Jalan Enam Bulan, Polda Sulsel Belum Tetapkan Tersangka Kasus Bansos Makassar
Meski telah enam bulan, Polda Sulsel belum juga menetapkan tersangka dugaan penyelewengan dana bansos Covid-19 di Makassar. Padahal Presiden Jokowi terus mewanti-wanti agar dana Covid-19 tidak dikorupsi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kasus dugaan penyelewengan anggaran bantuan sosial di Pemerintah Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masih bergulir di kepolisian. Meski telah berjalan enam bulan dan tahapan telah masuk ke penyidikan, Polda Sulsel belum juga menetapkan tersangka. Masyarakat sipil menunggu keseriusan dan keberpihakan aparat menyelesaikan kasus ini.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar Widoni Fedri menyampaikan, kasus ini memang sudah masuk dalam ranah penyidikan sejak beberapa waktu lalu. Meski demikian, untuk penetapan tersangka masih menunggu tuntasnya penyidikan ini.
”Untuk penetapan tersangka nanti berdasarkan hasil sidik,” ucap Widoni, melalui pesan singkat, di Makassar, Sulsel, Minggu (6/12/2020).
Saat ini, tutur Widoni, pihaknya fokus ke skema dan pengelolaan bantuan pangan nontunai (BPNT) yang juga menjadi bagian penyidikan. Pihaknya juga telah memeriksa sekitar 70 saksi yang mengetahui hal itu.
Sebelumnya, pihak kepolisian juga telah meminta audit kerugian yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pemeriksaan saksi ahli di Kementerian Sosial di Jakarta juga telah dilakukan.
Meski demikian, saat ditanya terkait mengapa penanganan kasus ini terkesan lambat dan belum juga ada tersangka, Widoni tidak menjawab lagi.
Kasus dugaan penggelembungan dana bantuan sosial ditangani penyidik Polda Sulsel sejak Juni lalu. Penyaluran bantuan yang ditangani Dinas Sosial Kota Makassar, yang diperuntukkan bagi warga terdampak Covid-19, diduga kuat diselewengkan.
Direktur Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Abdul Kadir Wokanubun menjelaskan, kasus ini merupakan kasus lama, yang belum juga jelas ujungnya. Oleh karena itu, pihaknya terus menunggu seperti apa hasil penyidikan yang dilakukan oleh Polda Sulsel terkait dugaan korupsi bantuan sosial ini. Sebab, berjalan enam bulan, pihak Polda Sulsel belum juga bisa menetapkan tersangka.
Padahal, menurut Abdul, laporan yang pihaknya terima telah begitu terang benderang sejak awal. Paket sembako yang didistribusikan ke masyarakat memiliki perbedaan harga dengan apa yang seharusnya diterima.
”Temuan kami, paket sembako itu harusnya Rp 600.000. Tapi, yang diterima masyarakat hanya Rp 290.500. Dari situ saja sudah sangat jelas untuk menjadi pintu masuk mengungkap kasus korupsi dana bansos ini,” ucap Abdul.
Temuan kami, paket sembako itu harusnya Rp 600.000. Tapi, yang diterima masyarakat hanya Rp 290.500. (Abdul Kadir Wokanubun)
Temuan ini, terang Abdul, satu dari sejumlah laporan yang diterima. Belum lagi dengan sumber anggaran setiap bantuan, hingga penggunaan dana pihak ketiga yang tidak jelas peruntukannya.
Sejak awal, ia melanjutkan, pihaknya telah meminta agar ada penjelasan dan transparansi dari pengelola anggaran bantuan masyarakat terdampak Covid-19 ini. Sebab, dalam situasi bencana nonalam seperti saat ini, masyarakat sangat membutuhkan bantuan. Akan tetapi, alokasi anggaran serupa ditutupi hingga saat ini menjadi ranah penyidikan di Polda.
”Yang kami sayangkan sampai saat ini tidak ada kejelasan dari penyidikan di Polda Sulsel. Mereka seperti tidak serius dalam menangani kasus dugaan korupsi meski Presiden Joko Widodo sendiri telah sangat keras dengan hal ini. Ini persoalan keseriusan dan keberpihakan dari aparat penegak hukum itu sendiri,” ucapnya.
Kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial bukan hanya santer terdengar di Makassar. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan Menteri Sosial Juliari P Batubara yang menjadi tersangka penyelewengan dana bansos. Juliari diduga mendapat fee Rp 10.000 dari tiap paket sembako senilai Rp 300.000.
Sebagaimana diberitakan, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan suap bansos untuk wilayah Jabodetabek di tahun 2020. Mereka adalah Mensos Juliari serta Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemensos sebagai penerima suap. Sementara sebagai pemberi suap adalah Ardian I M dan Harry Sidabuke dari pihak swasta.
Sejumlah pihak yang ditangkap KPK di Jakarta membawa uang Rp 14,5 miliar. Uang tersebut terdiri dari pecahan mata uang rupiah dan asing. Masing-masing senilai Rp 11,9 miliar, 171,085 dollar AS (setara Rp 2,42 miliar), dan 23.000 dollar Singapura (setara Rp 243 juta).
Presiden Joko Widodo sendiri berjanji tidak akan melindungi yang terlibat korupsi dan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. ”Berulang kali saya ingatkan kepada semua pejabat negara, baik itu menteri, gubernur, bupati, wali kota, maupun semua pejabat untuk hati-hati dalam menggunakan uang APBD kabupaten/kota, APBD provinsi, dan APBN. Apalagi ini, dengan bansos, bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos itu sangat dibutuhkan untuk rakyat,” tutur Presiden, dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Minggu pagi.