Tak Ada Tes Sebelum Injeksi, Penerima Vaksin Berpotensi Telah Terpapar Covid-19
Tidak terpantaunya kesehatan calon penerima vaksin membuat para sasaran vaksinasi berpotensi telah terpapar Covid-19.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Proses vaksinasi yang berlangsung di Sulawesi Tenggara tidak diiringi dengan tes Covid-19 bagi calon penerima vaksin. Hal itu seiring dengan terbatasnya alat dan anggaran yang dialokasikan untuk tes dan penelusuran. Tidak terpantaunya kesehatan calon penerima vaksin membuat para sasaran vaksinasi berpotensi telah terpapar Covid-19.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Sulawesi Tenggara La Ode Rabiul Awal menyampaikan, dalam aturan yang disampaikan pemerintah pusat, memang tidak ada keharusan untuk melakukan tes Covid-19 bagi sasaran penerima vaksin. Calon penerima vaksin hanya dipantau tidak masuk dalam daftar mereka yang tidak boleh divaksin, seperti pernah terpapar Covid-19, termasuk kontak erat, dan memiliki penyakit penyerta.
”Di satu sisi, untuk tes memang kita masih sulit. Selama hampir setahun pandemi Covid-19, tes PCR (reaksi berantai polimerase) Covid-19 baru sekitar 31.000 dari jumlah penduduk 2,6 juta. Alat tes kita juga masih terbatas,” kata Rabiul saat dihubungi dari Kendari, Minggu (14/2/2021).
Selama masa vaksinasi yang telah berlangsung satu bulan terakhir, tutur Rabiul, laporan terkait penerima vaksin yang terkonfirmasi positif Covid-19 baru ada satu kasus, yaitu di Buton Utara. Kepala Polres Buton Utara Ajun Komisaris Besar Wasis Santoso positif dari hasil tes usap antigen dan tes PCR, tiga hari lalu. Ia saat ini menjalani isolasi mandiri di kediaman, dengan gejala demam dan indera penciuman hilang. Unsur forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) memang menjadi sasaran vaksinasi perwakilan daerah, selain dokter dan perawat.
Terkait hal ini, Rabiul menjelaskan, penerima vaksin yang positif bisa saja telah terpapar Covid-19 sebelum menjalani vaksinasi, tetapi tanpa gejala. Setelah divaksin, virus mulai bereaksi terhadap tubuh dan memengaruhi kesehatan.
Selain itu, penerima vaksin juga masih bisa terpapar Covid-19 meski telah menjalani injeksi dosis pertama, sebab vaksin belum mampu memberikan kekebalan dalam tubuh. Injeksi di tahap pertama hanya membentuk sel memori dalam sistem antibodi tubuh.
Penerima vaksin juga masih bisa terpapar Covid-19 meski telah menjalani injeksi dosis pertama, sebab vaksin belum mampu memberikan kekebalan dalam tubuh. (La Ode Rabiul Awal)
Seharusnya, ia menambahkan, mereka yang telah divaksin dan kemudian terinfeksi hanya akan mengalami gejala ringan atau tanpa gejala. Hal ini berbeda pada mereka yang belum menerima vaksin dan harus mendapatkan perawatan.
”Dengan terpaparnya penerima vaksin, berdasarkan diskusi kami dengan ahli, sudah tidak perlu diberikan dosis kedua. Sebab, setelah sembuh nanti, tubuhnya telah membentuk antibodi sendiri. Di satu sisi, hal ini memang belum diatur dalam juknis (petunjuk teknis) dari pemerintah pusat,” tambahnya.
Wasis Santoso juga menduga dirinya telah terpapar Covid-19 sebelum menjalani vaksinasi. Sebab, ia merupakan pelaku perjalanan sebelum mengikuti proses injeksi dosis pertama satu pekan lalu.
