Muluskan Skenario Langit, Mencari Dukungan Semesta
Dari awalnya sebatas bagian dari tim sukses, Nina Agustina kini maju dalam Pilkada Indramayu 2020. Dia ingin menjadi pemimpin, bukan sekadar penguasa daerah.
Tulisan ini adalah tulisan terakhir dari empat kisah para calon bupati Indramayu 2020-2025. Sebelumnya, sudah ada kisah tiga calon bupati yang ditulis berdasarkan nomor urut.
Jargon perubahan kembali menggema jelang Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Indramayu 2020. Namun, tidak sedikit yang menyangsikan slogan tersebut sebatas janji tanpa bukti, seperti pesta demokrasi sebelumnya.
Selasa (10/11/2020) atau 28 hari menjelang Pilkada Indramayu, Ermiyati (50), warga Desa Singaraja, belum yakin kepada keempat pasangan calon bupati. Padahal, spanduk, poster, hingga juru kampanye mereka tersebar ke pelosok desa. ”Embuh (enggak tahu) milih (pilih) siapa,” ucapnya.
Para kandidat adalah Muhamad Sholihin-Ratnawati (PKB, Demokrat, Hanura, dan PKS), Toto Sucartono-Deis Handika (perseorangan), Daniel Mutaqien Syafiuddin-Taufik Hidayat (Golkar), serta Nina Agustina-Lucky Hakim (PDI-P, Gerindra, dan Nasdem). Mereka bersaing memperebutkan lebih dari 1,3 juta suara, termasuk satu suara Ermiyati.
Bagi Ermiyati, pilkada langsung sejak 2005 hingga kini belum memberikan perubahan berarti. ”Mengkenen-kenen bae (begini-begini saja),” ucap orangtua tunggal dengan enam anak dan lima cucu ini.
Ia mengatakan, seorang anaknya sudah sarjana, seorang lagi masih kuliah. Dua lainnya merupakan pelajar SMA atau sederajat. Sedangkan dua orang lagi lulusan SMA dan sederajat.
”Mereka bisa bersekolah karena kami usaha sendiri, seperti jualan sarapan,” kata Ermiyati yang tidak menyentuh bangku SMA. Dia berharap bupati yang terpilih bisa memberikan beasiswa bagi anak-anaknya hingga sarjana.
Baca juga: Bayang Kelam Hambar Asin Garam
Sudedi Rasmadi (28), warga Kedokan Bunder, juga tidak ambil pusing soal aneka janji perubahan oleh para kandidat. ”Semua calonnya dari wilayah barat dan tengah Indramayu. Tidak ada yang dari timur. Lihat saja nanti, tidak ada pembangunan di daerah timur,” ujarnya.
Karyawan swasta ini bukan antikandidat di luar timur Indramayu. Namun, tiga pilkada terakhir, daerahnya tidak berubah signifikan kecuali kehadiran minimarket dan bangunan lain yang berdiri di lahan yang dulunya sawah.
Wilayah timur Indramayu, seperti Krangkeng dan Kedokan Bunder, selama ini dikenal sebagai daerah kering, sepi, dan kerap dijuluki rawan begal. Jalanan juga berlubang di beberapa titik.
Memang, ada RS Ibu Mursyid Syafiuddin di Krangkeng yang baru berdiri. Namun, RS itu belum berfungsi maksimal karena dijadikan tempat isolasi bagi pasien Covid-19 dengan gejala ringan. ”RS itu mulai dibangun waktu saya SMA (satu dekade lalu),” ujar Sudedi.
Ermiyati dan Sudedi hanyalah contoh kecil calon pemilih yang tidak tergoda tawaran perubahan sejumlah kandidat bupati. Kondisi serupa terjadi pada Pilkada 2015 yang diikuti petahana Anna Sophanah-Supendi (Gerindra, PKS, dan Demokrat) dengan Toto Sucartono-Rasta Wiguna (PDI-P, PKB, dan Nasdem).
Pilkada 2015 dimenangi Anna dengan 55,95 suara. Sedangkan Toto meraup 44,05 suara. Sayangnya, partisipasi pemilih hanya 59,37 persen. Data ini menunjukkan banyak warga yang merasa pilkada tidak membawa perubahan bagi hidup mereka, seperti kata Sudedi dan Ermiyati.
Ingin berubah
Hal ini menjadi catatan bagi kandidat bupati 2020. ”Perubahan itu memang jadi slogan. Kalau saya, ada tambahan pro-perubahan. Artinya, kebijakan pemerintah pro-masyarakat,” ucap Nina Agustina, calon bupati nomor 4.
Senin (9/11/2020), Nina menjelaskan visi misinya di kediaman keluarganya di Losarang. Di depan pintu masuk rumah, terpajang foto Presiden pertama RI Soekarno. Di halaman rumah, sejumlah warga duduk di kursi sambil menikmati kopi dan teh.
Perubahan, katanya, harus dimulai sejak dari tahapan pilkada. Ia melarang keras tim suksesnya berkampanye hitam meski ia mengklaim kerap diterpa hoaks, seperti seorang janda.
Ia juga geram dengan warga yang menanyakan amplop saat kampanye. ”Saya bilang, saya kasih amplop, tapi jangan mengeluh kalau jalanan rusak. Kalau mau amplop, ibu mengajari saya korupsi,” kata Nina yang mengatakan berkeliling ke delapan sampai 12 titik kampanye per hari.
