Muhammad Slamet, Bersama Merawat Kawasan Hulu Brantas
Melihat lingkungan sekitar tempat tinggalnya, yang terletak kawasan hulu Kali Brantas, terdegradasi, Muhammad Slamet (47) dan rekan-rekannya tergerak untuk melakukan konservasi hijau yang diikuti konservasi energi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sekolah lapangan yang diikuti Muhammad Slamet (47) dan rekan-rekannya 13 tahun lalu berbuah konservasi hijau dan konservasi energi. Dam pengendali erosi yang mereka bangun enam tahun terakhir, melengkapi upaya dalam memelihara sub-daerah aliran sungai di hulu Bratas, di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Selasa (16/2/2021) siang, Slamet menunjukkan beberapa foto aktivitas saat dirinya bersama anggota Kelompok Tani Usaha Maju Dusun Bendrong, Desa Argosari, Kecamatan Jabung, membuat dam penahan banjir dan dam pengendali (gully plug) dengan bahan batu dan kawat bronjong.
Penahan banjir dibangun pada parit dengan lebar di atas 2 meter (m). Sedang gully plug dibangun di parit selebar kurang dari 2 m. Saat ini ada delapan bangunan dam penahan banjir dan 54 gully plug yang telah terbangun. Bangunan teknis tersebut tersebar di beberapa parit di lahan warga yang kini telah disulap menjadi hutan rakyat.
Tujuan pembangunan bangunan-bangunan itu adalah untuk meminimalisasi sedimen tanah yang masuk ke parit dan berlanjut ke sungai saat musim hujan tiba. Pengendali erosi dibutuhkan karena topografi hutan rakyat memiliki kemiringan cukup curam. Dengan adanya dam, hanya air yang akan mengalir ke sungai. Sedimennya bakal tertahan.
Dam penahan dan gully plug dibangun atas kerja sama warga dan Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Posisi Dusun Bendrong berada di DAS Amprong yang merupakan sub-DAS hulu Brantas. Wilayahnya di sisi timur laut Kabupaten Malang, dekat Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
”Pembangunannya swakelola sejak 2015. BPDAS Brantas menyiapkan dana dan kelompok tani yang mengerjakan,” ujar Slamet yang menjadi motor penggerak sekaligus Ketua Kelompok Tani Usaha Maju.
Bangunan teknis pengendali erosi ini sendiri merupakan bagian dari upaya konservasi hijau yang dilakukan oleh Slamet dan rekan-rekannya sesama anggota kelompok tani. Sejak dikembangkan pada 2010, luas hutan rakyat terus bertambah dan kini mencapai 80 hektar dengan lokasi tersebar. Di dalamnya terdapat aneka tanaman, dari tanaman pangan, rumput pakan ternak, hingga pohon-pohon tegakan.
”Sebelum ada hutan rakyat, kondisi lingkungan di sini terdegradasi. Banyak pohon ditebang untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar warga. Dampaknya terasa. Di bidang pertanian, saat kemarau debit air berkurang. Sementara kalau musim hujan sering longsor,” ucap ayah tiga anak ini.
Sebelum ada hutan rakyat, kondisi lingkungan di sini terdegradasi. Banyak pohon ditebang untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar warga. Dampaknya terasa. (Muhammad Slamet)
Mandiri energi
Bersamaan dengan pengembangan hutan rakyat atau konservasi hijau, Slamet dan kawan-kawan juga memulai konservasi energi. Mereka berusaha mengolah limbah kotoran ternak menjadi energi alternatif. Upaya itu membawa hasil. Kotoran sapi yang sebelumnya mencemari lingkungan dan berpotensi menyulut konflik sosial kini telah diolah menjadi biogas.
Bendrong pun menjadi dusun menuju mandiri energi. Total reaktor atau digester permanen biogas di Bendrong saat ini mencapai 157 unit. Sebelumnya, jumlah digester sempat mencapai 234 unit yang terbuat dari plastik, tetapi sebagian di antaranya rusak dan belum diganti dengan bahan batu bata (permanen).
Pemanfaatan biogas menjadi keniscayaan karena potensi sapi perah di Bendrong cukup banyak. Dari 500 keluarga di dusun itu, ada 360 keluarga yang memiliki ternak. Dari jumlah tersebut, baru 154 yang kotoran sapinya dikelola. Selain pekarangan rumah warga yang terbatas, masalah finansial menjadi kendala pengelolaan biogas.
