensik satwa liar Unair.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·6 menit baca
Kematian puluhan paus pilot di Selat Madura, 19 Februari lalu menyisakan segudang misteri. Beragam daya dikerahkan untuk menguak tabirnya dan membangun kesadaran atas perlindungan terhadap mamalia laut yang dilindungi tersebut. Salah satunya melalui kerja sunyi dari laboratorium forensik satwa liar Universitas Airlangga, Surabaya.
Dua hari sebelum World Whale Day yang diperingati setiap 21 Februari, dunia dikejutkan dengan peristiwa yang terjadi di Selat Madura, Jawa Timur, tepatnya di Pantai Modung, Desa Patereman, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan. Pantai di selatan Pulau Madura itu kedatangan puluhan paus pilot, yang termasuk keluarga lumba-lumba (Delphinidae).
Kehadiran para raksasa atau disebut juga gergasi ini pertama kali diketahui oleh nelayan pada Kamis (18/2/2021). Mereka pun berjibaku menghalau rombongan paus kembali ke tengah laut. Namun, upaya itu gagal. Keesokan pagi, saat air laut surut, warga dikejutkan dengan banyaknya jumlah bangkai paus yang terempas ke tepian.
Kondisi pantai yang dangkal ditambah gangguan oleh aktivitas manusia yang antusias melihat dari dekat menyebabkan mamalia laut ini kian stres sehingga sulit bertahan hidup. Tubuh mereka bergelimpangan menyebar di sepanjang pantai dengan radius sekitar 4-6 kilometer dari bibir pantai.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jatim Wiwied Widodo mengatakan, total ditemukan 52 paus. Semuanya merupakan paus pilot bersirip atau short finned pilot whale dengan nama latin Globichephala macrorhynchus.
”Dari 52 ekor, awalnya 3 ekor masih hidup dan 49 ekor mati. Tiga ekor yang hidup digiring ke laut lepas Jumat (19/2/2021) siang. Namun, 2 ekor di antaranya mati sehingga tersisa seekor yang hidup dan kembali ke laut lepas,” ujar Wiwied Widodo.
Penguburan bangkai dilakukan pada Sabtu (20/2/2021) dengan beragam pertimbangan, seperti menunggu selesainya upaya menghalau paus yang masih hidup ke laut lepas agar tidak kembali ke koloni. Selain itu, proses evakuasi bangkai memakan banyak waktu karena besarnya tubuh dan luasanya area sebaran.
Lokasi penguburan di pantai tak jauh dari lokasi kejadian. Penggalian dengan eskavator dilakukan pada kedalaman 5-7 meter. Lokasi penguburan terbagi tiga berdasarkan sebaran bangkai. Lokasi pertama untuk 25 ekor paus, lokasi kedua 21 ekor paus, sedangkan lokasi ketiga untuk seekor paus. Empat bangkai terseret arus.
Penyebab kematian
Meski penguburan telah usai, pekerjaan rumah menguak tabir penyebab terempasnya para pilot gergasi barulah dimulai. Berjarak puluhan kilometer dari Pantai Modung, tim dari Laboratorium Forensik Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, tengah berjibaku menuntaskan pemeriksaan patologi anatomi.
Staf peneliti dan forensik veteriner Divisi Patologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair dokter hewan Bilqisthi Ari Putra mengatakan, pekerjaan dimulai dari proses identifikasi usia, jenis kelamin, dan paus yang diduga sebagai ketua kelompok koloni. Paus pilot hidup berkoloni atau berkelompok.
Dalam setiap kelompok ada pemimpin, biasanya berukuran paling besar, yang memandu aktivitas mereka, termasuk saat perjalanan migrasi musim dingin seperti sekarang ini. ”Identifikasi ini dikerjakan di lokasi kejadian dan memakan waktu sekitar enam jam. Dari 52 paus, ada 34 ekor yang diidentifikasi,” ujar Bilqisthi, Kamis (4/3/2021).
Tim pemeriksa dari FKH Unair kesulitan menjangkau semua paus karena area sebaran yang luas, waktu yang terbatas, dan jumlah mereka yang tidak banyak. Meski demikian, 34 paus itu mampu menggambarkan komposisi pejantan dan betina dalam koloni tersebut.
Selain identifikasi langsung, otopsi atau nekropsi juga dilakukan pada dua paus jantan dan seekor paus betina dengan ukuran paling besar. Estimasi berat paus jantan 4,5 ton, sedangkan paus betina beratnya diperkirakan 2,5-3 ton. Dari tiga paus tersebut diambil 24 sampel.
Pengambilan sampel dilakukan pada hampir semua organ, seperti moncong, jantung, paru-paru, lambung, dan usus. Selanjutnya, pemeriksaan patologi anatomi dengan 24 preparat organ dikerjalan untuk melihat ada kelainan pada organ-organ tersebut yang berpotensi menjadi penyebab kematian.