Apabila terpilih, perempuan berhijab dan berkacamata ini berjanji mengubah tata kelola pemerintahan yang tidak melayani publik sepenuh hati. Pegawai tidak boleh ABS (asal bapak senang). ”Kalau (pegawai) enggak kerja baik, untuk apa ’dipelihara’?” ujar pengacara dan kurator ini.
Nina dikenal tegas. Ia dididik hitam dan putih, benar atau salah. Tidak ada abu-abu. Pengalaman ini tidak bisa dipisahkan dari ayahnya, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da’i Bachtiar.
Putri sulung itu tumbuh di lingkungan penegak hukum. Lahir di Purwodadi (Jawa Tengah), seperti ”anak kolong” lainnya, Nina berpindah-pindah sesuai dengan tempat dinas sang ayah. Ia bersekolah di Semarang, Boyolali, Klaten, hingga Jakarta. Namun, ketika libur, ia tetap pulang kampung ke Losarang.
Memori itu memberinya banyak teman sekaligus menghadapi bermacam karakter orang. Namun, Nina tidak mengikuti jalan ayahnya sebagai polisi. Dari tiga bersaudara, hanya adik bungsunya, Komisaris Besar Adi Vivid Bachtiar, yang menjadi polisi dan kini menjadi ajudan Presiden Joko Widodo.
Saya bilang, saya kasih amplop, tapi jangan mengeluh kalau jalanan rusak. Kalau mau amplop, ibu mengajari saya korupsi.
Skenario Langit
Awalnya, Nina hanya ingin fokus meneruskan kariernya. Namun, pada Januari 2020, sejumlah pihak memintanya maju sebagai kandidat bupati. ”Saya melihat, Indramayu masih menjadi salah satu daerah termiskin sehingga sulit bersaing dengan daerah lain. Ini yang menggerakkan saya,” ujarnya dengan suara parau.
Ia menyebut pencalonan dirinya sebagai skenario langit, dukungan semesta. Nina menerima rekomendasi untuk maju pada Pilkada Indramayu. Apalagi, ia sudah punya pengalaman pada Pilkada 2015.
Saat itu, Nina menjadi Ketua Gerakan Relawan Dukung (Gardu) Toto Sucartono-Rasta Wiguna (Tora). Meskipun Tora kalah, Nina mengklaim punya basis massa yang kini mendukungnya. Adapun Toto sekarang menjadi pesaingnya.
Nina didampingi artis Lucky Hakim. Menurut dia, pemilihan kader Gerindra tersebut bukan untuk meraup popularitas, melainkan sesuai hasil seleksi. Namun, Lucky kerap diserang tim lawan karena dinilai bukan warga asli Indramayu.
”Setelah kami cari tahu, Lucky itu asli Kedokan Bunder (Indramayu). Saya sudah kenal lama dengan dia,” ucapnya. Aktif dalam organisasi Pejuang Hak Hidup Hewan (PH3), Nina sudah lama berkomunikasi dengan Lucky yang juga punya ketertarikan serupa.
Di rumahnya di Jakarta, terdapat sekitar 30 kucing, dari yang cacat hingga jenis anggora. ”Saya juga orangtua asuh untuk gajah usia tiga tahun yang terancam jerat harimau di Riau. Namanya Togar. (Kalau terpilih) saya mau bikin kebun binatang di sini (Indramayu),” ujarnya.
Dengan kebun binatang, katanya, Indramayu punya daya tarik di tengah persoalan kemiskinan, pengangguran, buruh migran, hingga perkawinan anak. Ini berbanding terbalik dengan daerah tetangga, seperti Majalengka, yang punya Bandara Internasional Jabar Kertajati atau Pelabuhan Patimban di Subang.
Nina menilai, Indramayu membutuhkan investor untuk pembangunan. Bukan hanya pabrik, katanya, investor juga bisa membuka lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan perikanan. Dengan begitu, warga punya pilihan agar tidak melulu menjadi buruh migran.
Indramayu membutuhkan investor untuk pembangunan. Bukan hanya pabrik, katanya, investor juga bisa membuka lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan perikanan.
”Kuncinya, birokrasi jangan berbelit-belit. Memang sudah ada layanan satu atap. Tapi, pintu dan jendelanya, kan, banyak,” ujar magister hukum Universitas Pembangunan Nasional Jakarta ini. Soal investor, ia berencana memanfaatkan jaringan Da’i yang sempat menjabat sebagai Duta Besar Malaysia.
Nina memastikan, tidak akan menjadi ”boneka” ayahnya jika terpilih sebagai bupati. Kebijakan pemerintah, katanya, harus berdasarkan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Untuk memantau kinerja, pihaknya menyiapkan aplikasi respons cepat atas keluhan warga.
”Nomor HP saya sudah menjadi nomor sejuta umat,” ucapnya.
Nina menjanjikan perubahan. Sesuai jargonnya di spanduk, Indramayu butuh pemimpin, bukan penguasa. Kata ”penguasa” tersebut dibalut warna kuning. Lalu, apakah Indramayu nantinya harus berubah dengan warna merah (PDI-P)?
”Enggaklah. Memerahkan semuanya kayaknya enggak. Kasihan yang enggak suka merah. Partainya, kan, banyak di sini. Yang penting jiwanya merah, berani,” ujar Nina yang kerap membagikan kerudung merah saat kampanye.