Langkah konservasi hijau dan konservasi energi ini pun berjalan simultan dengan upaya lain dalam hal penyediaan air bersih bagi warga. Sebelumnya, pemanfaatan air bersih dari sumber air dilakukan apa adanya. Dengan demikian, warga yang bermukim di daerah dengan elevasi lebih tinggi memperoleh bagian lebih banyak ketimbang yang di bawah.
”Kami mencoba mengelola air bersih secara berkelompok sekaligus sebagai upaya perlindungan terhadap mata air. Kami memulai tahun 2008, tetapi baru bisa merealisasikan mulai 2013. Kami membentuk Hipam (Himpunan Masyarakat Pemakai Air). Penggunaan air akhirnya diatur menggunakan meteran dengan tarif Rp 350-Rp 400 per meter kubik. Tarifnya progresif. Bagi mereka yang memakai kurang dari 20 meter kubik dikenai tarif Rp 350 dan bagi yang menggunakan di atas 20 meter kubik kena tarif Rp 400 per meter kubik,” ucapnya.
Keberhasilan Bendrong menuju dusun mandiri energi dan hijau menjadikan Slamet dan Kelompok Tani Maju Jaya tidak hanya menyabet penghargaan bidang lingkungan di tingkat lokal, tetapi juga tingkat nasional.
Penghargaan tingkat nasional yang didapat, antara lain, Penghargaan Energi Nasional kategori Prakarsa dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (2011), Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk kategori Penyelamat Lingkungan (2013), dan Program Kampung Iklim dari KLH (2013).
Bendrong pun sering dikunjungi warga dari luar daerah yang ingin menimba pengetahuan, termasuk mahasiswa yang hendak melakukan penelitian. Sementara Slamet kerap diundang untuk berbagi kiat ke tempat lain.
Sekolah lapangan
Menurut Slamet, semua ini berawal tahun 2008 saat dirinya bersama 24 anggota Kelompok Tani diundang untuk mengikuti sekolah lapangan yang difasilitasi sebuah lembaga nonpemerintah.
Salah satu materi di sekolah itu adalah analisis masalah dan potensi. Slamet dan kawan-kawan mengidentifikasi kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan oleh limbah ternak menjadi masalah krusial yang dihadapi di lingkungan mereka.
”Akhirnya muncul rencana aksi. Salah satunya penanaman kembali hutan gundul. Selain itu, juga mengolah limbah ternak jadi biogas dengan harapan bisa kurangi tingkat tekanan pada hutan,” ujar Slamet.
Sebelum mengikuti sekolah lapangan, Slamet sendiri telah mengikuti pelatihan training of trainer dan ditunjuk sebagai tutor. Pelatihan itu mengantarkan dirinya menjadi ketua kelompok tani hingga sekarang.
Menurut Slamet, butuh jalan panjang untuk mewujudkan ini semua. Sejumlah kendala harus dihadapi mengingat metode yang mereka terapkan merupakan hal baru bagi masyarakat setempat. Salah satunya mengubah pola pikir masyarakat.
Ke depan, Slamet dan kelompok tani berencana membuat tempat wisata edukasi ekosistem. Mereka telah memetakan tempat-tempat yang bisa menjadi titik-titik wisata. Lokasinya berada di sekitar mata air yang dilindungi.
Upaya Slamet menjaga lingkungan tidak berhenti sampai di sini. Mereka juga memikirkan tentang regenerasi pengelolaan lingkungan dengan melibatkan anak-anak muda di dusun setempat. Pihaknya membuat lembaga baru berisi anak muda dusun, baik itu di bidang pertanian, pengelolaan air, maupun masalah sosial dan kehutanan.
Akhirnya muncul rencana aksi. Salah satunya penanaman kembali hutan gundul. (Muhammad Slamet)
Muhammad Slamet
Lahir: Malang, 18 Agustus 1974.
Istri: Asmi Arum (40)
Anak:
- M Fahmi Rosyadi
- Ahmad Yasrif Fahri Muhajir
- Mahira Salma Qotrunada
Pendidikan:
- SD Argosari 2
- MTS PPPI Tumpang
- MA PPPI Tumpang
Penghargaan untuk kelompok tani:
- Penghargaan Energi Nasional kategori Prakarsa dari Kementerian ESDM (2011)
- Kalpataru dari Kementerian Lingkunhan Hidup untuk kategori Penyelamat Lingkungan (2013)
- Penghargaan Proklim (Program Kampung Iklim) dari Kementerian Lingkungan Hidup (2013)