Meliput Perdagangan Orang, Jangan Ikut Berdagang Sensasi
Pengungkapan kasus perdagangan orang sebagai kejahatan luar biasa membutuhkan peran banyak pihak, termasuk media. Namun, tidak jarang media justru ikut menjerumuskan masa depan korban.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Pengungkapan kasus perdagangan orang sebagai kejahatan luar biasa membutuhkan peran banyak pihak, termasuk media. Namun, peliputan terkait kasus ini belum sepenuhnya mengutamakan perspektif korban. Bahkan, korban kembali menjadi korban kala tampil di media.
”Saat meliput korban perdagangan orang, wartawan biasanya datang sebagai buser, bukan teman atau bahkan orangtua bagi korban. Akhirnya, korban tidak terbuka,” kata Sonya Hellen Sinombor, wartawan Kompas yang kerap menulis tentang kasus perdagangan orang dan isu perempuan.
Peraih penghargaan Hassan Wirajuda Perlindungan WNI Award tahun 2020 dari Kementerian Luar Negeri ini menyampaikan hal itu dalam pelatihan daring jurnalistik terkait perdagangan orang. Kegiatan yang digelar International Organization for Migrant (IOM) Indonesia pada 13-15 Januari 2021 itu dihadiri 20 jurnalis dari beberapa daerah.
Menurut Sonya, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) termasuk kelompok rentan. Mereka dilarang berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan, korban kerap dikurung. Interaksi mereka dibatasi, apalagi dengan wartawan. Itu sebabnya, butuh pendekatan berbeda terhadap korban.
Salah satu caranya adalah mencari tahu orang dekat korban. Dengan begitu, korban bisa diwawancarai. Perbincangan pun dimulai dengan hal ringan, seperti kabar korban, demi membuatnya nyaman.
”Jangan pernah bertanya, Anda korban TPPO, kan?” katanya. Porsi berbicara pun harus lebih banyak diberikan kepada korban. Sebaliknya, pewarta menjadi pendengar yang baik. Meski demikian, jurnalis tetap bisa menyela jika ingin memastikan sesuatu dari cerita korban.
Jurnalis juga diharapkan tidak mencecar korban dengan pertanyaan yang seolah menyalahkan mereka, seperti, ”Kok kamu enggak tahu kalau jadi korban perdagangan orang?” Dalam kasus perdagangan orang, jurnalis dituntut mengedepankan empati. ”Tempatkan diri Anda sebagai korban,” ucapnya.
Keberanian juga menjadi kunci dalam menggali fakta perdagangan orang. Sonya mengaku sempat mendapatkan protes hingga gugatan dari sejumlah pihak terkait dengan liputan perdagangan orang bermodus pengantin pesanan atau kawin kontrak. Dalam kasus ini, korban dijual untuk jadi istri pelaku di China.
”Saat itu, ada pihak yang mengatakan, kalau pengantin pesanan itu membantu warga. Dia menunjukkan video hubungan baik pasangan pengantin pesanan,” katanya. Sebagai wartawan dalam 25 tahun terakhir, Sonya meragukan pernyataan itu. Ia menantang pihak itu untuk mempertemukannya langsung dengan korban secara empat mata.
Setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Sonya pun bertemu dengan korban yang pulang dari China. Ia diawasi oleh seseorang dari tempat yang lain. ”Saya datang sebagai teman korban. Ternyata, korban dilecehkan secara seksual dan dipaksa minum obat untuk menyuburkan kandungannya,” ungkapnya.
Liputan investigasi
Mustafa Silalahi dari Tempo menambahkan, peliputan perdagangan orang bisa dilakukan secara investigatif, termasuk menyamar. Jurnalis sebaiknya tidak langsung menunjukkan kartu pers, kamera, atau perlengkapan liputan lainnya. Namun, ia tetap wajib mengenalkan dirinya sebagai jurnalis saat di tengah atau akhir wawancara.
