Debu Hitam Batubara Kembali Penuhi Motui, Pemerintah Serupa Tak Berdaya
Serbuan debu hitam batubara terus menyiksa warga Motui, Konawe Utara. Pemerintah dituntut mengambil langkah tegas dan tidak menutup mata atas kejadian yang membahayakan kesehatan hingga mengancam ekonomi warga ini.
KENDARI, KOMPAS — Debu hitam dari pembongkaran batubara milik PT Obsidian Stainless Steel kembali beterbangan dan memenuhi permukiman warga di Motui, Konawe Utara. Debu tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada produktivitas tambak yang menurun, hingga tanaman yang layu.
Pemerintah diharapkan tidak menutup mata dan segera mengambil langkah tegas terkait sebaran abu yang menyiksa warga.
Rismanto (28), warga Desa Waoluri, Motui, Konawe Utara, mengatakan, debu hitam kembali masuk hingga ke dalam rumah selama lebih dari satu pekan terakhir. Debu batubara menempel di teras dinding rumah, lantai, bahkan hingga ke dapur.
”Sudah sekitar sembilan hari debu batubara terus datang. Kadang sedikit, kadang tiba-tiba banyak, utamanya sore hari. Tadi pagi, saya lihat di tembok debu masih menempel di dinding,” kata ayah satu anak ini, dihubungi dari Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (19/2/2021).
Menurut Rismanto, debu hitam ini menyiksa warga setiap hari. Tidak hanya harus membersihkan rumah secara rutin, tetapi juga khawatir akan kondisi kesehatan masyarakat. Meski ia dan keluarganya sehat, sejumlah anak-anak di sekitar kediamannya juga telah mengalami batuk-batuk.
Padahal, ia melanjutkan, lokasi kediamannya dengan tempat pembongkaran batubara berjarak sekitar 5 kilometer. ”Sekitar lima bulan lalu kami Sudah protes, tetapi sekarang muncul lagi. Kami khawatir dengan kesehatan warga, apalagi kami ada anak kecil,” tambahnya.
Debu hitam batubara yang beterbangan ke permukiman warga memang bukan kali ini terjadi. Medio Agustus hingga September 2020, debu hitam terus beterbangan ke 15 desa di Kecamatan Motui. Sebanyak lima desa merupakan wilayah paling terdampak, yaitu Lamboluo, Motui, Ranombupulu, Puuwonggia, dan Wawoluri. Total warga terdampak di semua desa sekitar 4.045 orang, di antaranya termasuk ratusan anak balita.
Wilayah ini berbatasan dengan sungai yang sekaligus sebagai pembatas antara Kabupaten Konawe Utara dengan Konawe, di mana sebuah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) skala besar yang sementara dalam pembangunan. Pembangkit ini merupakan milik PT Obsidian stainless Steel (OSS), untuk mendukung usaha pemurnian dan pengolahan nikel perusahaan tersebut.
Baca juga : 4.000 Jiwa di Konawe Utara Terpapar Debu Hitam PLTU
Ketua Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Motui, Konawe Utara, Ikbal Gunawan menjabarkan, dampak debu hitam batubara sangat menyiksa ribuan warga di wilayah ini. Tidak hanya terkait kesehatan, tetapi juga berdampak ke mata pencarian warga.
”Tambak-tambak warga banyak yang tidak produktif lagi karena tiap hari dipenuhi debu. Tanaman di kebun warga juga banyak yang layu. Intinya, lingkungan kami sudah rusak, padahal di sini adalah wilayah yang asri dulunya. Semenjak adanya PLTU dari PT OSS ini, lingkungan sudah tidak baik lagi,” katanya.
Di satu sisi, ia menuturkan, pemerintah seakan menutup mata terkait kondisi yang terjadi. Sejumlah upaya untuk melaporkan kejadian ini tidak jelas juntrungannya. Meski sudah beberapa kali terjadi, pemerintah tidak mengambil langkah tegas terkait kejadian ini. Perusahaan juga serupa, tidak ada langkah perbaikan. Bersama rekan-rekannya,
Ikbal berencana untuk melakukan aksi boikot terhadap aktivitas perusahaan pekan depan, menuntut adanya pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan yang dialami.