Wasis menceritakan, ia awalnya ke Kendari menjemput istrinya yang datang ke Sultra dari Bangka Belitung. Tes antigen ia lakukan sebelum berangkat ke Kendari.
”Mungkin saya terpapar dalam perjalanan karena istri dan anak saya juga positif. Hanya saja, sebelum divaksin itu memang tidak ada tes untuk tahu kesehatan. Setelah divaksin, malamnya saya langsung demam dan kesehatan drop,” ucapnya.
Hingga saat ini Wasis masih merasakan demam, indera penciuman dan perasa hilang, serta pusing. Bersama istri dan anaknya, ia menjalani isolasi mandiri di rumah.
Epidemiolog Universitas Halu Oleo, Ramadhan Tosepu, menjelaskan, tes Covid-19 bagi penerima vaksin memang tidak ada dalam aturan. Setiap orang yang akan menjalani vaksinasi hanya ditanya terkait kondisi kesehatan dan segala macam penyakit yang diderita.
”Dari pemerintah memang tidak ada anjuran untuk tes itu. Sebab, seperti kita tahu, sejak awal, tes kita sangat rendah, bagaimana untuk tes mereka yang akan divaksin? Apalagi kita di Sultra yang hanya sekitar 1 persen tes dari jumlah penduduk,” katanya.
Oleh sebab itu, ia berharap para calon penerima vaksin jujur dengan kondisi kesehatan masing-masing. Sebab, hal ini menjadi penyaring satu-satunya di tengah kondisi vaksinasi yang memang serba darurat dan terbatas. Jika tes seluruh daerah baik sejak awal, penyaringan dengan tes antigen maupun PCR mungkin masih bisa menjadi penyaring utama.
”Bagaimanapun, setiap orang akan menerima vaksin nantinya. Hanya saja, mereka yang telah divaksin dan terpapar Covid-19, itu menjadi margin error dalam proses yang berlangsung. Mau bagaimana lagi jika semua proses yang kita sarankan dari awal tidak berlangsung baik,” ucap Ramadhan.
Minimnya alat tes, baik antigen maupun alat PCR, telah dikhawatirkan oleh berbagai unsur masyarakat sejak pandemi mulai melanda. Penelusuran kasus harus dilakukan dengan memperbanyak tes, terutama dengan alat PCR. Meski demikian, pengadaan mesin PCR tidak menjadi prioritas, dan Pemerintah Provinsi Sultra telah mengutamakan berbagai program yang tidak sejalan dengan upaya pengendalian Covid-19.
Di Dinas Kesehatan Sultra, pengadaan alat PCR bahkan menjadi bancakan dan kasusnya saat ini telah ditangani Kejaksaan Tinggi Sultra. Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk satu oknum pegawai Dinas Kesehatan Sultra, dr AH.
Jauh dari target
Sementara itu, selama satu bulan terakhir vaksinasi di Sultra, capaian injeksi tahap pertama baru sebesar 54 persen. Jumlah ini masih jauh dari target awal yang mencapai 100 persen pada akhir Februari atau 10 hari ke depan.
Menurut Rabiul, vaksinasi memang memiliki beberapa kendala. ”Dari kendala pendataan daring sampai distribusi vaksin,” katanya.
Kendala itu membuat jumlah tenaga kesehatan yang menjalani injeksi dosis pertama terbatas. Dari target 40 orang setiap hari, hanya tercapai sekitar 20 orang. ”Kami upayakan bisa dipercepat hingga akhir Februari ini,” tambah Rabiul.
Vaksinasi terhadap tenaga kesehatan dibutuhkan untuk mencegah kejadian dokter atau perawat yang berada di garda terdepan tumbang akibat terpapar Covid-19. Dengan vaksin, lanjut Rabiul, diharapkan tenaga kesehatan yang berjumlah 21.000 orang bisa terus bekerja untuk kesehatan masyarakat. Setelah tenaga kesehatan, vaksinasi akan dilanjutkan ke masyarakat umum.