Karena berisiko, jurnalis harus membuat rencana peliputan, seperti menentukan waktu, tempat, narasumber, hingga menghitung risikonya. ”Wartawan juga harus selalu berkoordinasi dengan kantornya. Dalam beberapa kondisi, wartawan juga tidak boleh liputan investigasi seorang diri,” katanya.
Luviana Ariyanti, fasilitator pelatihan yang juga Pemimpin Redaksi Konde.co, mengatakan, ada rambu-rambu dalam liputan perdagangan orang. Misalnya, menstigmatisasi, menulis sensasional, hingga menyebarkan data korban tanpa izin. Tidak sedikit, lanjutnya, media yang menampilkan identitas korban, termasuk wajahnya.
Apalagi, jika korbannya adalah anak. Wawancara dengan korban anak wajib didampingi walinya. Pertanyaan pun tidak menekan anak. Wartawan juga dapat mengulang pertanyaannya dengan format berbeda untuk memastikan bahwa anak memahaminya.
Wartawan juga harus selalu berkoordinasi dengan kantornya. Dalam beberapa kondisi, wartawan juga tidak boleh liputan investigasi seorang diri.
Oleh karena itu, jurnalis patut mengetahui peliputan kasus perdagangan orang dengan perspektif korban. ”Ini penting sebagai code of conduct, bagaimana tata cara perilaku, dalam meliput. Memang, sudah ada kode etik jurnalistik. Tetapi, ini tidak cukup,” ucapnya.
National Programme Officer Counter Trafficking Unit and Migrant Protection IOM Indonesia Among Resi Pundhi mengatakan, masih banyak media yang belum menggunakan perspektif korban dalam meliput kasus TPPO. ”Misalnya, media menuliskan alamat lengkap korban. Ini justru membahayakan korban,” katanya.
Sebaliknya, dari korban pula, media bisa membantu pengungkapan kasus TPPO. Terlebih lagi, lanjut Among, belum banyak lembaga yang hanya fokus pada pencegahan dan penanganan kasus TPPO. ”Penegak hukum juga cenderung tidak menggunakan aturan TPPO karena dianggap ribet,” katanya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO bisa menjerat pelaku dipenjara hingga 15 tahun. Perdagangan orang mengandung tiga unsur, yakni proses, cara, dan tujuan.
Prosesnya adalah perekrutan, pengangkutan hingga pengiriman orang. Adapun caranya dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, hingga penjeratan utang. Tujuannya agar orang tereksploitasi.
Penegak hukum juga cenderung tidak menggunakan aturan TPPO karena dianggap ribet.
TPPO tidak hanya mencakup korban buruh migran di luar negeri, tetapi juga dalam negeri yang kerap menjerat pekerja rumah tangga hingga pekerja seks komersial. ”Jadi, TPPO itu terjadi di sekitar kita,” katanya.
Akan tetapi, korban kerap tidak bisa berbicara banyak karena perekrutnya merupakan orang dekat, bahkan keluarganya. Korban juga umumnya berada di perdesaan dan jauh dari pusat pemerintahan. Mereka membutuhkan bantuan dari sejumlah pihak untuk menyuarakan suaranya, termasuk dari media.
Sepanjang 2020 saja, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK menerima 203 permohonan perlindungan dari korban dan saksi terkait dengan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO. Jumlah ini naik 15,3 persen dibandingkan dengan tahun 2019 sebanyak 176 permohonan (Kompas, 16/1/2021).
Koordinator Departemen Komunikasi dan Media Serikat Buruh Migran Indonesia Figo Kurniawan mengatakan, media turut membantu dalam pengungkapan kasus TPPO yang korbannya buruh migran. Pihaknya pun siap memberikan data terkait dengan kasus TPPO.
”Kami berharap media turut mengawal kasus TPPO hingga tuntas. Tidak hanya mengeksploitasi kisah sedih korban,” katanya.
Meliput kasus perdagangan orang tidak pernah mudah. Saat banyak hal dasar tidak dipenuhi, ujungnya media rentan ikut berdagang sensasi yang justru menghancurkan korban.