Orang-orang yang dihidupi kedai kopi di Manado, Sulut, menanti pelonggaran kebijakan jam malam. Mereka tak mau ”digerebek” aparat lagi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Sudah dua bulan polisi belum datang lagi. Edo Kolintama (21) punya waktu lebih longgar untuk melayani pelanggan Oud Huis, kafe yang ia buka di ruang tamu rumahnya. Lewat pukul 20.00 Wita, tak jadi masalah, sebagaimana kondisi apabila tak ada pandemi.
”Mudah-mudahan (polisi dan polisi pamong praja) sudah enggak datang lagi. Orang-orang mulai ngopi, ya, pas jam-jam begini,” kata Edo, Rabu (3/3/2021), dari balik meja barista kafenya di bilangan Sindulang, Manado, Sulawesi Utara.
Edo yakin, bukan hanya dirinya yang merasa sangat dirugikan oleh kebijakan pemberlakuan jam malam bagi tempat usaha, yaitu pukul 20.00 Wita. Kebijakan itu tak kompatibel dengan konsep puluhan rumah kopi modern alias coffee shop yang semakin digandrungi generasi muda Manado.
”Mereka (pembuat kebijakan dan aparat keamanan) mungkin cuma tahu konsep rumah kopi seperti di Jalan Roda Manado. Orang-orang tua ngopi siang hari, jadi malam sudah tutup. Coffee shop lain lagi, buka sore sampai malam. Pelanggan juga kebanyakan anak muda sepulang kerja atau kuliah,” kata Edo.
Masih hangat pula rasa kesalnya terhadap aparat keamanan. Pada 10 Januari 2021, jelang pukul 21.00 Wita, lima mobil patroli dengan lampu rotator berhenti di depan Oud Huis. Puluhan polisi dan polisi pamong praja melompat turun. Sebagian langsung masuk ke rumah tua berarsitektur kolonial itu—sesuai nama kafe—tanpa gelagat layaknya tamu.
Para pengunjung, mayoritas pemuda, panik. Edo merasa rumah dan kafenya diinvasi. ”Bahkan, ada (anggota) Satpol PP yang sampai masuk ke kamar saya. Saya sudah siap bertengkar, sedikit lagi sudah baku tumbuk (berkelahi), tetapi cuma hampir,” ujar Edo.
Keributan itu membuat Donnie Kolintama (70), ayah Edo, ke ruang tamu. Alangkah terperanjat ia ketika melihat anaknya dibekuk aparat, siap diangkut. Mereka juga mengancam akan mengangkat semua perkakas kopi milik Edo, apalagi kafe itu belum punya surat izin usaha.
Ayah mana yang rela melihat anaknya diperlakukan seperti penjahat? Donnie spontan berlutut dan memeluk lutut salah satu polisi yang memimpin operasi itu, memohon agar anaknya tak ditahan. ”Saya peluk kakinya, saya cium lututnya. Saya bilang, ’Jangan angkut anak saya. Mungkin anak saya salah, saya minta maaf,’” kata Donnie.
Kendati begitu, Donnie tak memungkiri ia kesal bukan kepalang terhadap gabungan aparat keamanan itu. Alih-alih membubarkan, ia merasa mereka malah menggeledah rumahnya sampai ke dapur. ”Mereka bukan lagi menjadi pengayom, malah bikin masyarakat takut,” kata ayah empat anak itu.
Namun, orang yang paling sakit hati dengan kejadian itu tidak lain adalah Anthoneta Meyer (71), ibu Edo. Oud Huis yang dijalankan putra bungsunya itu telah menyambung kehidupan keluarganya, bahkan membiayai perawatan hipertensi yang diidapnya.
Dalam wujud kafe itu pula tersimpan kebanggaan kepada anak-anaknya. Tak sia-sia ia menjual perhiasan untuk menambah modal membuka kafe dari salah satu kakak Edo. ”Dari situ kami bisa makan, bayar listrik dan air, juga bayar obat saya yang tidak ditunjang BPJS. Kebutuhan kami besar,” katanya.
