Program cadangan logistik pangan dengan komoditas singkong sudah dimulai. Proses penanaman bibit pun sudah dilakukan di lokasi. Banyak warga berharap kehadiran program nasional itu membawa perubahan positif.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KUALA KURUN, KOMPAS — Ribuan batang singkong sudah mulai ditanam di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Program cadangan logistik pangan itu memanfaatkan kawasan hutan untuk menanam singkong. Setidaknya 600 hektar lahan sudah dibuka untuk komoditas tersebut.
Program cadangan logistik itu dimulai pada November 2020 dengan pembukaan lahan di kawasan hutan produksi di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas. Program nasional itu dipimpin Kementerian Pertahanan.
Kompas datang ke lokasi dan menelusuri wilayah yang saat ini sedang disiapkan pada Sabtu (6/3/2021). Untuk ke lokasi, hanya ada satu jalan masuk yang belum beraspal melalui wilayah perkebunan PT Borneo Agri Prima. Jaraknya sekitar 101 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng.
Di lokasi, beberapa pekerja sedang memotong batang singkong untuk menjadi bibit sebelum ditanam. Satu batang bibit singkong memiliki panjang 18-20 sentimeter. Varietas singkong yang digunakam antara lain singkong Kristal Merah, Iding, Carvita 25, Revita R1, Malang 4, Litbang UK2, Darul Hidayah, UJ 5, dan Adira 4.
Di tempat yang berbeda, sekitar 1 kilometer dari para pekerja, setidaknya enam alat berat digunakan untuk menyiapkan lahan sebelum ditanami. Terlihat kayu-kayu bulat dengan beragam diameter yang sudah dipotong dirapikan dalam satu barisan.
Beberapa alat lain dioperasikan untuk menggemburkan tanah untuk membentuk blok-blok yang luasnya lebih kurang 1 hektar tiap blok. Beberapa blok yang sudah bersih dan dibuat jalur tanam sudah ditanami batang-batag singkong.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Kalteng Ihtisan menjelaskan, program lumbung pangan (food estate) dengan komoditas singkong merupakan program pemerintah pusat melalui Kemenhan dengan target luas lahan mencapai 31.000 hektar. Kawasan itu tidak berada di kawasan perhutanan sosial.
”Status kawasannya izin pinjam pakai kawasan, jadi bukan di kawasan perhutanan sosial. Itu merupakan proyek pemerintah pusat,” ujar Ihtisan saat dihubungi melalui pesan singkat.
Kepala Desa Tewai Baru Sigho mengatakan, warga tidak menolak program tersebut lantaran yakin bakal terlibat di dalamnya. Ia berharap program itu bisa membawa dampak perekonomian dan juga sebagai alternatif mata pencarian baru bagi warganya.
Apalagi, kawasan hutan yang dibuka merupakan tempat mereka mencari nafkah dengan mengambil kayu untuk dijual dan bercocok tanam. ”Ini, kan, masih awal. Keterlibatan warga di sini baru sebagai juru masak di kamp-kamp. Kami berharap ke depan kami bisa terlibat penuh dalam program tersebut,” kata Sigho.
Ia menambahkan, selama program itu hadir di desanya, warga yang biasa mencari kayu dilarang untuk mengambil kayu. ”Kami juga jual kayu itu hanya di sekitar sini, tapi sekarang tidak bisa lagi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Sigho, warga yang memiliki lahan di kawasan yang sudah dibuka juga meminta kompensasi atau biaya ganti rugi lantaran tidak bisa lagi bercocok tanam. Ia berharap ada solusi dari pemerintah untuk masalah tersebut. Sudah hampir lima bulan berlalu, tetapi upaya ganti rugi lahan belum ada.
Ia menuturkan, dari beberapa pertemuan sosialisasi dengan pemerintah daerah ataupun pusat, menurut rencana di desa yang ia pimpin akan dibuka kawasan seluas lebih kurang 2.000 hektar. Namun, tak hanya itu, program tersebut juga menargetkan sekitar 31.000 hektar lahan yang bakal digunakan untuk program singkong dengan melibatkan setidaknya tiga kecamatan di Kabupaten Gunung Mas.
”Warga juga meminta agar bisa menyampaikan aspirasi, tetapi karena pandemi, pertemuan hanya melalui kepala desanya saja. Tidak boleh mengumpulkan banyak orang, kan,” kata Sigho.
Melihat hal itu, Direktur Save Our Borneo Safrudin menjelaskan, pihaknya melakukan analisis satelit di lokasi dan mendapatkan data 600 hektar lahan dibuka sementara ini di kawasan hutan produksi. Menurut dia, ketika kawasan dibuka, kayu-kayu atau tegakan di dalamnya memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun, hingga kini belum jelas pihak yang menikmati keuntungan potensi kayu tersebut.
”Kegiatan pembukaan lahan ini belum ada kajian lingkungannya sampai sekarang, tetapi aktivitas di lapangan sudah berlangsung sampai 600 hektar hutan dibuka,” kata Safrudin.
Ia menambahkan, sebelumnya pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan. Artinya, selama untuk kepentingan pangan, hutan bisa dipakai.
”Aturan ini akal-akalan saja untuk penguasaan lahan. Masyarakat setempat hanya jadi penonton saja dan menerima dampak buruknya,” ucap Safrudin.
Ia berharap program nasional ini bisa dilakukan dengan transparan dan akuntabel. ”Sampai sekarang saya masih bingung ke mana publik bisa membuat laporan atau aduan jika terjadi pelanggaran atau kejahatan lingkungan dalam program seperti ini,” katanya.