Harga Rendah dan Tenaga Pengolah Minim, Petani Rotan Katingan Enggan Panen
Kalteng merupakan salah satu wilayah peghasil rotan. Hutan-hutannya masih menghasilkan rotan berlimpah. Namun sayang masih banyak petani enggan memanen karena faktor alam dan harga di pasar yang belum membaik.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Petani rotan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah masih enggan memulai panen lantaran banjir dan harga produk yang tak kunjung membaik. Kekurangan tenaga kerja dan petani pengolah rotan membuat produksi tak mencapai target.
Koordinator Bagian Produksi Rotan Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) Gani Masayusi mengungkapkan, saat ini harga rotan masih stabil namun belum menyentuh angka normal. Biasanya mereka menjual rotan kualitas kering terbaik dengan harga Rp 150.000 hingga Rp 170.000 per 100 kilogram (kg).
Rotan itu sebagian besar berjenis sigi, yang sudah dibersihkan dan dikeringkan sebelum dijual. Namun sayang, bencana alam seperti banjir dan longsor membuat para anggota kelompok maupun petani di luar kelompok kesulitan memanen rotan.
“Banyak petani belum mau memanen karena banjir atau memang harga yang belum cocok. Dari Cirebon (Jawa Barat) sana kalau beli juga murah, kadang hanya bisa memenuhi modal saja enggak ada untungnya, padahal kalau soal bahan baku di sini masih melimpah,” kata Gani di Palangkaraya, Selasa (1/12/2020).
Katingan di Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah penghasil rotan terbesar di Indonesia. Pemerintah Kabupaten Katingan bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Katingan Hulu XVII memetakan sedikitnya terdapat 104.572 hektar lahan rotan yang belum dipanen dengan target produksi mencapai 12.696 ton per bulan. Jumlah itu belum termasuk kabupaten lainnya di Kalteng yang menghasilkan rotan.
Di Kalteng, bahkan di Indonesia, hanya ada satu kelompok tani rotan yang mendapatkan sertifikasi rotan dari Forest Stewardship Council (FSC), yakni P2RK yang anggotanya kini sekitar 270 orang. Sertifikat itu membuat semua produk rotan bisa ditelusuri asal-usulnya dan proses produksinya ramah lingkungan dengan kualitas terjaga.
Gani mencontohkan, untuk memanen 1 ton rotan, dirinya mengeluarkan Rp 7,5 juta, dengan harga jual Rp 8.000 per kg karena sudah dengan proses pengeringan dan pembersihan. Namun, biasanya pembeli yang sebagian besar dari Cirebon hanya mampu membeli seharga Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogram.
Selain soal harga, saat ini, jumlah petani yang memproduksi rotan pun sedikit sehingga membuat waktu produksi kian lama. Seharusnya, rotan yang diolah membutuhkan waktu 16 hari jika dikerjakan 10-15 orang. Namun, kini hanya lima sampai enam orang saja yang masih mau bekerja.
“Malah lebih banyak yang membeli rotan serabutan, artinya tanpa dicuci atau dikeringkan. Akhirnya, para pengumpul juga rebutan, harga pun kacau balau. Rotan seperti itu dijual hanya seharga Rp 5.000 per kg,” kata Gani.
Panen lestari
Menurut Gani, saat ini para pembeli didorong membeli rotan yang asal-usulnya jelas dan kualitasnya terjamin. “Biarkan kami membersihkan dan mengeringkan rotannya dulu baru dijual,” ujarnya.
Pegiat konservasi kehutanan di Kalteng, Indra Bayu Patimaleh mengungkapkan, para petani masih berharap rotan yang keluar dari Katingan memiliki legalitas asal usul yang jelas untuk menghindari praktek pemanenan yang tidak lestari atau bahkan ilegal. Mereka masih memegang prinsip sertifikasi pengelolaan hutan lestari.
“Pengelolaan hutan yang lestari itu penting, dengan mengetahui asal-usulnya, maka pemerintah bisa memastikan rotan itu diambil dengan cara tidak merusak hutan,” kata Indra.
Indra menambahkan, saat ini pihaknya kesulitan mendeteksi asal-usul rotan di pasaran. Bahkan, banyak rotan dipanen dengan cara serabutan dan tidak bisa dibudidayakan lagi.
Kondisi itu juga dibahas dalam jumpa media Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah. Kepala BPS Kalteng Eko Marsoro mengungkapkan, harga rotan relatif stabil baik rotan pungutan hasil hutan maupun budidaya. Hal itu terjadi karena permintaan komoditas tersebut masih rendah.
“Proses produksinya memerlukan waktu relatif lebih lama, rotan juga sulit dibudidayakan sehingga petani memilih untuk memungutnya di hutan,” kata Eko.