Saya jadi bertanya-tanya, apa korona ini seperti tambio (pekerja seks), baru keluar kalau malam hari?
Pemasukan keluarga dari kedai kopi yang baru buka pada Agustus 2020 itu pun berkurang sejak pandemi merebak. Namun, tidak mungkin pula mereka meminta pelanggan yang sudah punya kesibukan masing-masing datang sebelum maghrib untuk nongkrong.
Lagi pula, siang atau malam, risiko tertular Covid-19 tetap sama besarnya. Asalkan pakai pakai masker, jaga jarak, dan mencuci tangan serta menggunakan hand sanitizer yang disediakan kafe, bahaya Covid-19 bisa dimitigasi.
”Saya jadi bertanya-tanya, apa korona ini seperti tambio (pekerja seks), baru keluar kalau malam hari? Kalau wali kota, gubernur, dan kepolisian mau kasih kami makan tiga kali sehari, bayar listrik dan air, dan bayar obat saya, kami akan tutup terus. Ini yang bikin saya marah sekali. Polisi pun harusnya tahu etika ketika masuk rumah orang!” Anthoneta mengomel.
Selain Oud Huis, Black Cup Coffee and Roastery di bilangan Sario juga sempat digeruduk aparat pada awal Februari lalu karena masih terlihat buka lewat pukul 20.00 Wita. Seorang karyawan sempat ditahan polisi karena dianggap menghalang-halangi Satuan Tugas Covid-19 untuk menjalankan tes cepat antibodi mendadak di kafe itu.
Nouval Rantung (37), pemilik kafe tersebut, kala itu mengatakan, kebijakan tersebut mengagetkan. ”Harusnya, kalau ada kebijakan baru, disosialisasikan dulu. Namun, memang karyawan saya salah, mungkin nada bicaranya tinggi ketika bicara dengan aparat,” ujarnya.
Di lain pihak, Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Sulut dr Steaven Dandel mengklaim kebijakan jam malam berhasil membantu menurunkan kasus Covid-19, menurut laporan kepolisian. Menurut Steaven, interaksi yang dibatasi sampai pukul 20.00 Wita dapat mencegah kerumunan pada malam hari.
Kebijakan ini dinilai paling adil karena pada siang hari roda perekonomian di Manado dan Sulut tetap berputar. ”Setelah keperluan esensial masyarakat terpenuhi, mereka langsung kembali ke rumah,” kata Steaven.
Kasus baru Covid-19 yang teridentifikasi di Sulut menurun dari 3.776 selama Januari menjadi 1.544 sepanjang Februari 2021. Steaven mengatakan, tingkat kasus positif dari jumlah sampel yang diperiksa juga menurun dari sekitar 30 persen menjadi 10-15 persen saja. Hingga Kamis (4/3/2021) malam, total 15.050 kasus telah tercatat di Sulut.
Steaven tak memungkiri, transmisi tetap terjadi sepanjang hari tanpa kenal terang ataupun gelap. Karena itu, kebijakan yang diterapkan Satgas Covid-19 ini akan dievaluasi dalam beberapa bulan ke depan. ”Nanti akan ada rapat untuk membicarakan, kapan kita bisa mengangkat pemberlakuan jam malam. Kasihan juga para pelaku ekonomi yang jam operasionalnya terus dibatasi,” ucapnya.
Orang-orang yang dihidupi kedai kopi pun terus menanti pelonggaran kebijakan jam malam. Mereka tak mau ”digerebek” aparat lagi, apalagi diancam dengan penyitaan peralatan kopi yang dibiayai dengan harta dan emosi.
Sementara Anthoneta hanya bisa berseru, ”Ngana kira ini alat-alat kurang da beli deng daong lemong?! (Kamu kira alat-alat ini dibeli pakai daun jeruk nipis?!)”