Pertimbangan pengambilan sampel, antara lain, adanya kaitan dengan peristiwa terdamparnya paus, ada hubungan dengan kelainan yang ditemukan pada saat nekropsi, dan adanya kemungkinan penyakit. Pemeriksaan untuk menguak penyebab kematian atau setidaknya membuktikan beragam asumsi yang berkembang di kalangan akademisi.
Peneliti yang juga Wakil Dekan Penelitian, Publikasi, Kolaborasi, dan Relasi Publik Fakultas Perikanan dan Kelautan Unair, Sapto Andriyono, mengatakan, berbagai faktor berpeluang menyebabkan kematian koloni paus, salah satunya cuaca ekstrem yang memengaruhi sistem sonar pada paus sehingga mengalami disorientasi dan akhirnya terdampar di Pantai Modung.
”Kejadian serupa terjadi 2016 lalu di perairan Probolinggo yang juga masuk Selat Madura dan Pantai Utara Jawa. Dari 32 paus yang terdampar saat itu, 10 ekor di antaranya mati. Bisa juga karena cuaca ekstrem di lautan, paus mencari tempat berlindung di Selat Madura,” ucap Sapto sebagaimana dikutip dari laman unair.kompas.id.
Menjawab dugaan terjadi kelainan pada sistem sonar, Bilqisthi menyatakan telah mengambil sampel pada bagian moncong paus yang bentuknya mirip buah melon dan memeriksanya. Identifikasi kesehatan organ sensor pada paus pemimpin koloni ini menjadi agenda penting guna memastikan terjadi gangguan yang menyebabkan disorientasi dalam perjalanan migrasi.
Faktor lain yang sempat mengemuka sebagai penyebab kematian paus pilot adalah pencemaran di laut. Paus memakan benda yang mencemari laut, seperti sampah plastik, botol, kain, bahkan mata pancing, sehingga sakit dan akhirnya terdampar. Untuk membuktikan dugaan tersebut, pemeriksaan sampel organ pencernaan, seperti lambung dan usus, tengah dikerjakan.
Banyaknya pendapat yang mengaitkan luka pada tubuh paus sebagai penyebab kematian juga mendapat perhatian. Dalam pemeriksaan ditemukan dua jenis luka, yakni luka yang terjadi sebelum kematian dan setelah kematian. Namun, hampir bisa dipastikan, luka-luka pada tubuh paus tidak signifikan sebagai penyebab kematian.
BBKSDA Jatim dalam pernyataan resminya juga menduga ada kaitan kematian paus dengan racun syarat yang terdapat pada alga merah. Dugaan itu diperkuat temuan beberapa spot air berwarna merah yang mengindikasikan keberadaan alga merah di sekitar lokasi kejadian.
Terkait dengan hal itu, tim dari FKH Unair telah mengambil sampel air yang mengandung alga merah dan memeriksanya di laboratorium. Namun, hasil pemeriksaan belum keluar. Kondisi yang didapati, koloni paus yang mati tersebut sedang dalam posisi mencari makan. Mereka lapar.
Lantas, apa sebenarnya penyebab kematian paus dalam jumlah banyak yang mengundang perhatian dunia tersebut, tim pemeriksa dari FKH Unair akan membeberkannya setelah semua penelitian selesai dan hasil tersebut didiskusikan dengan para pakar yang berkompeten untuk mempertajam analisis.
Sebagai pihak yang mendapat mandat dari Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Unair juga akan melaporkan hasil penelitiannya ke Pemprov Jatim, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Kehutanan, dalam hal ini BBKSDA Jatim.
Akan tetapi, terlepas dari hasil analisanya nanti, momen ini harus jadi titik tolak penanganan terdamparnya satwa liar dilindungi, seperti paus dan lumba-lumba, secara komprehensif. Apalagi kasus terdamparnya mamalia laut kerap terjadi di pantai utara Jatim, termasuk Selat Madura.
Momen ini harus jadi titik tolak penanganan terdamparnya satwa liar dilindungi, seperti paus dan lumba-lumba, secara komprehensif. Apalagi kasus terdamparnya mamalia laut kerap terjadi di pantai utara Jatim, termasuk Selat Madura.
Para pemangku kebijakan, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan melalui BBKSDA Jatim, serta Pemprov Jatim, harus merangkul sejumlah pihak, seperti akademisi, peneliti, dan masyarakat, yang tinggal di kawasan pantai utara untuk bersinergi menyusun kebijakan bersama.
Kebijakan itu sebagai langkah mitigasi dalam penanganan mamalia laut yang terdampar pada masa-masa yang akan datang. Kebijakan ini penting sebagai kerangka acuan dalam membangun kesadaran bersama atas perlindungan terhadap satwa liar dilindungi dari ancaman kepunahan akibat perburuan, kerusakan habitat, perubahan iklim, dan polusi atau pencemaran lingkungan.