Tambak-tambak warga banyak yang tidak produktif lagi karena tiap hari dipenuhi debu.
Debu hitam batubara berasal dari tempat penampungan milik perusahaan, hingga saat pembongkaran dari tongkang dilakukan. Pengangkutan dan penampungan yang tidak sesuai prosedur membuat debu hitam dari Batubara tersebut beterbangan, terlebih ketika angin kencang datang.
Saat disambangi, Minggu (6/9/2020) sore, debu tebal beterbangan dari lokasi kawasan PLTU. Debu berwarna hitam kecoklatan itu paling jelas terlihat di lokasi pembongkaran dan pengangkutan batubara.
Baca juga : Bom Waktu Bencana di Konawe Utara
Sebuah tempat penampungan batubara raksasa sepanjang ratusan meter penuh batubara dengan tinggi sekitar 20 meter. Dua buah cerobong mengeluarkan asap putih kekuningan. Sementara itu, dua cerobong yang jauh lebih besar sedang dalam pengerjaan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Konawe Ilham Jaya menyampaikan, pihaknya telah mendapatkan informasi terkait kembali adanya debu hitam batubara yang beterbangan ke perkampungan warga. Setelah mengumpulkan informasi, pihaknya juga mengonfirmasi hal ini ke pihak perusahaan.
”Kami sudah tanya seperti apa kejadiannya dan kami sampaikan secara lisan untuk kembali datang mengecek lokasi. Sebelumnya, sekitar September 2020 kami datang juga mengecek perusahaan terkait debu Batubara ini,” tutur Ilham.
Saat itu, ia melanjutkan, debu hitam memang berasal dari tempat penampungan batubara yang belum selesai. Batubara menggunung tanpa penutup sehingga saat angin bertiup akan menerbangkan debu ke wilayah sekitar.
Baca juga : Tenaga Kerja Asing di Dua Perusahaan di Sultra Akan Dievaluasi Total
Tidak hanya itu, tambah Ilham, pembongkaran dan pemuatan batubara dari kapal tongkang juga berpengaruh besar terhadap debu yang beterbangan. Sejumlah rekomendasi telah diberikan untuk segera dijalankan perusahaan.
”Waktu itu perusahaan siap untuk melakukan penyiraman secara rutin juga menggunakan terpal penutup saat mengangkut batubara. Kami akan cek lagi segera di lapangan seperti apa. Terkait sanksi, harus dipastikan dulu kondisinya,” ucap Ilham.
Kepala Teknik Tambang PT OSS Roni Syahrir mengatakan, pihaknya berupaya meminimalisasi dampak debu hitam batubara dari proses yang berlangsung di lapangan. Penyiraman terus dilakukan, sembari menunggu selesainya pembangunan tempat penampungan.
Sejauh ini, kata Roni, tempat penampungan batubara dengan luas sekitar satu lapangan bola telah selesai. Namun, dua tempat penampungan lainnya masih dalam pembangunan. Selain itu, jalur rel pengangkutan batubara dari dermaga juga sedang tahap penyelesaian.
”Prosesnya sekitar 80 persen, tahun ini akan selesai. Untuk sementara, kami upayakan dengan terus menyiram dan menutup terpal. Hanya kalau di dermaga itu bukan batubara kami semua, di situ juga ada punya PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI). Memang banyak pembongkaran, sekitar 50 tongkang setiap hari karena batubara juga dipakai di smelter,” tambahnya.
Roni memastikan, debu hitam bukan berasal dari pembakaran PLTU, melainkan dari aktivitas pembongkaran dan lokasi penyimpanan batubara. Sejauh ini, tutur Roni, baru dua cerobong pembakaran yang berfungsi. Nantinya, akan ada empat cerobong yang terbangun di fasilitas untuk menghasilkan listrik sebesar 1.820 megawatt.
Emisi yang keluar di cerobong juga telah melalui uji laboratorium yang disupervisi langsung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga : Gelombang Penolakan Pekerja China di Sultra Meluas