Deforestasi di Kalteng Bakal Kian Masif Seusai Pilkada
Bencana alam kian menjadi seiring rusaknya hutan-hutan di Indonesia. Di momen Pilkada Serentak kali ini merupakan peristiwa penting agar para kepala daerah bisa menjadi pemimpin yang peduli lingkungan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Hutan-hutan di Indonesia bakal lebih terancam deforestasi pasca Pilkada 2020. Ancaman deforestasi bukan hanya dari investasi yang mengandalkan sumber daya alam, tetapi juga program strategis nasional. Selain itu, dalam proses perizinan, korupsi sudah dicium sejak pilkada berlangsung.
Hal itu terungkap dalam Diskusi Publik dengan tema ”Nasib Hutan di Tengah Pilkada” yang diselenggarakan oleh KataData pada Kamis (26/11/2020). Dalam diskusi itu, hadir sebagai pembicara Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Sri Suwanto.
Teguh Surya mengungkapkan, dari sembilan provinsi yang menyelenggarakan Pilkada 2020 terdapat tiga provinsi yang memiliki hutan alam seluas 22 kali Pulau Bali yang memiliki fungsi lindung dan produksi. Tiga provinsi tersebut adalah Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah. Sementara dari 224 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada terdapat 10 kabupaten yang memiliki 22,4 persen hutan alam dari seluruh hutan alam yang ada di Indonesia.
”Pertarungan ini tidak hanya sekadar mencari pemimpin, tetapi juga pertarungan menyelamatkan hutan atau justru menggunduli hutan, ini (pilkada) tak hanya rutinitas demokrasi,” ungkap Teguh.
Teguh juga menyebutkan, dari sembilan provinsi yang ikut dalam pesta demokrasi kali ini memiliki kawasan gambut seluas 13,9 juta hektar atau 64 persen dari total kawasan gambut di Indonesia.
Teguh menyampaikan, tiga provinsi yang memiliki hutan alam terluas sebagai konstetasi pilkada kali ini memiliki rekam jejak deforestasi yang tinggi. Dari data Yayasan Madani Berkelanjutan, setidaknya terdapat pada periode 2003-2008 laju total deforestasi di tiga provinsi tersebut luasnya mencapai 2,6 juta hektar atau hampir lima kali luas pulau Bali. Kalteng menjadi wilayah yang memiliki tingkat deforestasi paling tinggi, yakni mencapai 1,4 juta hektar atau hampir tiga kali Pulau Bali.
”Dari penelitian kami, para pemilih tidak memiliki atau tidak mengetahui rekam jejak pasangan calonnya. Kami khawatir jika tidak dikawal dengan benar, akan memberikan dampak buruk bagi masa depan hutan dan lingkungan di Indonesia,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, dari data yang sama tiga provinsi itu merupakan provinsi paling terancam deforestasi dengan beberapa indikator, antara lain hutan alam yang berlokasi di kawasan nonalam, hutan alam yang lokasinya tidak dilindungi kebijakan penghentian izin baru, hutan alam yang terancam berada di kawasan penggunaan lain, dan hutan alam di izin konsesi. Dari tiga provinsi itu, Teguh melanjutkan, setidaknya terdapat 2,6 juta hutan alam yang masuk di wilayah konsesi.
Deforestasi itu, lanjut Teguh, sudah memberikan dampak pada hari ini seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, kualitas oksigen menurun, siklus air yang terganggu, hingga hilangnya keanekaragaman hayati.
”Sayangnya deforestasi itu juga terjadi bukan hanya karena eksploitasi sumber daya alam tetapi juga program strategis nasional, seperti food estate atau program pangan,” tambah Teguh.
Di Kalteng, pemerintah pusat sedang membuat program pangan dengan mencetak sawah juga memanfaatkan sawah yang sudah ada untuk menanam padi juga komoditas lainnya dengan luas mencapai 168.000 hektar. Sementara itu, terdapat komoditas singkong yang ada tahap awal ini akan dibuka kawasan hutan seluas 32.000 hektar.
Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana menjelaskan, dari penelitian pihaknya menunjukkan pilkada sejak tahun 2015 sebanyak 82,5 persen pasangan calon disponsori oleh donatur yang berasal dari berbagai kalangan termasuk pengusaha. Para pasangan calon itu juga mengakui bahwa para donator mengharapkan balas jasa.
”Makin banyak calon kepala daerah yang menyatakan para donatur berharap bantuan setelah menjadi kepala daerah, harapan yang paling banyak ujungnya adalah dipermudah ketika ingin mendapatkan perizinan, ini macam-macam bisa kehutanan dan bidang lainnya,” kata Wawan.
Wawan menambahkan, 83 persen kepala daerah yang sudah terpilih itu akan memenuhi keinginan para donatur. Celah pelanggaran dalam pemenuhan keinginan itu mulai dari perizinan di kawasan hutan hingga perebutan hak-hak atas tanah.
Dalam perizinan kehutanan, lanjut Wawan, para pengusaha itu harus mengeluarkan Rp 600 juta hingga Rp 22 miliar per tahun untuk mendapatkan izin konsesi. Upaya pemerasan dan penyuapan pun kerap terjadi.
”Dari 22 regulasi terkait perizinan, terdapat 18 regulasi yang membuat celah yang menimbulkan kerentanan tindak pidana korupsi, kami mendorong agar perizinan ini bisa lebih terbuka, salah satunya dengan sistem informasi yang baik,” kata Wawan.
Makin banyak calon kepala daerah yang menyatakan para donatur berharap bantuan setelah menjadi kepala daerah, harapan yang paling banyak ujungnya adalah dipermudah ketika ingin mendapatkan perizinan, ini macam-macam bisa kehutanan dan bidang lainnya. (Wawan Wardiana)
Melihat hal itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sri Suwanto mengungkapkan, pihaknya tidak bisa menutup pintu perizinan investasi. Pihaknya hanya perlu melakukan semuanya bisa berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
”Kami percaya hutan perlu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi, kalau masyarakat sejahtera, hutannya bisa lestari karena pohon yang membusuk saja di hutan itu juga bisa mengeluarkan karbon yang besar ke langit,” kata Sri.